LANDASAN KURIKULER PENDIDIKAN
LANDASAN KURIKULER
PENDIDIKAN
Makalah untuk
Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Landasan Pendidikan dan
Pembelajaran
UNIVERSITAS
NEGERI MALANG
FAKULTAS
PASCASARJANA
PROGRAM
STUDI MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA
SEPTEMBER 2015
A. Kurikulum
1. Pengertian
Kurikulum
Kurikulum terebut berasal dari bahasa inggris
yakni “Curriculum” yang mempunyai
arti “rencana pelajaran“, Curriculum tersebut berasal dari
bahasa latin yaitu “Currere”
yang mempunyai banyak arti ialah seperti maju dengan cepat , berlari cepat, menjalani dan juga berusaha.
·
Menurut
Daniel Tanner dan juga Laurel Tanner
pengertian kurikulum ialah pengalaman pembelajaran yang
terarah dan juga terencana dengan secara terstuktur dan juga tersusun dengan
melalui proses rekontruksi pengetahuan serta pengalaman secara
sistematis yang berada dibawah suatu pengawasan lembaga pendidikan sehingga
pelajar tersebut mempunyai motivasi dan juga minat belajar.
·
Menurut
Inlow (1966)
Pengertian kurikulum ialah usaha menyeluruh yang
dirancang secara khusus oleh sekolah didalam membimbing murid untuk dapat
memperoleh hasil dari pelajaran yang telah ditentukan tersebut.
·
Menurut
Hilda Taba (1962)
Pengertian kurikulum dituangkan kedalam bukunya yang
berjudul “Curriculum Development Theory and Pratice” ialah sebagai “a plan
of learning” yang mempunyai bahwa kurikulum ialah sesuatu yang
direncanakan untuk dapat dipelajari oleh siswa yang didalamnya memuat rencana
untuk para peserta didik(murid). .
·
Menurut
Kerr, J. F (1968)
Pengertian kurikulum ialah sebuah pembelajaran yang
dirancang dan juga dilaksanakan dengan individu serta juga berkelompok
baik itu di luar ataupun di dalam sekolah.
·
Menurut
George A. Beaucham (1976)
Pengertian kurikulum ialah suatu dokumen tertulis yang
didalamnya terkandung isi mata pelajaran yang akan diajar kepada peserta
didik(murid) dengan melalui berbagai mata pelajaran, pilihan disiplin ilmu,
rumusan masalah yang dalam kehidupan sehari-hari
·
Menurut
Neagley dan Evans (1967)
Pengertian kurikulum ialah semua pengalaman yang telah
dibangung atau dirancang oleh pihak sekolah untuk dapat menolong para siswa
didalam mencapai hasil belajar kepada kemampuan siswa yang paling baik
·
Menurut
UU. No. 20 Tahun 2003
Pengertian kurikulum ialah suatu perangkat rencana dan
juga pengaturan tentang tujuan, isi, dan juga bahan pengajaran
dan cara yang digunakan ialah sebagai suatu pedoman didalam suatu
penyelenggaraan kegiatan dalam pembelajaran untuk dapat mencapai suatu tujuan
pendidikan nasional.
·
Menurut
Good V. Carter (1973)
Pengertian kurikulum ialah kelompok pengajaran yang
sistematik atau juga urutan subjek yang dipersyaratkan untuk dapat lulus atau
juga sertifikasi dalam pelajaran mayor
·
Menurut
Grayson (1978)
Pengertian kurikulum ialah suatu perencanaan untuk
mendapatkan suatu pengeluaran (out-comes) yang diharapkan dari suatu
pembelajaran
·
Menurut
Murray Print
Pengertian kurikulum ialah sebuah ruang pembelajaran
yang sudah terencana diberikan secara langsung kepada siswa oleh sebuah lembaga
pendidikan dan juga pengalaman yang dapat dinikmati oleh semua siswa pada saat
kurikulum tersebut diterapkan.
·
Menurut
Crow and Crow
Pengertian kurikulum ialah rancangan pengajaran atau
juga sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis untuk dapat
menyelesaikan suatu program untuk dapat memperoleh ijazah.
2. Tujuan dan Fungsi Kurikulum
Kurikulum sebagai
alat dalam pendidikan memiliki berbagai macam fungsi dalam pendidikan yang
sangat berperan dalam kegunannya. Fungsi Kurikulum adalah sebagai berikut...
- Fungsi
Penyesuaian (the adjustive or adaptive function) : Kurikulum berfungsi
sebagai penyesuain adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan
perubahan yang terjadi dilingkungannya karna lingkungan bersifat dinamis
artinya dapat berubah-ubah.
- Fungsi
Integrasi (the integrating function) : Kurikulum berfungsi sebagai
penyesuain mengandung makna bahwa kurikulum merupakan alat pendidikan yang
mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utut yang dapat dibutuhkan dan
berintegrasi di masyarakat.
- Fungsi
Diferensiasi (the diferentiating function) : Kurikulum berfungsi
sebagai diferensiansi adalah sebagai alat yang memberikan pelayanan dari
berbagai perbedaan disetiap siswa yang harus dihargai dan dilayani.
- Fungsi
Persiapan (the propaeduetic function) : Kurikulum berfungsi sebagai persiapan yang
mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan mampu
mempersiapkan siswa kejenjang selanjutnya dan juga dapat mempersiapkan
diri dapat hidup dalam masyarakat, jika tidak melanjukan pendidikan.
- Fungsi
Pemilihan (the selective function) : Kurikulum berfungsi sebagai pemilihan adalah
memberikan kesempatan bagi siswa untuk menentukan pilihan program belajar
yang sesuai dengan minat dan bakatnya.
- Fungsi
Diagnostik (the diagnostic function) : Kurikulum sebagai diagnostik mengandung
makna bahwa kurikulum adalah alat pendidikan yang mampu mengarahkan dan
memahami potensi siswa serta kelemahan dalam dirinya. Jika telah memahami
potensi dan mengetahui kelemahannya, maka diharapkan siswa dapat
mengembangkan potensi dan memperbaiki kelemahannya.
3. Peranan Kurikulum
Kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah
atau madrasah memiliki peranan yang sangat strategis dan menentukan pencapaian
tujuan pendiidikan. Terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting yaitu:
a. Peranan
Konservatif
Salah satu tugas dan tanggung jawab sekolah
sebagai suatu lembaga pendidikan adalah mewariskan nilai-nilai dan budaya
masyarakat kepada generasi muda yakni siswa. Siswa perlu memahami dan menyadari
norma-norma dan pandangan hidup masyarakatnya, sehingga ketika mereka kembali
ke masyarakat mereka dapat menjunjung tinggi dan berperilaku sesuai dengan
norma-norma tersebut. Peran konservatif kurikulum adalah melestarikan berbagai
nilai budaya sebagai warisan masa lalu. Dikaitkan dengan era globalisasi
sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memungkinkan
mudahnya pengaruh budaya asing menggerogoti budaya lokal, maka peran
konservatif dalam kurikulum memiliki arti yang sangat penting. Melalui peran
konservatifnya, kurikulum berperan dalam menangkal berbagai pengaruh yang dapat
merusak nilai-nilai luhur masyarakat, sehingga keajegan dan identitas
masyarakat akan tetap terpelihara dengan baik. Peranan ini menekankan bahwa
kurikulum dapat dijadikan sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai
warisan budaya yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada generasi
muda, dalam hal ini para siswa.
b. Peranan Kreatif
Apakah tugas dan tangung jawab sekolah hanya sebatas pada
mewariskan nilai-nilai lama? Ternyata juga tidak. Sekolah memiliki tanggung
jawab dalam mengembangkan hal-hal baru sesuai dengan tuntunan zaman. Sebab,
pada kenyataannya masyarakat tidak bersifat statis, akan tetapi dinamis yang
selalu mengalami perubahan. Dalam rangka inilah kurikulum memiliki peran
kreatif. Kurikulum harus mampu menjawab setiap tantangan sesuai dengan
perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang cepat berubah. Dalam peran kreatifnya,
kurikulum harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu siswa untuk
dapat mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berperan aktif
dalam kehidupan sosial masyarakat yang senan tiasa bergerak maju secara
dinamis. Mengapa kurikulum harus berperan kreatif? Sebab, manakala kurikulum
tidak mengandung unsur-unsur baru maka pendidikan selamanya akan tertinggal,
yang berarti apa yang diberikan di sekolah pada akhirnya akan kurang bermakna,
karena tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan sosial masyarakat.
Dalam proses pengembangan kurikulum ketiga peran di atas
harus berjalan secara seimbang. Kurikulum yang terlalu menonjolkan peran
konservatifnya cenderung akan membuat pendidikan ketinggalan oleh kemajuan
zaman; sebaliknya kurikulum yang terlalu menonjolkan peran kreatifnya dapat
membuat hilangnya nilai-nila budaya masyarakat.
Sesuai dengan peran yang harus ”dimainkan”
kurikulum sebagai alat dan pedoman pendidikan, maka isi kurikulum harus sejalan
dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Mengapa demikian? Sebab, tujuan yang
harus dicapai oleh pendidikan pada dasarnya mengkristal dalam pelaksanaan
perannya itu sendiri. Dilihat dari cakupan dan tujuannya menurut McNeil (1990)
isi kurikulum memiliki empat fungsi, yaitu 1) fungsi pendidikan umum (Common
and General Education). 2) Suplementasi (Supplementation), 3)
Eksplorasi (Esploration) dan 4). Keahlian (Specialization). Peranan
kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang baru
sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada
masa sekarang dan masa mendatang.
c. Peranan Kritis
dan Evaluatif
Apakah setiap nilai dan budaya lama harus
diwariskan kepada setiap anak didik? Apakah setiap nilai dan budaya baru sesuai
dengan perkembangan zaman juga harus dimiliki oleh setiap anak didik ? Tentu
tidak. Tidak setiap nilai dan budaya lama harus tetap dipertahankan, sebab
kadang-kadang nilai dan budaya lama itu sudah tidak sesuai dengan tuntutan
perkembangan masyarakat; demikian juga ada kalanya nilai dan budaya baru itu
juga tidak sesuai dengan nilai-nilai lama yang masih relevan dengan keadaan dan
tuntutan zaman. Dengan demikian kurikulum berperan untuk menyeleksi nilai dan
budaya mana yang perlu dipertahankan, dan nilai atau buadaya baru yang mana
yang harus dimiliki anak didik. Dalam rangka inilah peran kritis dan evaluatif
kurikulum diperlukan. Kurikukum harus berperan dalam menyeleksi dan
mengevaluasi segala sesuatu yang dianggap bermanfaat untuk kehidupan anak
didik. Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan
budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, sehingga
pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesuaikan
dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang.
4. Komponen Kurikulum
Para ahli berbeda pendapat dalam
menetapkan komponen-komponen kurikulum. Ada yang mengemukakan 5 komponen
kurikulum dan ada yang mengemukakan hanya 4 komponen kurikulum. Untuk
mengetahui pendapat para ahli mengenai komponen kurikulum berikut
Subandiyah (1993: 4-6) mengemukakan ada 5 komponen kurikulum, yaitu:
·
komponen tujuan
·
komponen isi/materi
·
komponen media (sarana dan prasarana)
·
komponen strategi
·
komponen proses belajar mengajar.
Sementara Soemanto
(1982) mengemukakan ada 4 komponen kurikulum, yaitu:
·
Objective (tujuan)
·
Knowledges (isi atau materi)
·
School learning experiences (interaksi
belajar mengajar di sekolah)
·
Evaluation (penilaian).
Pendapat tersebut
diikuti oleh Nasution (1988), Fuaduddin dan Karya (1992), serta Nana Sudjana
(1991: 21). Walaupun istilah komponen yang dikemukakan berbeda, namun pada
intinya sama yakni:
·
Tujuan
·
Isi dan struktur kurikulum
·
Strategi pelaksanaan PBM (Proses Belajar
Mengajar)
·
Evaluasi.
5. Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan
Dalam lingkungan
masyarakatpun terjadi berbagai bentuk interaksi pendidikan, dari yang sangat
formal yang mirip dengan pendidikan di sekolah dalam bentuk kursus-kursus,
sampai dengan yang kurang formal seperti ceramah, serasehan, dan pergaulan
kerja. Gurunya juga bervariasi dari yang memiliki latar belakang pendidikan
khusus sebagaipendidik karena pengalaman. Kurikulum juga bervariasi, dari yang
memiliki kurikulum formal dan tertulis sampai dengan rencana pelajaran yang hanya
ada pada pikiran penceramah atau moderator atau gagasan keteladanan yang ada
pada pemimpin.
Dari hal-hal yang
diuraikan itu, dapat ditarik beberapa kesimpulan berkenaan dengan pendidikan
formal. Pertama, pendidikan formal memiliki rancangan pendidikan atau kurikulum
tertulis yang tersusun secara sistematis, jelas, dan rinci. Kedua, dilaksanakan
secara formal, terencana, ada yang mengawasi dan menilai. Ketiga, diberikan
oleh pendidik atau guru yang memiliki ilmu dan keterampilan khusus dalam bidang
pendidikan. Keempat, interaksi pendidikan berlangsung dalam lingkungan
tertentu, dengan fasilitas dan alat serta aturan-aturan permainan tertentu
pula.
Bahwa adanya
rancangan atau kurikulum formal dan tertulis merupakan ciri utama pendidikan di
sekolah. Dengan kata lain, kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan di
sekolah. Kalau kurikulum merupakan syarat mutlak, hal itu berarti bahwa
kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan atau
pengajaran. Dapat kita bayangkan, bagaimana bentuk pelaksanaan suatu pendidikan
atau pengajaran di sekolah yang tidak memiliki kurikulum.
Setiap praktik
pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, apakah berkenaan
dengan penguasaan pengetahuan, pengembangan pribadi, kemampuan sosial, ataupun
kemampuan bekerja.Untuk menyampaikan bahan pelajaran, ataupun mengembangkan
kemampuan-kemampuan tersebut diperlukan metode penyampaian serta alat-alat
bantu tertentu. Untuk menilai hasil dan proses pendidikan, juga diperlukan
cara-cara dan alat-alat penilaian tertentu pula. Keempat hal tersebut, yaitu
tujuan, bahan ajar, metode-alat, dan penilaian merupakan komponen-komponen
utama kurikulum.
Dengan berpedoman
pada kurikulum, interaksi pendidikan antara guru dan siswa berlangsung.
Interaksi ini tidak berlangsung dalam ruangan hampa, tetapi selalu terjadi
dalam lingkungan tertentu, yang mencakup antara lain lingkungan fisik, alam,
sosial budaya, ekonomi, politik dan religi.
Kurikulum mempunyai
kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala
bentukaktivitas pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan
memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta
proses pendidikan. Disamping kedua fungsi itu, kurikulum juga merupakan suatu
bidang studi, yang ditekuni oleh para ahli atau spesialis kurikulum, yang
menjadi sumber konsep-konsep atau memberikan landasan-landasan teoritis bagi
pengembangan kurikulum berbagai institusi pendidikan.
B. Landasan Kurikuler Pendidikan di Indonesia
1. Kurikulum di Indonesia
Menurut UU. No. 20 Tahun 2003, definisi kurikulum yaitu seperangkat rencana
dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pengajaran serta cara yang
digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai
tujuan pendidikan nasional. Sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia dimulai
setelah Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1947.Kurikulum pendidikan di
Indonesia sering berubah setiap ada pergantian menteri pendidikan, sehingga
mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang
baik.Perubahan kurikulum juga merupakan konsekuensi logis dari terjadinya
perubahan sistem politik, ekonomi, sosial budaya, dan iptek.Kurikulum merupakan
seperangkat rencana pendidikan yang perlu dikembangkan secara dinamis sesuai
dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam
perjalanan sejarahnya, kurikulum pendidikan nasional di Indonesia telah
mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994,
2004, 2006 dan 2013. Pada tahun 1947 kurikulum di Indonesia dinamakan Rencana
Pelajaran 1947 kemudian Rencana Pelajaran Terurai 1952. Pada masa orde baru,
kurikulum bergantu nama menjadi Kurikulum 1968, pada tahun 1975 dinamakan
Kurikulum 1975, lalu berganti menjadi Kurikulum 1984 yang berlanjut menjadi
Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999. Pada masa reformasi, kurikulum
berganti nama lagi menjadi Kurikulum 2004 (KBK) yang berganti 2 tahun kemudian
menjadi Kurikulum 2006 (KTSP), serta yang terbaru dalam dunia pendidikan Indonesia
yaitu Kurikulum 2013. Perubahan kurikulum yang ada di Indonesia dari tahun ke
tahun hanya mengubah nama semata, tanpa mengubah konsep kurikulum, sehingga
dampak perubahan kurikulum belum terlalu nampak.
2. Landasan Pengembangan Kurikulum di Indonesia
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan
mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam seluruh aspek kegiatan
pendidikan.Mengingat pentingnya kurikulum di dalam pendidikan dan dalam
perkembangannya, maka dalam penyusunan kurikulum harus mengacu pada landasan
yang kokoh dan kuat.Landasan kurikulum tidak hanya diperlukan bagi penyusun
kurikulum namun juga harus dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh
pelaksana kurikulum yaitu guru dan pengawas pendidikan serta pihak-pihak lain
yang terkait dengan pengelolaan pendidikan. Dengan posisinya yang penting
tersebut, maka penyusunan dan pengembangan kurikulum tidak bisa dilakukan
secara sembarangan, akan tetapi harus didasarkan pada berbagai pertimbangan
atau landasan agar dapat dijadikan dasar pijakan dalam menyelenggarakan proses
pendidikan, sehingga dapat memfasilitasi tercapainya tujuan pendidikan dan
pembelajaran secara lebih efisien dan efektif. Dalam mengembangkan kurikulum
pendidikan di Indonesia mengacu pada landasan filosofis, psikologis, sosial
budaya dan ilmiah dan teknologi.
Kurikulum pada hakikatnya adalah alat
untuk mencapai tujuan pendidikan.Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia bersumber
pada pandangan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yaitu Pancasila.
Nilai-nilai filsafat Pancasila yang dianut bangsa Indonesia dicerminkan dalam
rumusan tujuan pendidikan nasional seperti tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu: Pendidikan nasional berdasarkan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Karena
tujuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh filsafat atau pandangan hidup suatu
bangsa, maka kurikulum yang dikembangkan juga harus mencerminkan falsafah atau
pandangan hidup yang dianut oleh bangsa tersebut.Setelah Negara Indonesia merdeka,
secara bulat dan utuh menggunakan Pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup
dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka kurikulum pendidikan pun
disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.Perumusan tujuan
pendidikan, penyusunan program pendidikan, pemilihan dan penggunaan pendekatan
atau strategi pendidikan, peranan yang harus dilakukan pendidik/peserta didik
senantiasa harus sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia, yaitu
Pancasila.
Pendidikan senantiasa berkaitan dengan
perilaku peserta didik.Melalui pendidikan diharapkan adanya perubahan perilaku
peserta didik menuju kedewasaan, baik segi fisik, mental, emosional, moral,
intelektual maupun sosial. Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan/program
pendidikan, sudah pasti berhubungan dengan proses perubahan perilaku peserta
didik. Pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh asumsi-asumsi yang berasal
dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan bagaimana perkembangan
peserta didik, serta bagaimana peserta didik belajar. Atas dasar itu terdapat
dua cabang psikologi yang sangat penting diperhatikan dalam pengembangan
kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
Menurut Ross Vasta, dkk (1992) psikologi
perkembangan dapat diartikan sebagai “Cabang psikologi yang mempelajari
perubahan tingkah laku dan kemampuan sepanjang proses perkembangan individu
dari mulai masa konsepsi sampai mati". Pemahaman tentang peserta didik
sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Melalui kajian tentang
perkembangan peserta didik, diharapkan upaya pendidikan yang dilakukan sesuai
dengan karakteristik peserta didik, baik penyesuaian dari segi kemampuan yang
harus dicapai, materi atau bahan yang harus disampaikan, proses penyampaian
atau pembelajarannya, dan penyesuaian dari segi evaluasi pembelajaran.
Psikologi belajar merupakan suatu studi
tentang bagaimana individu belajar.Pembahasan tentang psikologi belajar erat
kaitannya dengan teori belajar. Pemahaman yang luas dan komprehensif tentang
berbagai teori belajar akan memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi
para pengembang kurikulum baik di tingkat makro maupun tingkat mikro untuk
merumuskan model kurikulum yang diharapkan.Sebagai contoh yaitu teori psikologi
kognitif dari Piaget.Piaget membagi tahapan perkembangan kognitif menjadi 4
tahap, yaitu tahap sensorimotor, pra operasional, operasi kongkrit dan operasi
formal.Berdasarkan tahapan perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget kita
dapat menyimpulkan bahwa cara berpikir anak prasekolah berbeda dengan anak usia
SD, demikian pula cara berpikir anak SD berbeda dengan cara berpikir anak SMP,
SMA. Karena itu teori perkembangan kognitif Piaget mengimplikasikan bahwa
pengembangan kurikulum harus memperhatikan tahap perkembangan kognisi anak.Ini
berarti penyusun kurikulum dan pelaksana kurikulum mempunyai peranan penting
untuk menyesuaikan keluasan dan kedalaman program belajar, menggunakan strategi
pembelajaran, memilih media dan sumber belajar dengan tingkat perkembangan
kognisi anak.
Mengapa pengembangan kurikulum harus mengacu
pada landasan sosiologis?Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan
pendidikan baik informal, formal, maupun non formal dalam lingkungan masyarakat
dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat.Karena itu
kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi
landasan dan titik tolak dalam pengembangan kurikulum.
Selain karakteristik masyarakat,
kebudayaan dan lingkungan sosial juga mempengaruhi pengembangan
kurikulum.Indonesia jika dilihat dari karakteristik sosial budaya, memiliki
ciri khas mengenai adat istiadat, tata karma pergaulan, kesenian, bahasa lisan
maupun tulian, kerajinan dan nilai kehidupannya masing-masing.Keanekaragaman
tersebut bukan hanya dalam kebudayaannya tetapi juga kondisi alam dan lingkungan
sosial.Oleh karena itu pengembangan kurikulum di sekolah harus mengakomodasi
unsur-unsur lingkungan yang menjadi dasar dalam menetapkan materi kurikulum
muatan lokal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi secara langsung berimplikasi terhadap pengembangan kurikulum yang di
dalamnya mencakup pengembangan isi/materi pendidikan, penggunaan strategi dan
media pembelajaran, serta penggunaan sistem evaluasi.Secara tidak langsung
menuntut dunia pendidikan untuk dapat membekali peserta didik agar memiliki
kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.Selain itu perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan.
3. Kegiatan Kurikuler
di Indonesia
Kurikuler adalah rencana atau sebuah
acuan yang mendasar dalam proses pembelajaran yang sangat berguna tentunya bagi
guru dan peserta didik guna mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan.
Dengan kurikuler kita dapat melakukan kegiatan yang tentunya bermanfaat untuk
menunjang kegiatan pembelajaran di sekolah.Dengan demikian, kurikuler juga
dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan untuk menunjang
pembelajaran agar dapat tercapai tujuan kurikulum.
Kegiatan belajar mengajar di dalam
lembaga pendidikan formal didasarkan kepada kegiatan kurikuler yang terdiri
dari berbagai kegiatan, yaitu :
a.
Kegiatan Intrakurikuler (Intra Curricular Activities)
b.
Kegiatan Kokurikuler (Co Curricular
activities)
c. Kegiatan Ekstrakurikuler (Extra Curricular
Activities)
Sebelum membahas mengenai masing-masing kegiatan
kurikuler, berikut ini merupakan struktur kurikulum yang berlaku dalam dunia
pendidikan Indonesia yang mengacu pada kurikulum terbaru, yaitu Kurikulum 2013.
1)
Struktur
Kurikulum SD/MI
MATA PELAJARAN
|
ALOKASI WAKTU BELAJAR
PER MINGGU
|
||||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
VI
|
||
Kelompok A
|
|||||||
1.
|
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
4
|
2.
|
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
|
5
|
6
|
6
|
4
|
4
|
4
|
3.
|
Bahasa Indonesia
|
8
|
8
|
10
|
7
|
7
|
7
|
4.
|
Matematika
|
5
|
6
|
6
|
6
|
6
|
6
|
5.
|
Ilmu Pengetahuan Alam
|
-
|
-
|
-
|
3
|
3
|
3
|
6.
|
Ilmu Pengetahuan Sosial
|
-
|
-
|
-
|
3
|
3
|
3
|
Kelompok B
|
|||||||
1.
|
Seni Budaya dan Prakarya
(termasuk muatan lokal)*
|
4
|
4
|
4
|
6
|
6
|
6
|
2.
|
Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan
(termasuk muatan lokal)
|
4
|
4
|
4
|
3
|
3
|
3
|
Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu
|
30
|
32
|
34
|
36
|
36
|
36
|
= Pembelajaran Tematik Integratif
|
Keterangan:
*Muatan
lokal dapat memuat Bahasa Daerah
Kegiatan Ekstra Kurikuler SD/MI antara lain:
- Pramuka
(Wajib)
- UKS
- PMR
2)
Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah
Beban belajar di SMP/MTs untuk kelas
VII, VIII, dan IX masing-masing 38 jam per minggu. Jam belajar SMP/MTs adalah
40 menit. Dalam struktur kurikulum SMP/MTs ada penambahan jam belajar per
minggu dari semula 32, 32, dan 32 menjadi 38, 38 dan 38 untuk masing-masing
kelas VII, VIII, dan IX. Sedangkan lama belajar untuk setiap jam belajar di
SMP/MTs tetap yaitu 40 menit.
Selain kegiatan intrakurikuler seperti
yang tercantum di dalam struktur kurikulum diatas, terdapat pula kegiatan
ekstrakurikuler SMP/MTs antara lain Pramuka, (Wajib), Organisasi Siswa Intra
Sekolah, Usaha Kesehatan Sekolah, dan Palang Merah Remaja
3)
Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah
Untuk
mewadahi konsep kesamaan muatan antara Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah
dan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan, maka dikembangkan
Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah, terdiri atas Kelompok Matapelajaran
Wajib dan Matapelajaran Pilihan. Isi kurikulum (KI dan KD) dan kemasan
substansi untuk matapelajaran wajib bagi antara Sekolah Menengah Atas/Madrasah
Aliyah dan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan adalah sama.
Matapelajaran pilihan terdiri atas
pilihan akademik untuk antara Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah serta
pilihan akademik dan vokasional untuk Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah
Kejuruan.Matapelajaran pilihan ini memberi corak kepada fungsi satuan
pendidikan, dan didalamnya terdapat pilihan sesuai dengan minat peserta
didik.Struktur ini menerapkan prinsip bahwa peserta didik merupakan subjek
dalam belajar yang memiliki hak untuk memilih matapelajaran sesuai dengan
minatnya.
Matapelajaran Kelompok A dan C adalah
kelompok matapelajaran yang substansinya dikembangkan oleh pusat.Matapelajaran
Kelompok B adalah kelompok matapelajaran yang substansinya dikembangkan oleh
pusat dan dapat dilengkapi dengan muatan lokal yang dikembangkan oleh
pemerintah daerah. Kegiatan Ekstrakurikuler Sekolah Menengah Atas/Madrasah
Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan: Pramuka (wajib),
OSIS, UKS, PMR, dan lain-lain, diatur lebih lanjut dalam bentuk Pedoman Program
Ekstrakurikuler.
a.
Kegiatan Intrakurikuler (Intra Curricular Activities)
Menurut Pardede (2005) kegiatan Intrakurikuler
merupakan kegiatan yang dilakukan di sekolah dengan jatah waktu yang telah
ditetapkan dalam struktur program dan dimaksudkan untuk mencapai tujuan minimal
tiap mata pelajaran.Melalui kegiatan intrakurikuler, pengembangan potensi siswa
dapat terwujud melalui proses belajar yang melibatkan siswa secara aktif (active learning).
Contoh dari kegiatan intrakurikuler yang paling umum yaitu
setiap sekolah umum pasti ada kegiatan mendidik siswa dengan berbagai mata
pelajaran seperti Matematika, PKN, Agama, dan lain sebagainya yang dilaksanakan
misalkan pukul 07.00-13.00 dengan ada jeda waktu atau istirahat 2 kali.Salah
satu pengembangan kegiatan intrakurikuler nonformal dalam dunia pendidikan
Indonesia yaitu Pendidikan Kesetaraan (Paket A, B, C) dan Homeschooling (sekolah rumah).
Pendidikan Kesetaraan (Paket A, B,
C)
Kelompok Belajar atau Kejar adalah jalur pendidikan nonformal yang difasilitasi oleh
Pemerintah untuk siswa yang belajarnya tidak melalui jalur sekolah, atau bagi
siswa yang belajar di sekolah berbasis kurikulum non pemerintah seperti
Cambridge, dan IB (International Baccalureate). Kejar terdiri atas tiga paket:
Paket A, Paket B dan Paket C. Setiap peserta Kejar dapat mengikuti Ujian
Kesetaraan yang diselenggarakanoleh Departemen
Pendidikan Nasional.Kejar
paket diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia
Nomor 77 Tahun 2009. Sedangkan penyelenggara kejar paket yaitu BSNP yang
pelaksanaannya bekerja sama dengan instansi terkait di lingkungan Pemerintah,
pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan kecamatan.
Pendidikan kesetaraan sebagai salah satu bentuk layanan
pendidikan nonformal diharapkan dapat berkontribusi lebih banyak terutama dalam
mendukung suksesnya program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun
(Wajar Dikdas 9 Tahun) yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 1994, yakni
melalui penyelenggaraan program pendidikan kejar Paket A dan Paket B, serta
perluasan akses pendidikan menengah melalui penyelenggaraan program Paket C.
Program ini ditujukan bagi peserta didik yang berasal dari masyarakat yang
kurang beruntung, tidak sekolah, putus sekolah dan putus lanjutan, serta usia
produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidup, dan warga
masyarakat lain yang memerlukan layanan khusus dalam memenuhi kebutuhan
belajarnya sebagai dampak dari perubahan peningkatan taraf hidup, ilmu
pengetahuan dan teknologi.Berikut merupakan problematika dalam pelaksanaan
pendidikan kesetaraan di Indonesia.
1) Tutor kejar paket
banyak yang belum siap untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran, seperti
kesiapan perangkat pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran selama 4 kali
seminggu namun kenyataannya tidak berlangsung sesuai rencana. Sistem
pembelajaran yang masih belum memaksimalkan metode yang ada.Penggunaan media
pembelajaran yang amsih minim.
2) Siswa dari kejar
paket sebagian besar berusia di atas usia sekolah.
3) Kondisi sarana
prasarana pendidikan masih memprihatinkan, mulai dari gedung tempat proses
belajar, buku paket maupun modul, perpustakaan, dsb.
Strategi pemecahan
yang harus dilaksanakan tentunya memperbaiki kualitas pendidikan kesetaraan
sendiri.mulai dari sarana prasarana sampai dengan honor untuk tenaga pendidik
(tutor). Perbaikan ini hendaknya dilaksanakan secara menyeluruh dan
bertahap.Dimulai dari beberapa kelemahan yang ada pada sistem kurikulum serta
kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan dengan menggunakan
strategi yang sesuai dan tepat sasaran.
Homeschooling
(Sekolah Rumah)
Berbeda dengan pendidikan penyetaraan, menurut Sumardiono
(2007) homeschooling merupakan suatu alternatif belajar selain di sekolah yang
merupakan upaya suatu keluarga dalam proses pendidikan anak yang berbasis
rumah.
Legalitas mengenai keberadaan
homeschooling di Indonesia dijamin oleh Undang – Undang, yaitu :
§ UUD
45 Pasal 31. Ayat (1) :
Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
§ UUD
45 Pasal 31. Ayat (2) :
Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib
membiayainya.
§ UU No
20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27 :
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga
dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.Hasil Pendidikan
sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diakui sama dengan pendidikan formal dan
non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional
pendidikan.Dalam hal ini, Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses
pelayanan informal kecuali standar penilaian apabila akan disetarakan dengan
pendidikan jalur formal dan nonformal sebagaimana yang dinyatakan pada UU No.
20/23, pasal 27 ayat (2).
§ UU
HAM Tahun 1999 Pasal 12
§ Peraturan
Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan
§ Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional RI No.131 & 132/U/2004 tentang Program Paket
A/B/C.
Di
Indonesia sendiri saat ini banyak berkembang komunitas-komunitas Homeschooling, diantaranya Morning Star
Academy, Komunitas HS Berkemas, HS Kak Seto dan KerLip. Mengapa orang tua
memilih homeschooling? Menurut (Sumardiono, 2007e) alasan memilih HS yaitu orang tua ingin
meningkatkan kualitas anak, tidak puas dengan kualitas pendidikan di sekolah
reguler, merasa keamanan dan pergaulan sekolah tidak kondusif bagi perkembangan
anak, menginginkan hubungan keluarga yang lebih dekat dengan anak, merasa
sekolah yang baik semakin mahal dan tidak terjangkau, memiliki keyakinan bahwa sistem
yang ada tidak mendukung nilai-nilai keluarga yang dipegangnya, merasa
terpanggil untuk mendidik sendiri anak-anaknya, sering berpindah-pindah atau
melakukan perjalanan, dan merasa bahwa anak-anaknya memiliki kebutuhan khusus
yang tidak dapat dipenuhi di sekolah umum.
Siswa yang memilih homeschooling akan memperoleh ijazah kesetaraan
yang dikeluarkan oleh DEPDIKNAS yaitu :
§ Paket A setara SD
§ Paket B setara SMP
§ Paket C setara SMU
Ijazah ini dapat digunakan untuk
meneruskan pendidikan ke sekolah formal yang lebih tinggi bahkan ke luar negeri
sekalipun.Bahkan pada beberapa komunitas homeschooling di
Indonesia menginduk padahomeschooling di
Amerika Serikat, sehingga ijazah yang mereka dapatkan adalah ijazah
internasional.Jika pada saatnya anak-anak telah siap mengikuti ujian, maka
orang tua bisa mengikutsertakannya dalam ujian negara.Akan tetapi, jika orang
tua merasa bahwa ijazah tidak penting, tidak ikut ujian pun tidak mengapa.
Terdapat
beberapa problematika berkaitan dengan penyelenggaraan homeschooling beserta pembahasannya.
1) Bagaimana masa depan anak yang mengikuti homeschooling?
Untuk
memasuki dunia masa depan (profesi), anak membutuhkan keahlian dalam bidang
tertentu (Sumardiono, 2007d). Salah satu tanda keahlian ditandai dengan
ijazah/sertifikat dari jenjang pendidikan tertentu.Seperti yang sudah
dijelaskan di atas, anak yang mengikuti homeschooling
memilki ijazah kesetaraan (Paket A, B dan C) yang dapat digunakan untuk
melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.Selain itu, anak juga dapat
mengikuti kursus dan program sertifikasi yang diselenggarakan oleh lembaga
tertentu sehingga mereka tetap dapat mengasah kemampuan kognitif serta
psikomotor.
2) Bagaimana biaya homeschooling?
Biaya
dari homeschooling bergantung pada
keluarga yang menyelenggarakannya (Sumardiono, 2007b).Homeschooling menjadi murah jika orang tua dapat memanfaatkan
sumber daya yang ada di sekitarnya. Misalnya, orang tua tidak perlu membeli
buku baru karena buku ‘sang kakak’ masih bisa digunakan karena substansialnya
sama, orang tua bisa mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat digunakan
sebagai media dalam pembelajaran.
3) Apakah orang tua perlu untuk menjadi serba tahu?
Menurut
Mustika (2007a) orang tua tidak harus menjadi orang yang serba tau dalam meng- homeschooling anaknya.Yang terpenting
dari HS yaitu penanaman sikap mental belajar kepada anak-anaknya sehingga
mereka dapat belajar kapan saja, di mana saja dan bersama siapa saja.Sisi yang
demikian yang tidak diperoleh anak melalui pendidikan formal di sekolah yang
disibukkan dengan PR, tugas, ulangan, dsb.Poin penting yang ditekankan pada
anak yaitu “bagaimana belajar” sehingga diharapkan mereka menjadi pebelajar
yang mandiri (Mustika, 2007 b).
4) Apakah homeschooling
minim interaksi sosial?
Banyak
sekali kritikan mengenai interaksi sosial dari homeschooling.Bahkan di Amerika serikat, dengan tingkat homeschoolingyang lebih matang mempunyai
kekhawatiran terhadap sosialisasi dari homeschooler
(Sumardiono, 2007).Lebih lanjut, persepsi yang kuat mengenai lemahnya interaksi
sosial dari homeschooler muncul dari
masyarakat umum yang melihat homeschoolingdari
kejauhan.Namun, penelitian lebih lanjut mengenai interaksi sosial ini justru
menunjukkan sebaliknya. Anak-anak HS
memiliki beragam kegiatan sosialisasi teman sebaya maupun keterlibatan di
masyarakat yang ada di sekitarnya.Menurut penelitian, keterlibatan sosial
anak-anak Homeschooling lebih baik dibandingkan dengan teman-teman mereka yang
belajar di sekolah umum.Model sosialisasi Homeschooling memang berbeda dengan
model sosialisasi sekolah (Sumardion, 2007).Dalam model sosialisasi
Homeschooling, anak lebih banyak terekspos dengan model sosialisasi lintas
umur, baik ketika belajar di rumah maupun di luar rumah.Ekspose dengan model
sosialisasi lintas-umur inilah yang justru dinilai sebagai kekuatan karena
merupakan cermin dari realitas masyarakat yang sesungguhnya.
b. Kegiatan Kokurikuler (Co Curricular activities)
Menurut
Winarno Hamiseno, kegiatan kokurikuler
adalah kegiatan di luar jam pelajaran biasa (termasuk
waktu libur), yang dilakukan di sekolah ataupun di luar
sekolah dengan tujuan menunjang pelaksanaan program
intrakurikuler agar siswa dapat lebih
menghayati bahan yang telah dipelajarinya serta melatih
siswa untuk melaksanakan tugas secara bertanggung jawab.Dalam pelaksanaan
kegiatan kokurikuler, harus memperhatikan azas-azas yang telah ditetapkan oleh
Depdiknas, yaitu.
Ø
Harus menunjang langsung pada
kegiatan intrakurikuler dan kepentingan belajar siswa.
Ø
Tidak merupakan beban yang
berlebihan bagi siswa.
Ø
Tidak menimbulkan beban
pembiayaan tambahan yang berat bagi orang
tua siswa.
Ø
Memerlukan pengadministrasian,
pemantauan (monitoring) dan penilaian
Bentuk pelaksanaan kegiatan kokurikuler antara lain
dapat berupa pemberian tugas pekerjaan rumah secara kelompok maupun individu.
Pemberian tugas secara kelompok bertujuan untuk mengembangkan sikap gotong
royong, saling menghargai, kerja sama yang akhirnya dapat membentuk siswa
menjadi masyarakat yang baik. Sedangkan pemberian tugas secara individu
bertujuan untuk pengembangan kognitif siswa, minat siswa serta membuat siswa
menjadi mandiri.Contoh kegiatan kokurikuler secara umum yaitu Masa Orientasi
Siswa (MOS), outbound, study tour, bhakti sosial, dll.
Sedangkan dalam mata pelajaran fisika kegiatan kokurikuler dapat berupa
pemberian soal dengan kompleksitas tinggi di luar jam pelajaran, olimpiade
fisika, Karya Ilmiah Remaja dalam bidang fisika, elektronika, proyek membuat
alat-alat peraga dan study tour atau study wisata ke pusat pengembangan ilmu
fisika.
Selain
kegiatan kokurikuler yang diselenggarakan oleh sekolah formal, dewasa ini dalam
dunia pendidikan Indonesia semakin marak pertumbuhan bimbingan
belajar.Bimbingan belajar merupakan salah satu bentuk kegiatan ekstrakurikuler
yang dilakukan diluar sekolah atau ditengah-tengah masyarakat yang bertujuan
untuk membantu kebutuhan manusia akan pendidikan. Sebagai bentuk pendidikan non
formal, bimbingan belajar ini sangat potensial untuk meningkatkan hasil belajar
siswa.Bimbingan belajar dan sekolah formal merupakan dua lembaga yang
berbeda.Dari segi bentuk, bimbel merupakan lembaga pendidikan yang tidak
diselenggarakan oleh pemerintah yang didirikan oleh
perorangan/individu/kelompok tertentu, sedangkan sekolah formal adalah lembaga
pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Namun kedua lembaga pendidikan
ini mempunyai tujuan yang sama yaitu memberikan pendidikan kepada siswa.
Yang
menjadi pertanyaan dan catatan menarik bagi kita sebagai pelaksana pendidikan
yaitu mengapa bimbingan belajar yang ada di Indonesia saat ini mengalami
peningkatan yang sangat signifikan?Padahal jika ditelusuri lebih jauh, orang
tua harus mengeluarkan biaya bimbingan belajar yang lebih banyak disbanding
dengan biaya di sekolah formal pada umumnya.Ketidakpuasan terhadap kondisi
pembelajaran di sekolah diyakini menjadi salah satu penyebab pesatnya perkembangan
bimbingan belajar.Peran sekolah yang memiliki otoritas pendidikan sering
dipertanyakan.Hal inilah yang menjadi suatu masalah dalam dunia pendidikan di
Indonesia.Sebagai alternatif belajar di luar sekolah banyak siswa yang
menggantungkan harapannya pada bimbingan belajar untuk mendapatkan materi yang
belum atau tidak diajarkan di sekolah.
Para
siswa mengikuti bimbingan belajar dikarenakan beberapa hal seperti ketika
belajar di sekolah guru menjelaskan terlampau cepat, sehingga siswa menjadi
kurang memahami materi dan ada kalanya siswa ketika belajar di sekolah tidak
bisa berkonsentrasi dengan baik, sehingga apa yang diterima dari guru juga
kurang maksimal.
Kegiatan
bimbingan belajar lebih banyak mengarahkan siswa untuk mengerjakan latihan
soal.Banyak manfaat yang diperoleh melalui bimbingan belajar. Mereka akan
terbantu untuk memahami pelajaran yang belum dikuasainya. Seperti yang kita
ketahui, waktu pembelajaran setiap mata pelajaran dibatasi. Misalnya pada
pelajaran fisika hanya diberikan waktu 1 x 45 menit setiap tatap muka, Inilah
yang menjadi penyebab guru dan siswa tidak dapat berdiskusi lebih lama. Padahal
materi yang diajarkan banyak.Sehingga dengan mengikuti bimbel, siswa dapat
bertanya dan berdiskusi materi di sekolah yang masih membingungkannya.
Selain
bimbingan belajar, yang semakin marak saat ini terutama di Kota Malang yaitu
les privat.Les privat
adalah pembelajaran di luar sekolah, yang dilakukan oleh pemberi jasa di luar
jam kegiatan belajar mengajar, yang menggunakan kurikulum sekolah sebagai
acuan, dengan jumlah siswa dibatasi maksimal 4, dan dibatasi oleh waktu
tertentu.Pemberi jasa tersebut selanjutnya dinamakan guru les privat, baik
statusnya masih mahasiswa ataupun sudah menjadi guru. Adapun jika jumlah siswa
yang diajar berkisar antara 4 sampai 9 siswa maka dinamakam les semi privat,
dan lebih dari 9 siswa dinamakan les kelas klasikal.Les privat mengeluarkan
biaya yang lebih banyak disbanding dengan les kelas klasikal. Contohnya, untuk
tingkat kelas X SMA Mapel Fisika, 1 kali pertemuan dengan waktu 1,5 jam
membayar rata-rata 40.000 rupiah. Namun keuntungan yang diterima siswa juga
banyak. Seperti siswa yang pemalu di sekolah dapat menanyakan apa yang tidak
dimengerti pada guru les. Siswa secara individu juga mendapatkan ilmu yang
lebih banyak disbanding ketika siswa harus mengikuti les dengan banyak siswa
lain.
Namun
bimbingan belajar maupun les privat mempunyai beberapa kekurangan, diantaranya:
1.
Untuk kegiatan bimbel dengan siswa yang cukup banyak, materi hampir 70 % tidak
mampu diserap siswa, interaksi antara tentor dan siswa juga kurang, untuk
mengajukan pertanyaan juga sangat terbatas.
2.
Sedangkan pada les privat, biaya les terlalu tinggi.
3.
Untuk bimbel dan privat sendiri, seringkali memberikan rumus yang sudah jadi
kepada siswa, tanpa memberi tahu konsep yang melatarbelakangi rumus tersebut.
Sehingga tidak jarang, siswa menjadi lebih hafal rumus disbanding memahami
konsepnya.
c. Kegiatan Ekstrakurikuler (Extra Curricular Activities)
Menurut
Usman (1993:22), ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang dilakukan diluar jam
pelajaran (tatap muka) baik dilaksanakan di sekolah maupun diluar sekolah
dengan maksud untuk lebih memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan
kemampuan yang telah dimiliki dari berbagai bidang studi. Nurgiantoro (2005)
menyebutkan bahwa ekstrakurikuler adalah kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan
untuk memperluas pengetahuan siswa, mengembangkan nilai-nilai atau sikap dan
menerapkan secara lebih lanjut pengetahuan yang telah dipelajari siswa baik
untuk mata pelajaran program inti maupun program pilihan.Berdasarkan kedua
pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan ekstrakurikuler
adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan di luar kegiatan intrakurikuler yang
bertujuan untuk memperluas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki siswa.
Syarat
diadakannya ekstrakurikuler adalah sebagai berikut.
1. Guru atau
pelatih
2. Alat dan
fasilitas
3. Lingkungan
Contoh
kegiatan ekstrakurikuler berdasarkan struktur kurikulum yang dicanangkan
pemerintah yaitu Pramuka (wajib), OSIS, UKS, PMR.Apakah untuk matapelajaran
fisika tidak terdapat ekstrakurikuler?Kegiatan ekstrakurikuler dalam
matapelajaran fisika salah satunya yaitu Klub Sains Fisika yang terdapat di SMA
4 Muhammadiyah Bengkulu.Klub ini merupakan salah satu klub dengan jumlah
peminat yang cukup banyak.Klub Sains Fisika adalah gabungan dari siswa-siswi
yang gemar dalam bidang fisika, baik yang berprestasi maupun kurang
berprestasi.Bagi siswa yang kurang berprestasi, klub ini merupakan wadah untuk
mendapat pengenalan dan pemahaman tentang fisika.Sedangkan bagi mereka yang
memahami, merupakan salah satu peluang untuk lebih memperdalam ilmu fisika.
4. Problematika Kurikulum di
Indonesia
a) Kurikulum di Indonesia Sering
Berganti Nama
Kurikulum adalah sebuah
sistem dalam pendidikan yang dijadikan sebagai acuan dalam proses dan hasil
pendidikan. Kurikulum dianggap sebagai dasar atau asas dalam pendidikan secara
menyeluruh.Sehingga, apabila dasar tersebut tak kokoh maka yang terjadi adalah
sebuah kerobohan pendidikan.Kurikulum di Indonesia dianggap sebagai kurikulum
yang lemah atau tak kokoh, sehingga kemungkinan robohnya pendidikan Indonesia
semakin besar.Hal ini dibuktikan dengan sering bergantinya kurikulum-kurikulum
tersebut dari tahun ke tahun dalam kurun waktu kurang lebih 70 tahun.Pemerintah
mengganti kurikulum pendidikan yang sedang berlaku pada masa itu karena
kurikulum tersebut dianggap tidak dapat mencapai tujuannya dan memecahkan
masalah yang terjadi pada kurikulum sebelumnya.
Kurikulum di Indonesia sering sekali mengalami perubahan.
Namun, perubahan tersebut hanyalah sebatas perubahan nama semata. Tanpa
mengubah konsep kurikulum, tentulah tidak akan ada dampak positif dari
perubahan kurikulum Indonesia. Bahkan, pengubahan nama kurikulum mampu
disajikan sebagai lahan bisnis oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Pengubahan nama kurikulum tentulah memerlukan dana yang
cukup banyak. Apabila dilihat dari sudut pandang ekonomi, alangkah baiknya jika
dana tersebut digunakan untuk bantuan pendidikan yang lebih berpotensi untuk
kemajuan pendidikan.Berikut ini ada beberapa keluhan/komentar yang datang dari
berbagai lapisan masyarakat termasuk pendidik.Komentar ini diambil oleh
kelompok kami melalui sebuah artikel tentang kurikulum 2013.
2)
Kurikulum di Indonesia terlalu Kompleks
Jika
dibandingkan dengan kurikulum di negara maju, kurikulum yang dijalankan di
Indonesia terlalu kompleks. Hal ini akan berakibat bagi guru dan siswa. Siswa
akan terbebani dengan segudang materi yang harus dikuasainya. Ssiswa harus berusaha
keras untuk memahami dan mengejar materi yang sudah ditargetkan. Hal ini akan
mengakibatkan siswa tidak akan memahami seluruh materi yang diajarkan. Siswa
akan lebih memilih untuk mempelajari materi dan hanya memahami sepintas tentang
materi tersebut. Dampaknya, pengetahuan siswa akan sangat terbatas dan siswa
kurang mengeluarkan potensinya, daya saing siswa akan berkurang.
Selain berdampak pada siswa, guru
juga akan mendapat dampaknya. Tugas guru akan semakin menumpuk dan kurang
maksimal dalam memberikan pengajaran. Guru akan terbebani dengan pencapaian
target materi yang terlalu banyak, sekalipun masih banyak siswa yang mengalami
kesulitan, guru harus tetap melanjutkan materi. Hal ini tidak sesuai dengan
peran guru. Kurikulum di Indonesia yang cenderung fokus pada kemampuan
intelektual membuat bakat atau soft skill siswa tidak berkembang.Padahal,
sebenarnya bakat siswa bermacam-macam dan tidak bisa dipaksa harus berada di
suatu bidang saja.
Sebagai perbandingan, Negara Jepang
mempunyai struktur kurikulum yang sama dengan Negara Indonesia, yaitu pada
tingkat Sekolah Dasar 6 tahun, Sekolah Menengah Pertama 3 tahun dan Sekolah
Menengah akhir 3 tahun. Pada jenjang SMP, jumlah jam belajar selama 1 minggu di
Jepang yaitu 30 jam, sedangkan di Indonesia 38 jam. Dan pada tingkat SMA, di
jepang 34 jam perminggu sedangkan di Indonesia mencapai 42 jam per minggu.
Berdasarka uraian tersebut, maka alangkah baiknya jika kita merefleksi
kurikulum di Jepang, kita tidak memberikan beban jam belajar yang banyak pada
siswa, namun pemberian tugas/keterampilan di luar sekolah harus diperbanyak.
3) Apakah Kurikulum yang Ada sudah
Berjalan dengan Baik Dan Bagaimana Caranya?
Seperti yang kita tahu, kurikulum
dalam pendidikan Indonesia dimulai dari tahun 1947.Kurikulum terbaru yang baru
saja diterapkan yaitu kurikulum 2013. Namun belum genap 2 tahun kurikulum
tersebut digunakan, ada isu dari pemerintah bahwa K 13 akan dihapus dan akan
kembali pada kurikulum lama yaitu KTSP. Uraian di atas, merupakan suatu problem
yang besar yang dialami dunia pendidikan di Indonesia.Padahal implementasi K 13
sendiri belum terlalu menampakkan hasil yang positif dan para praktisi
pendidikan juga belum sepenuhnya memahami kajian-kajian yang terdapat dalam K
13.Sehingga para pendidik dibuat semakin bingung dengan gonta-gantinya kurikulum ini.Dengan adanya masalah tersebut, maka
kurikulum yang berlaku di Indonesia belum dapat dikatakan berjalan dengan baik.
Sebenarnya dari segi konsep,
kurikulum yang ada di Indonesia tidak kalah dengan kurikulum luar negeri, namun
dari segi praktiknya masih jauh dibilang baik.Agar kurikulum di Indonesia dapat
berjalan lebih baik lagi, kita perlu mencontoh kurikulum yang ada di Negara
Jepang.Uji coba kurikulum di negara tersebut berlangsung selama 3 tahun sebelum
di implementasikan ke sekolah.Sehingga para praktisi pendidikan mempunyai
kemampuan yang baik dalam melaksanakan dan dalam uji coba tersebut, pemerintah
dapat merevisi hal-hal yang dianggap kurang baik sehingga kurikulum yang
dihasilkan juga berkualitas.
C. Landasan Kurikuler Pendidikan di Jepang
1.
Tujuan pendidikan Jepang
Tujuan
pendidikan Jepang tercantum dalam undang-undang pokok pendidikan tahun 1947
ayat 1, menyatakan bahwa, pendidikan
Jepang bertujuan untuk mengembangkan sepenuhnya kepribadian setiap individu baik
fisik, maupun psikis, yang cinta kebenaran dan keadilan, menghormati
nilai-nilai pribadi orang lain menghargai pekerjaan, memiliki rasa tanggung
jawab dengan semangat kemerdekaan sebagai pendiri Negara dan masyarakat yang
damai (Riyana, 2008: 10).
2.
Sistem
pendidikan Jepang
Sistem
pendidikan di Jepang hampir sama dengan system pendidikan di Indonesia. Anak
usia 6 tahun – 11 tahun wajib mengikuti sekolah dasar (elementary school), dan anak usia dari 12 tahun – 14 tahun wajib
mengikuti sekolah menengah pertama (lower
secondary school). Enam tahun sekolah dasar dan tiga tahun kemudian di
sekolah menengah pertama. Lalu usia 15 tahun – 17 tahun harus mengikuti sekolah
menengah atas (higher secondary school).
3.
Penyusun
kurikulum pendidikan Jepang
Kurikulum pendidikan
untuk sekolah-sekolah di Jepang ditentukan oleh menteri pendidikan, lalu dewan
pendidikan distrik dan kota praja yang bertugas untuk mengembangkan kurikulum
yang telah ditentukan oleh menteri pendidikan tersebut.
Monbusho
(kementerian pendidikan, sains, olahraga dan kebudayaan Jepang) telah mengatur
standar nasional pendidikan dari tingkat pendidikan taman kanak-kanak hingga
tingkat pendidikan menengah atas. Monbusho mengatur seluruh jenis mata
pelajaran yang disampaikan danmenentukan jumlah jam pengajaran tiap-tiap mata
pelajaran tersebut. Standar pokok, seperti tujuan dan konten isi seluruh mata
pelajaran telah ditetapkan di standar kurikulum nasional dari taman
kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menegah atas.
Standar
kuriulum nasional pertama kali ditetapkan pada tahun 1947. Kemudian revisi
kurikulum dilakukan 10 tahun kemudian. Revisi standar dibuat sejak adanya
rekomendasi dari dewan kurikulum (curriculum
council), bagian pansehat dari menteri pendidikan, sains olahraga dan
budaya.
4.
Perkembangan
kurikulum pendidikan Jepang
Pembaharuan
kurikulum Jepang berlangsung setiap 10 tahun sekali, dan kurikulum terbaru yang
diterbitkan di tahun 1998 adalah pembaharuan ketujuh sejak kurikulum yang
diterapkan pada Perang Dunia II (Riyana, 2008: 11). Adanya kurikulum 1998
membawa suasana baru dalam duni pendidikan Jepang. Kurikulum 1998 ini jelas
berbeda dengan kurikulum sebelumnya, dalam hal konsep yang diusungnya yakni
pendidikan yang berorientasi kepada pengembangan beragam personality siswa,
bukan seperti kurikulum sebelumnya yang mengusung konsep common education, atau pendidikan yang sama untuk semua siswa.
Sejak
perang dunia, guru-guru di Jepang percaya bahwa pendidikan harus bersifat
missal dan sama, bahkan pendidikan yang
menjurus pada kekhasan tertentu atau menerapkan pola/metode lain yang
berbeda dengan yang lainnya adalah salah. Guru-guru Jepang menganggap bahwa
setiap siswa harus memiliki prestasi belajar yang sama dengan siswa yang
lainnya. Namun dengan adanya kurikulum baru, menyadarkan bahwa setiap anak
memiliki potensi beragam, dan inilah yang harus berusaha dikembangkan.
Kurikulum
yang baru lebih bersifat fleksibel dan memungkinkan setiap sekolah untuk meramu
kurikulum yang didasarkan pada kondisi siswa dimasing-masing sekolah, kondisi
lingkungan, sarana dan prasarana, budaya dan sebagainya. Sebagai contoh, pada
tingkat sekolah menengah pertama, pihak sekolah dapat memberikan mata pelajaran
pilihan selain dari mata pelajaran wajib.
Dengan
adanya perubahan ini, diadakan training besar-besaran hyang bertujuan untuk
merubah pola piker guru-guru Jepang. Selain itu, Monbusho juga melakukan
perevisian buku-buku pelajaran yang digunakan pada masa kurikulum sebelumnya.
Secara hampir bersamaan, diberikan pula usulan keberlakuan 5 hari sekolah dan
penambahan jam khusus yang bertujuan untuk mengembangkan jiwa sosial peserta
didik dengan melalui integrated course
atau sougoteki jikan.
Pada level
sekolah, kurikulum sepenuhnya dikontrol dari The Board of Education di tingkat profectur dan municipal
(distrik). Karena kedua lembaga ini masing sangat berkaitan erat dengan
monbusho, maka pengembangan kurikulum Jepang masih sangat kental dengan sifat
sentralistiknya. Namun rekomendasi yang dikeluarkan oleh Central Council for Education (chuuou
shingi kyouiku kai) pada tahun 1997 memungkinkan sekolah berperan lebih
banyak dalam pengembangan kurikulum pada masa yang akan dating.
Di Jepang ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat
sekolah akan menyusun kurikulum, diantaranya:
(1)
Mengacu kepada standar kurikulum nasional
(2)
Mengutamakan keharmonisan pertumbuhan pertumbuhan
jasmani dan rohani siswa
(3)
Menyesuaikan dengan lingkungan sekitar
(4)
Memperhatikan karakteristik course pendidikan.jurusan pada level sekolah menengah atas
Kurikulum sekolah di Jepang meliputi tiga aspek yaitu,
subjects
(kamoku), moral education (doutoukukyouiku) dan extracurricular (Riyana,
2008: 13). Subject atau mata pelajaran, terdiri atas mata pelajaran wajib untuk
tingkat sekolah dasar, dan terdiri dari mata pelajaran wajib dan pilihan untuk
sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas. Untuk pendidikan moral
berbeda dengan di Indonesia yang merupakan pelajaran khusus. Di Jepang,
pendidikan moral berupa guidance dan
konseling selama 1 jam pelajaran dalam seminggu yang dilakukan oleh guru maupun
walikelas. Untuk pendidikan moral tidak ada penilaian khusus di dalam laporan
hasil belajar. Sedangkan kegiatan ekstrakulikuler meliputi kegiatan seni,
olahraga, maupun event sekolah.
5.
Reformasi
Kurikulum di Jepang
Kurikulum sekolah di Jepang disusun oleh bagian
perencanaan kurikulum yang terdapat dalam Kementrian Pendidikan (MEXT). Panduan
kurikulum di sekolah disebut Gakushū shidōyōryō (GS) yang diakui secara hukum,
sehingga pelanggaran terhadapnya akan dikenai sanksi hukum. GS merupakan
panduan kurikulum untuk SD (shōgakkō), SMP (chūgakkō), SMP-SMA satu atap
(chūtōkyōikugakkō), SMA (kōtōgakkō), dan SLB (tokubetsushiengakkō). Sedangkan
untuk panduan kurikulum Taman Kanak-Kanak (yōchien) disebut yōchienkyouikuyōryō[1].
Panduan kurikulum yang pernah berlaku di Jepang adalah GS 1947, GS 1951, GS 1961, GS 1971, GS 1980, GS 1992, dan GS 2002. Penamaan tersebut berdasarkan tahun penerapannya di level SD. Sebagai contoh, kurikulum 1947 adalah kurikulum yang disusun dua atau tiga tahun sebelumnya, dan diterapkan secara tuntas di level SD pada tahun 1947. Pengecualian untuk kurikulum SMA yang mengalami pembaharuan juga pada tahun 1956.
Kurikulum yang rencananya akan diterapkan pada dekade selanjutnya adalah GS 2011. Penyusunan dan publikasi kurikulum ini dilakukan tiga tahun sebelum diterapkan. Misalnya untuk reformasi kurikulum SD yang direncanakan akan diterapkan pada tahun 2011 dan SMP yang akan diterapkan tahun 2012, telah terselesaikan penyusunannya pada 28 Maret 2008. Sementara itu kurikulum untuk SMA dan SLB yang akan diterapkan tahun 2013 telah diselesaikan penyusunannya dan diumumkan ke publik untuk mendapatkan masukan pada 9 Maret 2009.
Kurikulum pertama, GS 1947 adalah kurikulum yang banyak dipengaruhi oleh reformasi pendidikan pasca perang. Beberapa mata pelajaran pada jaman sebelum perang seperti shūshin (mental/spirit education), geografi (chiri) dan sejarah (rekishi) dihapus di level SD[2], dan mapel baru diperkenalkan yaitu IPS dan Jiyūkenkyū (penelitian bebas), serta pelajaran keterampilan (homemaking) diberikan tanpa membedakan jenis kelamin siswa (co-education).
Panduan kurikulum yang pernah berlaku di Jepang adalah GS 1947, GS 1951, GS 1961, GS 1971, GS 1980, GS 1992, dan GS 2002. Penamaan tersebut berdasarkan tahun penerapannya di level SD. Sebagai contoh, kurikulum 1947 adalah kurikulum yang disusun dua atau tiga tahun sebelumnya, dan diterapkan secara tuntas di level SD pada tahun 1947. Pengecualian untuk kurikulum SMA yang mengalami pembaharuan juga pada tahun 1956.
Kurikulum yang rencananya akan diterapkan pada dekade selanjutnya adalah GS 2011. Penyusunan dan publikasi kurikulum ini dilakukan tiga tahun sebelum diterapkan. Misalnya untuk reformasi kurikulum SD yang direncanakan akan diterapkan pada tahun 2011 dan SMP yang akan diterapkan tahun 2012, telah terselesaikan penyusunannya pada 28 Maret 2008. Sementara itu kurikulum untuk SMA dan SLB yang akan diterapkan tahun 2013 telah diselesaikan penyusunannya dan diumumkan ke publik untuk mendapatkan masukan pada 9 Maret 2009.
Kurikulum pertama, GS 1947 adalah kurikulum yang banyak dipengaruhi oleh reformasi pendidikan pasca perang. Beberapa mata pelajaran pada jaman sebelum perang seperti shūshin (mental/spirit education), geografi (chiri) dan sejarah (rekishi) dihapus di level SD[2], dan mapel baru diperkenalkan yaitu IPS dan Jiyūkenkyū (penelitian bebas), serta pelajaran keterampilan (homemaking) diberikan tanpa membedakan jenis kelamin siswa (co-education).
1. TK di Jepang lebih cenderung merupakan lembaga
pengembangan dan pelatihan kebiasaan sehari-hari, oleh karena itu pendidikan di
level TK bukanlah pengajaran (gakushū), tetapi lebih tepat disebut kyōiku
(pendidikan)
2. Mapel ini
diberikan pula di Kokumingakkō (Sekolah Rakyat) di Indonesia pada masa
pendudukan Jepang.
3. Homemaking pada
masa sebelum PD II diajarkan terpisah, sebagaimana kita ketahui SD, SMP dan SMA
pada masa pendudukan Jepang di Indonesia juga menerapkan sistem pemisahan siswa
dan siswi.
6.
Pembelajaran
Non-Formal di Jepang
Satu ciri khas masyarakat dewasa ini adalah, teknologi
semakin banyak digunakan dalam masyarakat, pekerjaan rutin semakin langka,
sedangkan pekerjaan yang non rutin menuntut kualifikasi tinggi. Pendidikan
formal semakin lama semakin mudah tergapai oleh semua orang, sehingga mobilitas
sosial meningkat. Semakin besar persamaan hak atas kesempatan belajar, yang
tersedia bagi siapa saja yang ingin maju dan semakin banyak perhatian yang
diberikan pemerintah kepada peranan bakat, semakin banyak dan semakin matanglah
bakat yang akan dihasilkan untuk memenuhi tuntutan kerja di sehala lapisan
masyarakat.
Masyarakat modern juga ditandai dengan perubahan dan
mobilitas yang tinggi, dan yang paling menonjol adalah mobilitas kependudukan
sebagai akibat rasionalisasi ekonomi dan teknologi tinggi. Cakrawala pengalaman
individu pun meluas berkat media massa, sehingga ia bersentuhan dan mengenai
bahasa-bahasa internasional yang menyebabkan orang lebih banyak berpergian
dibandingkan dengan orang tua dan nenek moyangnya dulu. Mengingat itu semua,
tidak heran jika masyarakat menjadi sangat kompleks, suatu hal yang disebabkan
oleh adanya aneka nilai dan adanya begitu banyak alternatif pola berfikir dan
bertindak.
Saat ini negara-negara maju sedang menghadapi tantangan
utama, yaitu mendapatkan efek dari globalisasi, dengan bermunculannya
industrialisasi baru dan kompetisi yang tinggi antar negara. Nagara maju
memiliki tren baru dalam hal demografi, dengan pertambahan usia dan peningkatan
kebutuhan terhadap tenaga kerja imigran. Akhirnya pasar tenaga kerja di negara
maju menjadi berubah, yang sebagian besar lagi dipengaruhi oleh pengembangan
dalam bidang teknologi.
Tantangan terakhir memicu kemunculan pengetahuan berbasis
pada ekonomi dan masyarakat, yang membuat pendidikan dan pelatihan lebih
penting dari pada sebelumnya. Di Eropa atau bahkan di negara-negara maju
lainnya kebutuhan tidak hanya untuk memperbaharui keterampilannya, tapi juga
untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Mereka melakukan itu untuk hidup dan
berhasil dalam masyarakat modern mereka, seperti halnya untuk pemenuhan
kebutuhan personalnya.
Perubahan demografi di negara-negara disebabkan karena
terjadi migrasi besar-besaran tenaga kerja dari negara luar, ada tenaga kerja
yang berketerampilan tinggi namun juga banyak yang tidak memiliki keterampilan
dan perlu penanganan. Bahkan ada yang berketerampilan namun namun seringnya
keterampilan tersebut di bawah standar atau tidak dikenali dan tidak dapat
digunakan di pasar kerja.
Selain itu perubahan demografi juga terjadi berkaitan dengan
jumlah penduduk di negara maju, dimana penduduk usi 24-55 tahun jumlahnya
semakin sedikit atau hanya mencapai 15%, sedangkan untuk usia 60-80
perbandingannya adalah dari 10 orang maka satu diantaranya adalah usia 60-80.
Yang lebih buruk lagi adalah dari tiga orang maka satu orang adalah penduduk
berusia 55-64 tahun.
Perubahan budaya memunculkan orang yang lebih tua dan yang
sangat tua, sehingga pendidikan non formal diperlukan untuk menolong mereka
agar dapat aktif lebih lama dalam pekerjaannya, dan memungkinkan mereka untuk
hidup dan aktif dalam kehidupan mereka setelah pensiun.
Keterampilan dasar dan kompetensi kunci saat ini dikenali
sebagai sebuah kebutuhan yang sangat penting di negara maju. Di Jepang sebagai
salah satu negara maju yang ada di Asia, pendidikan non formal dilaksanakan
hampir diseluruh departemen yang ada dalam pemerintahan, mulai dari perkumpulan
pemuda, pusat pelatihan, pusat olah raga, dan sebagainya.
7.
Kegiatan
Home Schooling di Jepang
Setsuko
Miyai, seorang professor ilmu humaniora di universitas Toyo Gakuen menulis
dalam buku yang ia susun pada tahun 2007 lalu yang berjudul “diantara Indivindu
dan Negara”, menuliskan bahwa pendidikan di rumah atau homeschooling diawali
oleh gerakan antibudaya pada akhir 1960an hingga awal ‘70an.
Hingga
pada kahir tahun 70an, seorang pendidik, mengadvokasikan pemisahan pendidikan
dari sekolah-sekolah. Juga mengatakan bahwa orang tua adalah seorang
fasilitator dan bukan seorang pengajar dari proses belajar mandiri seorang
anak.
Miyai
menggaris bawahi alasan-alasan yang berbeda di antara mereka yang memilih
homeschooling, seperti karena adanya suatu penyakit yang diderita sehingga
tidak memungkinkan si anak untuk sekolah, seringnya si anak membolos sekolah,
takut dengan bullying(ditekan) oleh para senior, tidaknya merasa nyaman dengan
pendidikan yang menitikberatkan pada bidang akademik saja, agama, menolak sifat
sistem pendidikan sekolah moderen yang distandardisasi dan berbasis kendali,
tidak percaya pada norma-norma, terutama nilai moral, yang dipaksakan sekolah
umum kepada para siswa, hingga keselamatan fisik.
Namun
pada akhirnya, ras Afrika dan Amerika yang aktif dalam kegiatan homeschooling
ini mulai memperjuangkan hak-hak homeschooling karena prihatin dengan gagalnya
sekolah-sekolah yang ada menangani kesenjangan rasial dalam prestasi akademik
dan kebutuhan melestarikan kebudayaan mereka, homeschooling menjadi sesuatu
yang legal di seluruh Amerika Serikat menjelang tahun 1993, papar Miyai.
“Di
Dunia, pendekatan pada pendidikan rumah bervariasi dari tiap negara, tergantung
pada apakah Negara tersebut memandang sekolah sebagai wajib atau tidak,” kata
Yoshiyuki Nagata, seorang professor di University of Sacred Heart. Ia telah
melakukan banyak riset terhadap berbagai macam pendidikan. Termasuk pendidikan
rumah atau home schooling.
Namun,
dengan peluncuran PISA atau Program Penilaian Pelajar Internasional, banyak
Negara yang merujuk pada sekolah guna meningkatkan literasi di antara warga
negaranya, kata Nagata lagi.
“Selain
dari itu, banyak Negara yang ‘menderita’ dengan adanya ‘kejutan PISA’ itu.
Seluruhnya jadi kalang kabut untuk menutupi atau mengatasi hasil buruk
negaranya” tutur Nagata. “Dalam artian itu, lebih banyak perhatian diberikan
pada pendidikan berbasis sekolah.
Namun
pada saat yang sama, definisi tentang kemampuan akademik juga semakin beragam.
Pendidikan alternatif bisa jadi lebih baik dalam menolong anak-anak memperoleh
keterampilan menyelesaikan masalah, wawasan, dan kebijaksanaan.”
Memang
demikian, seperti yang didemonstrasikan para remaja Inggris yang dididik di
rumah, saat turut serta dalam kompetisi robotik di Tokyo, anak-anak yang
dididik di rumah sering kali merupakan para pelajar yang maju di bidang-bidang
tertentu, karena mereka tidak dipaksa untuk belajar mata pelajaran pokok.
Selain
dari itu, Menurut laporan tahun 2002 oleh Paula Rothermel dari Universitas
Durham, Inggris, yang menilai perkembangan psikososial dan akademik peserta
homeschooling usia 11 dan lebih muda, anak-anak yang dididik di rumah itu
ditemukan lebih matang secara sosial dan berprestasi akademik lebih baik
daripada anak-anak yang dididik di sekolah.
Di
Jepang, di mana kehadiran di sekolah adalah wajib, pendidikan rumah bukan
pilihan yang popular. Bahkan banyak orang tua yang tidak tahu dengan adanya
gagasan mendidik anak di luar sekolah itu ada, kata Kyoko Aizawa, pendiri
Otherwise Japan, sebuah kelompok pendukung pendidikan rumah, dengan memberikan
catatan bahwa banyak anak-anak dan keluarga yang melaksanakan pendidikan rumah
melakukannya dengan rahasia, dan kerap kali menerima diskriminasi dari
masyarakat tempat tinggal mereka.
Tetapi
dengan begitu banyak masalah di sekolah-sekolah Jepang, baik sekolah maupun
orang tua selayaknya berpikir lebih keras tentang cara-cara saling menolong
sehingga semua anak dapat memiliki akses pada pendidikan, kendati di mana pun
tempat mereka belajar atau apakah mereka mengikuti kurikulum pemerintah ataupun
tidak, kata Aizawa. “Pendidikan rumah bukan tentang menghapuskan atau pun
menjelek-jelekkan sekolah, juga bukan mengunci anak- anak di dalam rumah dan
membuat mereka mengerjakan soal-soal dari pendidikan jarak jauh,” kata Aizawa.
“Pendidikan
rumah adalah tentang mengakar pada masyarakat, dan memberikan bantuan bersifat
mendidik kepada anak-anak pada setiap kesempatan sedapat mungkin.”
8.
Sistem
Pendidikan Tinggi di Jepang
1). Universitas (Daigaku), 4
tahun;
Universitas sebagai suatu pusat
pendidikan bertujuan untuk menyelenggarakan pengajaran dan studi untuk
bidang-bidang profesional dan seni serta memberi pengetahuan luas dan
mengembangkan intelektual, moral dan kemampuan berpraktek. Universitas
melaksanakan program empat tahun disebut sebagai program sarjana. Tetapi
kedokteran, kedokteran gigi, kedokteran hewan memprasyaratkan program
pendidikan selama enam tahun.
Sedangkan Program Pascasarjana di
Jepang bertujuan untuk menyelenggarakan pendidikan di tingkat yang lebih tinggi
(advanced) tentang teori dan penerapan dari suatu bidang keahlian, menguasai
secara mendalam bidang keahlian tersebut dan memberikan kontribusi terhadap
pengembangan teknologi, budaya dll.
2). Akademi Teknologi (Tanki-daigaku),
Pendidikan
Akademi Teknologi untuk Bachelor atau setara dengan stata-1 secara imum
ditempuh dalam jangka waktu 5
tahun, dengan jumlah minimal
167 kredit;
3). Sekolah Tinggi Teknik (Koto-senmon-gakko);
Pada
sekolah tinggi Teknik, memiliki waktu studi rata-rata 4-5 tahun. Lama studi ini
sama dengan pada saat menempuh jenjang pendidikan sarjana.
4). Sekolah Kejuruan (Senmon-gakko).
Untuk tahun akademik dimulai pada bulan
April hingga bulan Maret tahun berikutnya. Perkualiahan diberikan dalam dua
semester, semester pertama (Zenki) berlangsung dari bulan Maret sampai dengan
bulan September dan semester kedua (Goki) dimulai dari bulan Oktober dan
berakhir dalam bulan Maret.
9.
Standar
nasional kurikulum Jepang
MEXT,
sebagai sebuah lembaga pemerintahan nasional, yang bertugas membuat standar
nasional kurikulum. Standar nasional kurikulum ini harus diberlakukan untuk
seluruh jenis sekolah, dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas
serta untuk siswa yang mengalami kekurangan pengelihatan, kekurangan
pendengaran dan kekurangan lainnya.
Untuk
spesifiknya, cakupan dan urutan mata pelajaran untuk setiap tingkatan kelas
telah ditetapkan oleh MEXT. Ini merupakan karakteristik kurikulum Jepang yang
berbeda dibandingkan dengan kurikulum Negara Barat. Sebagai contoh, para guru
di Inggris dan di Amerika memiliki banyak otonomi dibandingkan Jepang dalam hal
menentukan kurikulum.
Sebagai
gambaran, jumlah jam pelajaran (dalam satu minggu) untuk setiap tingkatan yang
telah ditetapkan oleh MEXT dapat dilihat pada tabel di bawah ini.
Tabel 3.1 Jumlah jam
pelajaran dalam 1 minggu untuk sekolah dasar
Subject
|
Grade
|
|||||
1
|
2
|
3
|
4
|
5
|
6
|
|
Jepanese
|
8 (272)
|
8 (280)
|
8 (280)
|
8 (280)
|
6 (210)
|
6 (210)
|
Social studies
|
2
(68)
|
2
(70)
|
3
(105)
|
3
(105)
|
3
(105)
|
3
(105)
|
Arithmetic
|
4
(136)
|
5
(175)
|
5
(175)
|
5
(175)
|
5
(175)
|
5
(175)
|
Science
|
2
(68)
|
2
(70)
|
3
(105)
|
3
(105)
|
3
(105)
|
3
(105)
|
Music
|
2
(68)
|
2
(70)
|
2
(70)
|
2
(70)
|
2
(70)
|
2
(70)
|
Art & Handcraft
|
2
(68)
|
2
(70)
|
2
(70)
|
2
(70)
|
2
(70)
|
2
(70)
|
Homemaking
|
-
|
-
|
-
|
-
|
2
(70)
|
2
(70)
|
Physical Education
|
3
(102)
|
3
(105)
|
3
(105)
|
3
(105)
|
3
(105)
|
3
(105)
|
Moral Education
|
1
(34)
|
1
(35)
|
1
(35)
|
1
(35)
|
1
(35)
|
1
(35)
|
Special Activites
|
1
(34)
|
1
(35)
|
1
(35)
|
1
(35)
|
1
(35)
|
1
(35)
|
Total number of
required class periods
|
25
(850)
|
26
(910)
|
28
(980)
|
29
(1015)
|
29
(1015)
|
29
(1015)
|
(Sumber: tripod.com)
Tabel 3.2 Jumlah jam
pelajaran dalam 1 minggu untuk sekolah menengah pertama
Subject
|
First Year (Grade 7)
|
Second Year (Grade 8)
|
Third Year (Grade 9)
|
Japanese language
|
5
|
4
|
4
|
Social studies
|
4
|
4
|
3
|
Mathematics
|
3
|
4
|
4
|
Science
|
3
|
3
|
4
|
Music
|
2
|
2
|
1
|
Fine arts
|
2
|
2
|
1
|
Health and physical education
|
3
|
3
|
3
|
Industrial art or homemaking
|
2
|
2
|
3
|
Moral education
|
1
|
1
|
1
|
Special activities
|
2
|
2
|
2
|
Elective
|
3
|
3
|
3
|
Additional elective hour
|
0
|
0
|
1
|
Total
|
30
|
30
|
30
|
Tabel 3.3 Jumlah jam
pelajaran untuk sekolah menengah atas tahun pertama
First Year
|
|
All Student
|
Weekly hours
|
Japanese I
|
5
|
Japanese II
|
|
Contemporary Society
|
4
|
Mathematics I
|
6
|
Science I
|
4
|
English I
|
6
|
Physiscal education and home economics
|
4
|
Health
|
1
|
Musics or calligraphy
|
2
|
Homeroom
|
1
|
Club activities
|
1
|
Total
|
34
|
(Sumber: tripod.com)
Untuk
tahun kedua, siswa dikelompokkan pada kelas Literature
majors dan science majors dengan
mata pelajaran dan jumlah jam setiap minggunya sebagai berikut.
Tabel 3.4 Jumlah jam
pelajaran untuk sekolah menengah atas tahun kedua
Second
Year
|
|||
Literature
majors
|
Weekly hours
|
Weekly hours
|
Science majors
|
Japanese
II
|
5
|
4
|
Japanese II
|
Classical
|
2
|
3
|
Japanese
History
|
Literature
Japanese history
|
2
|
3
|
Algebra & Geometry
|
Word
history
|
3
|
3
|
basics
mathematics
|
Basic
mathematical
|
3
|
4
|
Basic mathematical
|
Analysis
biologi or chemistery
|
3
|
4
|
Analysis
biologi or chemistery
|
English
|
7
|
5
|
English
|
Physical
education & home economics
|
4
|
4
|
Physical
education & home economics
|
Health
|
1
|
1
|
Health
|
Musics
or calligraphy
|
2
|
1
|
Musics or
calligraphy
|
Homeroom
|
1
|
1
|
Homeroom
|
Club
activites
|
1
|
1
|
Club activites
|
34
|
34
|
(Sumber: tripod.com)
Untuk
tahun ketigaa, siswa juga dikelompokkan pada kelas Literature majors dan science
majors dengan mata pelajaran dan jumlah jam setiap minggunya sebagai
berikut.
Tabel 3.5 Jumlah jam
pelajaran untuk sekolah menengah atas tahun ketiga
Third
Year
|
|||
Literature
majors
|
Weekly
hours
|
Weekly
hours
|
Science
majors
|
Modern
literature
|
4
|
3
|
Modern
literature
|
Classical
literature
|
4
|
2
|
Japanese
History
|
Japanese history
|
3
|
5
|
Integral
and differential
|
Word
history
|
3
|
5
|
Probably
and ststistic
|
Ethics
or Politics
|
3
|
4
|
physics
|
Basics
mathematics
|
2
|
4
|
Chemistery
|
Analysis
biologi or chemistery
|
2
|
6
|
English
|
English
|
8
|
3
|
Physical
education & home economics
|
Physical
education & home economics
|
3
|
1
|
Homeroom
|
Homeroom
|
1
|
1
|
Club
activites
|
Club
activites
|
1
|
||
34
|
34
|
(Sumber: tripod.com)
D. Landasan Kurikuler Pendidikan di Amerika
1. Tujuan Pendidikan Amerika
Di Amerika Serikat karakteristik utama system pendidikan Amerika Serikat adalah
menonjolnya DESENTRALISASI. Pemerintah Pusat sangat memberi otonomi
seluas-luasnya kepada Pemerintah di bawahnya, yaitu Negara Bagian dan
Pemerintah Daerah (Distrik). Meskipun Amerika Serikat tidak mempunyai system
pendidikan yang terpusat atau yang bersifat nasional, akan tetapi bukan berarti
tidak ada rumusan tentang tujuan pendidikan yang berlaku secara nasional.
Tujuan system pendidikan Amerika secara
umum dirumuskan dalam 5 poin sebagai berikut:
a. Untuk mencapai
kesatuan dalam keragaman
b. Untuk
mengembangkan cita-cita dan praktek demokrasi
c. Untuk membantu
pengembangan individu
d. Untuk
memperbaiki kondisi social masyarakat
e. Untuk
mempercepat kemajuan nasional
Di luar 5 tujuan tersebut, Amerika Serikat mengembangkan
visi dan missi
pendidikan
gratis bagi anak usia sekolah untuk masa 12 tahun pendidikan awal dan biaya
pendidikan relative murah untuk tingkat pendidikan tinggi. Sedangkan Indonesia baru menetapkan
system pendidikan gratis untuk 9 tahun jejang sekolah dasar dan sekolah menengah
pertama sedangkan sekolah menegah atas masih perlu mengeluarkan uang untuk
membayar sekolah.
2. Kurikulum Pendidikan Amerika
Pada
awalnya kurikulum didefinisikan dengan sederhana. Di The American Heritage Dictionary (1982) kurikulum didefinisikan
sebagai (1) kumpulan mata pelajaran yang diajarkan disekolah, akademi, dst.(2)
Pelajaran umum dan khusus (kejuruan) yang dipelajari disekolah, akademi.
Roger’s Thesaurus (1963) daftar yang berisi silabus, materi dan pembelajaran
sebagai sinonim dari kurikulum.
Definisi
seperti itu tidak benar benar menjelaskan bagaimana fungsi kurikulum dan apa
yang apa yang memegang peran dalam pembetukan kurikulum dalam pendidikan di
Amerika.
a. Jenis
Jenis Kurikulum
1) Kurikulum formal dan informal
Pada saat belajar disekolah siswa menerima kurikulum formal dan
informal. Kurikulum formal sangat sering dipikirkan dibanding kurikulum
informal. Tetapi kurikulum informal juga penting untuk diketahui. Salah
satu contoh kurikulum formal adalah apa yang kita temukan dalam buku
teks. Sedangkan contoh kurikulum informal adalah apa yang diajarkan pada
siswa tentang sopan santun. Misalnya pada siswa perempuan sering diberitahu
untuk bersikap sebagai ‘lady’, atau pada siswa laki laki diajari untuk jangan
cengeng dan menangis.
2) Kurikulum
tersembunyi (hidden curriculum)
Philip Jackson dalam bukunya Life in Classroom (1968) mengembangkan
konsep kurikulum tersembunyi, yang dia definisikan sebagai kultur dan nilai
yang lebih menonjol yang dianut oleh civitas akademik (siswa dan juga guru)
disuatu sekolah. Mc Laren (1998) menyebutnya sebagai hasil yang ‘tidak
diinginkan’ dari proses persekolahan yang diluar materi pembelajaran. Kurikulum
tersembunyi mencerminkan ideology yang dominan didalam suatu
sekolah. Seorang pakan teori, Elliot Eisner (1985) menjelaskan bahwa
sekolah mengajari lebih dari yang ditawarkan.
3) Kurikulum Nol
Konsepnya sangat berhubungan dengan kurikulum tersembunyi.
Kurikulum nol mengacu pada pelajaran yang diajarkan dengan tanpa sengaja.
Eisner (1985) mengkategorikan kurikulum nol menjadi dua bagian. Yang pertama
proses kognitif dan materi pelajaran yang lebih ditekankan untuk diajarkan,
baik yang ada dalam kurikulum formal maupun yang tidak. Contoh, untuk mengajar
anak anak TK menghafal abjad, apakah cara yang digunakan adalah menyuruh mereka
menghafal didepan kelas atau atau guru mengulang-ulang didepan kelas, dll.
4) Jarak
fisik sebagai kurikulum
Beberapa pendidik berpendapat bahwa apa yang terjadi
disekolah adalah kurikulum (Winch & Gingell, 1999). Jadi desain fisik
sekolah bisa juga disebut sebagai kurikulum. Bukan suatu kebetulan bahwa
sekolah abad 19 didesain seperti candi dan gereja, karena maknanya adalah candi
atau katedral pengetahuan.
b. Kurikulum
Merepresentasikan Nilai Nilai Budaya
Tahun 1860 Herbert Spencer menulis Essay tentang Pengetahuan
apa yang paling bernilai/bermanfaat? Pertanyaan ini berangkai dengan
pengetahuan apa yang kita capai sebagai budaya dan yang mempengaruhi ‘Apa yang
seharusnya diajarkan disekolah?’ Menentukan apa yang diajarkan disekolah
akhirnya adalah proses politis. Budaya yang dianut pada suatu waktu akan
mempengaruhi apa yang diajarkan di sekolah.
1) Buku
Teks
Buku teks yang digunakan pada berbagai
periode sejarah berbeda beda sesuai dengan budaya yang paling berpengaruh pada
saat buku itu diterbitkan.
-
The New England Primer
Dipublikasikan
pertama kali pada akhir abad 17 dengan materi yang banyak didominasi oleh
masalah agama dan kematian
-
The McGuffey Readers
Buku
ini dipublikasikan pada pertengahan abad 19. Isinya lebih menekankan pada
ide kerja keras dan kesuksesan pribadi. Juga menggambarkan dan mendukung
nilai nilai demokratis.
-
The Dick and Jane Readers
Diterbitkan
pada abad 20 mempunyai visi khusus bagaimana menjadi orang Amerika dan
menceritakan tentang keluarga Amerika. Awalnya tidak bercerita tentang
orang kulit hitam, baru kemudian karena terjadi perubahan social dan politik di
Amerika, dikisahkan datang keluarga yang berkulit hitam menjadi tetangga
keluarga itu.
2) Pandangan tentang Kemampuan Berbudaya
Selama 15 hingga 20 tahun terakhir banyak perdebatan tentang
apa yang seharusnya diajarkan disekolah. Debat besar terjadi saat E.D.
Hirsch Jr. mempublikasikan buku berjudul ‘Cultural Literacy’. Dia berargumen
bahwa seharusnya sekolah mengajarkan kurikulum utama yang didasarkan pada
budaya barat. Bahkan dia juga memberikan 5000 hal penting untuk dipahami
orang Amerika. Meski sebagian besar kata katanya masuk akal, tapi pendapatnya
dipengaruhi latar belakang budayanya.
3)
Mitos tentang kurikulum yang bebas
dari nilai nilai (value free curriculum)
Banyak yang percaya bahwa menyusun kurikulum yang benar
benar obyektif dan bebas dari nilai nilai adalah hal yang mungkin untuk
dilakukan. Meskipun setiap kurikulum spesifik secara budaya dan
merepresentasikan ‘bagaimana sudut pandang penyusunnya terhadap dunia’.
Misalnya pada saat membahas sejarah tentu wajar kalau tidak seobyektif matematik.
Karena dalam sejarah harus memilih tema social dan politik sedang matematika
mengajarkan rumus rumus dan perhitungan. Tetapi kalau dipikir ulang,
symbol symbol matematik yang digunakan di Amerika berasal dari Arab
kuno. Orang Mayan dan Romawi memiliki symbol sendiri yang berbeda.
Jadi semua kurikulum pasti membawa nilai nilai orang orang
yang menyusunnya. Jika tidak ada kurikulum yang netral, bisakah kita buat
obyektif? Bisa. Guru didalam kelas yang bertugas untuk itu. Misalnya
meskipun guru adalah orang yang tidak setuju dengan aborsi, tetapi pada saat
diskusi dikelas guru tidak menggunakan pendapat pribadinya.
c. Akar Sejarah Kurikulum Amerika
Kurikulum Amerika selalu dibentuk oleh
politik, kebutuhan pendidikan anak dan nilai nilai yang dianut oleh
masyarakat. Pengaruh ini bukan hanya pada isi buku teks tetapi juga pada
model pengajarannya.
a. Kekuatan
kekuatan filosofis yang mengarahkan kurikulum
Sejumlah kekuatan filosofis yang membentuk
kurikulum di Amerika selama ratusan tahun terakhir. Ada yang bersifat social
dan ada yang psikologis.
-
Kekuatan sosial budaya
Tokohnya
adalah John Dewey dan John Franklin Bobbit. Model pendidikan dan kurikulum
Dewey menekankan pada bagaimana memenuhi kebutuhan dan keinginan siswa.
Sedangkan Bobbit menekankan bagaimana memperlakukan dan membelajarkan
ketrampilan yang diperlukan dalam masyarakat.
Pendapat
kedua tokoh itu sangat mempengaruhi pendidikan di Amerika, tetapi pendapat
Dewey lebih dominan.
-
Kekuatan psikologis
Selain oleh kekuatan sosial dan budaya,
kurikulum di Amerika juga dipengaruhi oleh gerakan gerakan psikoligis. Mungkin
dua hal yang paling penting adalah behaviorisme dan konstruktivisme. Pandangan
behaviorisme diterapkan disekolah dengan memberikan penghargaan, penguatan
negative dan hukuman untuk membentuk tingkah laku dan mendorong motivasi siswa
dikelas. Sedangkan pandangan konstruktivis berpendapat lebih mendorong
siswa untuk aktif mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri.
b. Kurikulum Amerika dalam Pandangan Ahli
Sejarah
Menurut Kliebard, kurikulum di Amerika
dibentuk oleh kekuatan seperti ekonomi, perang dan pertahanan negara
serta hak hak sipil (penduduk). Misalnya pada tahun 1930an, karena hanya
sedikit lowongan kerja untuk orang muda sehinggan lebih banyak siswa yang
memilih sekolah negeri. Akibatnya kurikulum sekolah menengah menjadi kurang
elit dan lebih banyak praktek. Menjelang perang dunia II, orang menjadi lebih
lama disekolah. Wajib belajar diberlakukan hingga umur 16 tahun.
1) Life
Adjusment Education
Sesudah perang dunia II, gerakan nasional
berkembang kearah apa yang disebut Life Adjusment Education. Maksud dari
Life Adjusment Education adalah menyiapkan 60% siswa sekolah menengah untuk
menjadi anggota masyarakat yang berguna, bukan untuk mendapatkan ketrampilan
kejuruan atau menyiapkan diri melanjutkan pendidikan. Kurikulum yang
digunakan ditekankan pada kewarganegaraan, kehidupan keluarga, kebersihan dan kesehatan
dan waktu luang.
Berbagai kritik mengatakan bahwa terjadi
penurunan standar. Perdebatan berakhir ketika sekolah negeri kemudian
ditekankan untuk mengembangkan kemampuan akademik dan ketrampilan hidup
seseorang.
2) The
national defense Education Act
Setelah perang
berakhir, perdebatan tentang kurikulum dipicu saat tanggal 4 oktober 1957 Uni
Soviet meluncurkan Sputnik I. Banyak orang dan pendidik kawatir kalau
negaranya akan kalah dari Uni Soviet dalam teknologi dan sains. Hasilnya, pemerintah
mengeluarkan lebih dari 1 miliar dolar untuk beasiswa, memperbaiki kualitas
sekolah, menyediakan pelatihan pelatihan kejuruan dan membangun kelas kelas
baru.
Tahun 1960an ,
masalah Sputnik digantikan oleh masalah kesetaraan golongan Afrika amerika,
golongan minoritas dan perempuan. Kemudian kurikulum berubah.
Tahun 1970an berkembang consensus bahwa sekolah seharusnya
memegang peran dalam reformasi dan perkembangan masyarakat Amerika. Hasilnya
sekolah kadang lebih menekankan pada kurikulum inovatif dan kadang kembali ke
‘basic’.
3) A Nation at risk
Pada tahun 1983
muncul argument bahwa kualitas sekolah negeri di Amerika yang ’sedang’ (
mediocore) menurunkan kemampuan kompetisi ekonomi Amerika dan menempatkan
negara dalam bahaya.
4) The standard movement and the curriculum
Debat tentang apa
yang seharusnya kurikulum sekolah negeri di Amerika terus berlangsung hingga
sekarang. Dan sekarang sekolah memfokuskan kurikulum untuk perkembangan
ketrampilan yang nyata.
Sebagai penerapan undang undang ‘No Children Left Behind’,
banyak sekolah sekolah di berbagai negara bagian membuat evaluasi dan
ujian. Banyak pendidik berpendapat bahwa tes seperti itu bersifat
‘artifisial’ dan tidak adil untuk golongan moniritas dan anak dengan latar belakang
ekonomi rendah.
d. Peran
Guru dalam Kurikulum
Guru memegang peran yang sangat
penting dalam menyampaikan kurikulum yang digunakan disekolah. Apapun
yang diajarkan, filternya adalah persepsi dan cara mengajar guru, baik
kurikulum formal maupun informal. Guru hanya memiliki sedikit control terhadap
‘hidden curiculum’ yang ada disekolah. Tetapi guru bisa mempengaruhi
kurikulum formal disekolah. Menurut McCutcheon, guru memiliki kekuatan
besar dalam membentuk dan mengontrol penyampaian kurikulum formal.
Federasi guru guru Amerika
menulis tentang sepuluh criteria standar bagi sekolah untuk berhasil, yaitu:
a. Standar harus focus pada kegiatan akademik
b. Standar harus
didasarkan pada inti kedisiplinan
c. Standar harus
cukup spesifik untuk memastikan pengembangan kurikulum inti
d. Standar harus
diatur sesuai waktu yang ada
e. Standar harus
tepat dan berkelas dunia
f. Standar harus
termasuk’standar kinerja’
g. Standar harus
menetapkan berbagai level kinerja bagi siswa untuk bersaing
h. Standar harus
merupkan kombinasi dari pengetahuan dan ketrampilan, tidak menitik beratkan
salah satunya
i. Standar tidak
mendikte bagaimana materi seharusnya diajarkan
j. Standar harus
ditulis dengan jelas agar bisa dipahami semua stakeholder
Menerapkan standar diatas adalah hal yang harus dilakukan
oleh guru. Standar digunakan untuk memastikan siswa belajar.
e. Peran
Buku Teks dalam Kurikulum
Amerika
tidak punya kurikulum nasional maka guru menggunakan kurikulum yang sudah biasa
dipakai dan menjadi tradisi. Misalnya pada anak kelas 1 SD, guru akan
mengajarkan penambahan dan pengurangan sebelum mengajarkan perkalian dan
pembagian. Selanjutnya proses persekolahan menjadi lebih khusus dan ‘bersifat
Amerika’. Buku-buku teks membuat keseragaman dalam kurikulum di Amerika.
Kira kira separuh negara bagian di Amerika adalah negara
yang mengadosi buku teks. Artinya buku yang beredar harus direview dan
disetujui atau diadopsi oleh komite departemen pendidikan. Hal ini
dilakukan untuk menjamin kualitas, menekan harga, dan memastikan isinya sesuai
kurikulum yang ada.
Isi buku teks berpotensi untuk bertentangan dengan nilai
yang dianut oleh masyarakat setempat. Sebagian masyarakat menganggap bahwa
diskusi tentang HIV, AIDS, persoalan seks, aborsi dan penggunaan kondom
sebaiknya dilakukan dipembelajaran kesehatan, sementara sebagian yang lain
tidak setuju. Karena itu guru harus hati hati memilihnya.
Kadang buku teks ditentukan oleh hasil rapat komite
dan guru hanya punya peluang kecil atau bahkan tidak punya peluang
memilih. Jika guru punya kesempatan untuk memilih atau menjadi anggota
komite, ingatlah beberapa pertanyaan dibawah ini:
a Apakah buku yang dipilih cocok dengan
tujuan pembelajaran yang akan diajarkan?
b.
Apakah buku yang dipilih (kita tertarik) memberikan berbagai cara menyampaikan
informasi pada siswa?
c.
Apakah buku teks itu peka terhadap isu
isu ras, gender, agama, dan etnik?
d.
Apakah buku teks tersebut sesuai dengan
tingkat pendidikan siswa yang akan kita ajar?
e. Apakah buku teks tersebut mengurutkan/
mengorganisasikan materi dengan logis?
f.
Apakah buku teks tersebut tidak terlalu
sulit?
g.
Adakah tambahan yang bisa digunakan
bersama buku teks, misalnya dukungan dari multimedia atau petunjuk guru
h.
Apakah materi yang ada pada buku teks
berpotensi menarik bagi siswa?
3. Kegiatan Home Schoolong di Amerika Serikat
Pendidikan
di rumah bukanlah sebuah hal yang baru. Sebelum ada sistem pendidikan modern
(sekolah) sebagaimana yang dikenal pada saat ini, pendidikan dilakukan berbasis
rumah. Sistem magang adalah model pendidikan yang sangat dikenal oleh
masyarakat. Demikian pun belajar otodidak yang sampai sekarang masih
dilakukan.Selain itu, para bangsawan zaman dahulu biasa mengundang guru-guru
privat untuk mengajar anak-anaknya. Itulah jejak homeschooling pada masa dahulu.
Sejak
perkembangan revolusi industri, terjadi proses sistematisasi pendidikan dan
proses belajar. Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan serta usaha untuk
memaksimalkan proses pembelajaran selama berabad-abad menghasilkan sebuah
evolusi sistem pendidikan yang kemudian kita kenal sebagai sekolah. Sekolah
adalah salah satu representasi institusional dari nilai-nilai modern yang
dipegang manusia saat ini. Sebagai institusi modern, sekolah adalah solusi
untuk mengatasi keterbatasan keluarga dalam mendidik anaknya secara sadar dan
terencana.
Sejak
perkembangan revolusi industri, terjadi proses sistematisasi pendidikan dan
proses belajar. Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan serta usaha untuk
memaksimalkan proses pembelajaran selama berabad-abad menghasilkan sebuah
evolusi sistem pendidikan yang kemudian kita kenal sebagai sekolah. Sekolah
adalah salah satu representasi institusional dari nilai-nilai modern yang
dipegang manusia saat ini. Sebagai institusi modern, sekolah adalah solusi
untuk mengatasi keterbatasan keluarga da;am mendidik anaknya secara sadar dan
terencana.
Walaupun
sekolah menjadi institusi pendidikan yang terbukti memberikan manfaat bagi
kemanusiaan, bagaimana proses pencarian pendidikan yang terbaik tak pernah
berhenti. Berbagai filsafat dan pemikiran terus lahir, serta berinteraksi
dengan kondisi sosial yang dialami oleh masyarakat.
Di
Amerika Serikat, gelombang pertama homeschooling terjadi pada era 1960-an. Pada
masa ini, mulai muncul pemikiran bahwa anak-anak belajar lebih baik jika tanpa
instruksi sebagaimana di sekolah (John Holt). Banyak pemikiran yang muncul
mempertanyakan efektivitas sekolah dalam menjalankan fungsi pendidikan. Selain
Holt, inisiator dan pejuang homeschooling pada masa itu adalah Dr. Raymon
Moore, seorang psikolog perkembangan dan peneliti pendidikan. Akhir 1970-an,
Holt menerbitkan surat kabar "Growing Without School" yang menjadi
sistem pendukung homeschooling pada masa itu.
Setelah
itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan
keyakinan (beliefs), pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh
ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah. Keadaan pergaulan sosial di
sekolah yang tidak sehat juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan
homeschooling.
Walaupun
awalnya dipersepsi sebagai kelompok konservatif dan penyendiri (isolationists),
homeschooling terus tumbuh dan membuktikan diri sebagai sistem yang efektif dan
dapat dijalankan. Praktisi homeschooling pun semakin bervariasi; dengan
berbagai alasan memilih homeschooling dan dengan beragam latar belakang sosial:
relijius dan sekuler; kaya, kelas menengah, miskin; kota (urban), pinggiran
(suburban), pedesaan (rural). Keluarga praktisi homeschooling memiliki beragam
profesi; dokter, pegawai pemerintah, pegawai swasta, pemilik bisnis, bahkan
guru di sekolah umum.
4. Sistem Pendidikan Tinggi di Amerika
Secara
umum, kuliah di Amerika Serikat dibagi menjadi dua jenis yakni kuliah dengan
‘model kuliah’, di mana profesor mengajarkan kuliah sepanjang waktu. Kedua,
‘model seminar’ di mana sebagian besar kelas dikhususkan untuk berdiskusi.
Partisipasi mahasiswa di kelas akan menyumbangkan persentase untuk nilai akhir.
Ini berlaku untuk semua kelas, termasuk model kuliah dan seminar.
Dan
secara khusus, akan ada tugas sepanjang semester yang harus kamu jalani. Tugas
menyumbangkan poin cukup besar untuk nilai akhirmu. Di Amerika, nilai ujian
akhir semester memang tidak memiliki porsi besar. Lantas, apa saja hal yang
menonjol jika menjalani kuliah di Amerika Serikat?
Beberapa
mata kuliah mewajibkan kamu mengerjakan tugas berupa tulisan ilmiah setiap
minggu sementara yang lainnya berupa tugas kelompok. Selain itu, ada juga
presentasi di kelas atau penelitian yang dilakukan sendiri untuk membuktikan
hipotesa yang kamu ketahui. Tugas-tugas yang kamu kerjakan merupakan salah satu
komponen yang masuk dalam nilai akhir.
Banyak
profesor di Amerika memperhatikan interaksi kamu di kelas. Interaksi yang
dinilai adalah seberapa banyak kamu menyampaikan pendapat dan berkontribusi
saat diskusi di kelas. Bahkan beberapa program pascasarjana memasukkan
partisipasi di kelas dalam penilaian akhir sebesar 25 persen. Karena itu, kamu
harus aktif dan berpartisipasi saat diskusi kelas, dari awal hingga berakhirnya
diskusi.
Salah
satu alasan diskusi kelas menjadi poin penting dalam penilaian adalah karena
diskusi menunjukkan pemahaman kamu mengenai materi kuliah. Bagi para dosen di
Amerika, memahami materi akan diganjar nilai lebih tinggi ketimbang kemampuan
untuk menghafal materi.
Salah
satu mahasiswa internasional, Nick mengaku bahwa diskusi di kelas seperti
sastra. Meski kelas berakhir, tidak ada pertanyaan yang terjawab. Pada
akhirnya, tidak peduli apakah kita harus mendapat kesimpulan. Kelebihannya
terletak pada proses berpikir kritis tiap mahasiswa untuk menguji banyak
pendapat yang berbeda.
Pendidikan
tinggi Amerika cenderung menekankan eksplorasi intelektual. Banyak perguruan
tinggi yang memungkinkan kamu untuk mengambil mata kuliah di luar spesialisasi.
Secara khusus, mahasiswa didorong untuk mengambil mata kuliah yang tidak ada
hubungannya dengan jurusan mereka.
Di
Amerika, menjiplak merupakan masalah besar. Banyak dosen dan profesor di
Amerika yang sangat memperhatikan keaslian dari tugas yang kamu kerjakan.
Menyalin dari sumber lain, bahkan dengan niat baik, dapat membuat kamu dihukum
atau dikeluarkan dari sekolah. Bahkan, dalam sebuah kasus yang aneh, menyalin
dari tugas yang pernah kamu kerjakan, dapat menjadi alasan untuk menghukum
kamu. Jadi, jujurlah dengan tugasmu.
DAFTAR
RUJUKAN
Artikelsiana. 2015 Pengertian Kurikulum, Fungsi, dan Komponen. (Online), http://www.artikelsiana.com/2015/02/pengertian-kurikulum-fungsi-komponen.html Diakses 20 September 2015
Departemen Pendidikan
Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2007. Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum
Kesetaraan Pendidikan Dasar. Jakarta: Diknas.
http://administrasi-guru-sd.blogspot.co.id/2013/03/struktur-kurikulum-sdmi-tahun-2013.html.
diakses tanggal 17 September 2015.
http://goenawanmohamad.com/2013/06/03/tentang-kurikulum-2013. Diakses tanggal 17 September 2015
Hurlock,
Elizabeth. 1980. Developmental Psychology
diterjemahkan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga
Kurniasih
dan Syaripudin, Tatang. 2007. Landasan
Filosofis Pendidikan dan landasan Pendidikan. Bandung: Sub Koordinator MKDP
Landasan Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
Mudyahardo,
Redja. 2001. Landasan-Landasan Filosofis
Pendidikan. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan UPI
Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2009 mengenai kejar paket
Petunjuk Teknis Bantuan
Langsung Kejar Paket A, 2009.
Riyana.Cepi.
2008. Studi Perbandingan Kurikulum China,
Jepang, Indonesia. (Tidak
diterbitkan)
Saeful, Ari. 2014. Komponen Kurikulum Menurut Para Ahli. (Online), http://www.kurikulum.info/2014/12/komponen-kurikulum-menurut-para-ahli.html
diakses 20 September 2015
Santrock,
John W. 2002. Life Span Development
diterjemahkan oleh Damanik, Juda. Jakarta: Erlangga
Setiawan, Putra. 2015. Definisi Kurikulum. (Online), http://www.gurupendidikan.com/20-pengertian-kurikulum-menurut-para-pakar/
Diakses 14 September 2015.
Sukmadinata,
Nana Syaodih. 1997. Pengembangan
Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sumardiono. 2007a. Apa itu Homeschooling. (Online), (www.sumardiono.com).
Diakses tanggal 17 September 2015
Suyitno,
Y. 2007. Landasan Psikologis Pendidikan
dalam Landasan Pendidikan. Bandung: Sub Koordinator MKDP Landasan
Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
Tilaar, H.A.R. 2002. Membentuk
Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tirtarahardja,
Umar dan Sula, La. 2000. Pengantar
Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Tim pengembang
MKDP kurikulum dan pembelajaran, (2011/03)
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
Jakarta: Sinar Grafika
UU No.20 Tahun 2003
Tentang SIKDIKNAS.
Daulay, Putra, Haidar.
2004. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia,
Jakarta: Pranada Media.
Winarno Hami Seno.
1990. Petunjuk Pelaksanaan Proses Belajar Mengajar. ,Jakarta: Depdikbud
RI.
Woolfolk,
Anita E. 1995. Educational Psychology.
Boston: Allyn and Bacon.
Yusuf,
Syamsu. 2005. Psikologi Perkembangan Anak
dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.
www.pangisyarwi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=147:comperative-sistem-pendidikan-jepang-dengan-indonesia-tulisan-bagian-kedua&catid=2&Itemid=109
www.tripod.com
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Tidak ada komentar :
Posting Komentar