LANDASAN KURIKULER PENDIDIKAN

Tidak ada komentar
LANDASAN KURIKULER PENDIDIKAN
Makalah untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
Landasan Pendidikan dan Pembelajaran







UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS PASCASARJANA
PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA
SEPTEMBER 2015










A.    Kurikulum
1.       Pengertian Kurikulum
Kurikulum terebut berasal dari bahasa inggris yakni “Curriculum” yang mempunyai arti “rencana pelajaran“, Curriculum tersebut berasal dari bahasa latin yaitu “Currere” yang mempunyai banyak arti ialah seperti maju dengan cepat , berlari cepat,  menjalani dan juga berusaha.
·         Menurut Daniel Tanner dan juga Laurel Tanner
pengertian kurikulum ialah pengalaman pembelajaran yang terarah dan juga terencana dengan secara terstuktur dan juga tersusun dengan melalui proses rekontruksi pengetahuan serta  pengalaman secara sistematis yang berada dibawah suatu pengawasan lembaga pendidikan sehingga pelajar tersebut mempunyai motivasi dan juga minat belajar.
·         Menurut Inlow (1966)
Pengertian kurikulum ialah usaha menyeluruh yang dirancang secara khusus oleh sekolah didalam membimbing murid untuk dapat memperoleh hasil dari pelajaran yang telah ditentukan tersebut.
·         Menurut Hilda Taba (1962)
Pengertian kurikulum dituangkan kedalam bukunya yang berjudul “Curriculum Development Theory and Pratice” ialah sebagai “a plan of learning” yang mempunyai bahwa kurikulum ialah  sesuatu yang direncanakan untuk dapat dipelajari oleh siswa yang didalamnya memuat rencana untuk para peserta didik(murid). .
·         Menurut Kerr, J. F (1968)
Pengertian kurikulum ialah sebuah pembelajaran yang dirancang dan juga dilaksanakan dengan individu serta juga berkelompok baik itu di luar ataupun di dalam sekolah.
·         Menurut George A. Beaucham (1976)
Pengertian kurikulum ialah suatu dokumen tertulis yang didalamnya terkandung isi mata pelajaran yang akan diajar kepada peserta didik(murid) dengan melalui berbagai mata pelajaran, pilihan disiplin ilmu, rumusan masalah yang dalam kehidupan sehari-hari
·         Menurut Neagley dan Evans (1967)
Pengertian kurikulum ialah semua pengalaman yang telah dibangung atau dirancang oleh pihak sekolah untuk dapat menolong para siswa didalam mencapai hasil belajar kepada kemampuan siswa yang paling baik
·         Menurut UU. No. 20 Tahun 2003
Pengertian kurikulum ialah suatu perangkat rencana dan juga pengaturan tentang tujuan, isi, dan juga bahan pengajaran dan cara yang digunakan ialah sebagai suatu pedoman didalam suatu penyelenggaraan kegiatan dalam pembelajaran untuk dapat mencapai suatu tujuan pendidikan nasional.
·         Menurut Good V. Carter (1973)
Pengertian kurikulum ialah kelompok pengajaran yang sistematik atau juga urutan subjek yang dipersyaratkan untuk dapat lulus atau juga sertifikasi dalam pelajaran mayor
·         Menurut Grayson (1978)
Pengertian kurikulum ialah suatu perencanaan untuk mendapatkan suatu pengeluaran (out-comes) yang diharapkan dari suatu pembelajaran
·         Menurut Murray Print
Pengertian kurikulum ialah sebuah ruang pembelajaran yang sudah terencana diberikan secara langsung kepada siswa oleh sebuah lembaga pendidikan dan juga pengalaman yang dapat dinikmati oleh semua siswa pada saat kurikulum tersebut diterapkan.
·         Menurut Crow and Crow
Pengertian kurikulum ialah rancangan pengajaran atau juga sejumlah mata pelajaran yang disusun secara sistematis untuk dapat menyelesaikan suatu program untuk dapat memperoleh ijazah.
2.      Tujuan dan Fungsi Kurikulum
Kurikulum sebagai alat dalam pendidikan memiliki berbagai macam fungsi dalam pendidikan yang sangat berperan dalam kegunannya. Fungsi Kurikulum adalah sebagai berikut...

  • Fungsi Penyesuaian (the adjustive or adaptive function) : Kurikulum berfungsi sebagai penyesuain adalah kemampuan untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi dilingkungannya karna lingkungan bersifat dinamis artinya dapat berubah-ubah. 
  • Fungsi Integrasi (the integrating function) : Kurikulum berfungsi sebagai penyesuain mengandung makna bahwa kurikulum merupakan alat pendidikan yang mampu menghasilkan pribadi-pribadi yang utut yang dapat dibutuhkan dan berintegrasi di masyarakat. 
  • Fungsi Diferensiasi (the diferentiating function) : Kurikulum berfungsi sebagai diferensiansi adalah sebagai alat yang memberikan pelayanan dari berbagai perbedaan disetiap siswa yang harus dihargai dan dilayani. 
  • Fungsi Persiapan (the propaeduetic function) : Kurikulum berfungsi sebagai persiapan yang mengandung makna bahwa kurikulum sebagai alat pendidikan mampu mempersiapkan siswa kejenjang selanjutnya dan juga dapat mempersiapkan diri dapat hidup dalam masyarakat, jika tidak melanjukan pendidikan.
  • Fungsi Pemilihan (the selective function) : Kurikulum berfungsi sebagai pemilihan adalah memberikan kesempatan bagi siswa untuk menentukan pilihan program belajar yang sesuai dengan minat dan bakatnya. 
  • Fungsi Diagnostik (the diagnostic function) : Kurikulum sebagai diagnostik mengandung makna bahwa kurikulum adalah alat pendidikan yang mampu mengarahkan dan memahami potensi siswa serta kelemahan dalam dirinya. Jika telah memahami potensi dan mengetahui kelemahannya, maka diharapkan siswa dapat mengembangkan potensi dan memperbaiki kelemahannya. 
3.      Peranan Kurikulum
Kurikulum dalam pendidikan formal di sekolah atau madrasah memiliki peranan yang sangat strategis dan menentukan pencapaian tujuan pendiidikan. Terdapat tiga peranan yang dinilai sangat penting yaitu:
a.       Peranan Konservatif
Salah satu tugas dan tanggung jawab sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan adalah mewariskan nilai-nilai dan budaya masyarakat kepada generasi muda yakni siswa. Siswa perlu memahami dan menyadari norma-norma dan pandangan hidup masyarakatnya, sehingga ketika mereka kembali ke masyarakat mereka dapat menjunjung tinggi dan berperilaku sesuai dengan norma-norma tersebut. Peran konservatif kurikulum adalah melestarikan berbagai nilai budaya sebagai warisan masa lalu. Dikaitkan dengan era globalisasi sebagai akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang memungkinkan mudahnya pengaruh budaya asing menggerogoti budaya lokal, maka peran konservatif dalam kurikulum memiliki arti yang sangat penting. Melalui peran konservatifnya, kurikulum berperan dalam menangkal berbagai pengaruh yang dapat merusak nilai-nilai luhur masyarakat, sehingga keajegan dan identitas masyarakat akan tetap terpelihara dengan baik. Peranan ini menekankan bahwa kurikulum dapat dijadikan sebagai sarana untuk mentransmisikan nilai-nilai warisan budaya yang dianggap masih relevan dengan masa kini kepada generasi muda, dalam hal ini para siswa.
b.      Peranan Kreatif
Apakah tugas dan tangung jawab sekolah hanya sebatas pada mewariskan nilai-nilai lama? Ternyata juga tidak. Sekolah memiliki tanggung jawab dalam mengembangkan hal-hal baru sesuai dengan tuntunan zaman. Sebab, pada kenyataannya masyarakat tidak bersifat statis, akan tetapi dinamis yang selalu mengalami perubahan. Dalam rangka inilah kurikulum memiliki peran kreatif. Kurikulum harus mampu menjawab setiap tantangan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat yang cepat berubah. Dalam peran kreatifnya, kurikulum harus mengandung hal-hal baru sehingga dapat membantu siswa untuk dapat mengembangkan setiap potensi yang dimilikinya agar dapat berperan aktif dalam kehidupan sosial masyarakat yang senan tiasa bergerak maju secara dinamis. Mengapa kurikulum harus berperan kreatif? Sebab, manakala kurikulum tidak mengandung unsur-unsur baru maka pendidikan selamanya akan tertinggal, yang berarti apa yang diberikan di sekolah pada akhirnya akan kurang bermakna, karena tidak relevan lagi dengan kebutuhan dan tuntutan sosial masyarakat.
Dalam proses pengembangan kurikulum ketiga peran di atas harus berjalan secara seimbang. Kurikulum yang terlalu menonjolkan peran konservatifnya cenderung akan membuat pendidikan ketinggalan oleh kemajuan zaman; sebaliknya kurikulum yang terlalu menonjolkan peran kreatifnya dapat membuat hilangnya nilai-nila budaya masyarakat.
Sesuai dengan peran yang harus ”dimainkan” kurikulum sebagai alat dan pedoman pendidikan, maka isi kurikulum harus sejalan dengan tujuan pendidikan itu sendiri. Mengapa demikian? Sebab, tujuan yang harus dicapai oleh pendidikan pada dasarnya mengkristal dalam pelaksanaan perannya itu sendiri. Dilihat dari cakupan dan tujuannya menurut McNeil (1990) isi kurikulum memiliki empat fungsi, yaitu 1) fungsi pendidikan umum (Common and General Education). 2) Suplementasi (Supplementation), 3) Eksplorasi (Esploration) dan 4). Keahlian (Specialization). Peranan kreatif menekankan bahwa kurikulum harus mampu mengembangkan sesuatu yang baru sesuai dengan perkembangan yang terjadi dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat pada masa sekarang dan masa mendatang.
c.       Peranan Kritis dan Evaluatif
Apakah setiap nilai dan budaya lama harus diwariskan kepada setiap anak didik? Apakah setiap nilai dan budaya baru sesuai dengan perkembangan zaman juga harus dimiliki oleh setiap anak didik ? Tentu tidak. Tidak setiap nilai dan budaya lama harus tetap dipertahankan, sebab kadang-kadang nilai dan budaya lama itu sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan masyarakat; demikian juga ada kalanya nilai dan budaya baru itu juga tidak sesuai dengan nilai-nilai lama yang masih relevan dengan keadaan dan tuntutan zaman. Dengan demikian kurikulum berperan untuk menyeleksi nilai dan budaya mana yang perlu dipertahankan, dan nilai atau buadaya baru yang mana yang harus dimiliki anak didik. Dalam rangka inilah peran kritis dan evaluatif kurikulum diperlukan. Kurikukum harus berperan dalam menyeleksi dan mengevaluasi segala sesuatu yang dianggap bermanfaat untuk kehidupan anak didik. Peranan ini dilatarbelakangi oleh adanya kenyataan bahwa nilai-nilai dan budaya yang hidup dalam masyarakat senantiasa mengalami perubahan, sehingga pewarisan nilai-nilai dan budaya masa lalu kepada siswa perlu disesuaikan dengan kondisi yang terjadi pada masa sekarang.

4.      Komponen Kurikulum
Para ahli berbeda pendapat dalam menetapkan komponen-komponen kurikulum. Ada yang mengemukakan 5 komponen kurikulum dan ada yang mengemukakan hanya 4 komponen kurikulum. Untuk mengetahui pendapat para ahli mengenai komponen kurikulum berikut Subandiyah (1993: 4-6) mengemukakan ada 5 komponen kurikulum, yaitu:
·         komponen tujuan
·         komponen isi/materi
·         komponen media (sarana dan prasarana)
·         komponen strategi
·         komponen proses belajar mengajar.
Sementara Soemanto (1982) mengemukakan ada 4 komponen kurikulum, yaitu:
·         Objective (tujuan)
·         Knowledges (isi atau materi)
·         School learning experiences (interaksi belajar mengajar di sekolah)
·         Evaluation (penilaian).
Pendapat tersebut diikuti oleh Nasution (1988), Fuaduddin dan Karya (1992), serta Nana Sudjana (1991: 21). Walaupun istilah komponen yang dikemukakan berbeda, namun pada intinya sama yakni:
·         Tujuan
·         Isi dan struktur kurikulum
·         Strategi pelaksanaan PBM (Proses Belajar Mengajar)
·         Evaluasi.
5.      Kedudukan Kurikulum dalam Pendidikan
Dalam lingkungan masyarakatpun terjadi berbagai bentuk interaksi pendidikan, dari yang sangat formal yang mirip dengan pendidikan di sekolah dalam bentuk kursus-kursus, sampai dengan yang kurang formal seperti ceramah, serasehan, dan pergaulan kerja. Gurunya juga bervariasi dari yang memiliki latar belakang pendidikan khusus sebagaipendidik karena pengalaman. Kurikulum juga bervariasi, dari yang memiliki kurikulum formal dan tertulis sampai dengan rencana pelajaran yang hanya ada pada pikiran penceramah atau moderator atau gagasan keteladanan yang ada pada pemimpin.
Dari hal-hal yang diuraikan itu, dapat ditarik beberapa kesimpulan berkenaan dengan pendidikan formal. Pertama, pendidikan formal memiliki rancangan pendidikan atau kurikulum tertulis yang tersusun secara sistematis, jelas, dan rinci. Kedua, dilaksanakan secara formal, terencana, ada yang mengawasi dan menilai. Ketiga, diberikan oleh pendidik atau guru yang memiliki ilmu dan keterampilan khusus dalam bidang pendidikan. Keempat, interaksi pendidikan berlangsung dalam lingkungan tertentu, dengan fasilitas dan alat serta aturan-aturan permainan tertentu pula.
Bahwa adanya rancangan atau kurikulum formal dan tertulis merupakan ciri utama pendidikan di sekolah. Dengan kata lain, kurikulum merupakan syarat mutlak bagi pendidikan di sekolah. Kalau kurikulum merupakan syarat mutlak, hal itu berarti bahwa kurikulum merupakan bagian yang tak terpisahkan dari pendidikan atau pengajaran. Dapat kita bayangkan, bagaimana bentuk pelaksanaan suatu pendidikan atau pengajaran di sekolah yang tidak memiliki kurikulum.
Setiap praktik pendidikan diarahkan pada pencapaian tujuan-tujuan tertentu, apakah berkenaan dengan penguasaan pengetahuan, pengembangan pribadi, kemampuan sosial, ataupun kemampuan bekerja.Untuk menyampaikan bahan pelajaran, ataupun mengembangkan kemampuan-kemampuan tersebut diperlukan metode penyampaian serta alat-alat bantu tertentu. Untuk menilai hasil dan proses pendidikan, juga diperlukan cara-cara dan alat-alat penilaian tertentu pula. Keempat hal tersebut, yaitu tujuan, bahan ajar, metode-alat, dan penilaian merupakan komponen-komponen utama kurikulum.
Dengan berpedoman pada kurikulum, interaksi pendidikan antara guru dan siswa berlangsung. Interaksi ini tidak berlangsung dalam ruangan hampa, tetapi selalu terjadi dalam lingkungan tertentu, yang mencakup antara lain lingkungan fisik, alam, sosial budaya, ekonomi, politik dan religi.
Kurikulum mempunyai kedudukan sentral dalam seluruh proses pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentukaktivitas pendidikan. Kurikulum juga merupakan suatu rencana pendidikan memberikan pedoman dan pegangan tentang jenis, lingkup, dan urutan isi, serta proses pendidikan. Disamping kedua fungsi itu, kurikulum juga merupakan suatu bidang studi, yang ditekuni oleh para ahli atau spesialis kurikulum, yang menjadi sumber konsep-konsep atau memberikan landasan-landasan teoritis bagi pengembangan kurikulum berbagai institusi pendidikan.

B.     Landasan Kurikuler Pendidikan di Indonesia
1. Kurikulum di Indonesia
Menurut UU. No. 20 Tahun 2003, definisi kurikulum yaitu seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pengajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Sejarah perkembangan kurikulum di Indonesia dimulai setelah Indonesia merdeka, yaitu pada tahun 1947.Kurikulum pendidikan di Indonesia sering berubah setiap ada pergantian menteri pendidikan, sehingga mutu pendidikan Indonesia hingga kini belum memenuhi standar mutu yang baik.Perubahan kurikulum juga merupakan konsekuensi logis dari terjadinya perubahan sistem politik, ekonomi, sosial budaya, dan iptek.Kurikulum merupakan seperangkat rencana pendidikan yang perlu dikembangkan secara dinamis sesuai dengan tuntutan dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.
Dalam perjalanan sejarahnya, kurikulum pendidikan nasional di Indonesia telah mengalami perubahan, yaitu pada tahun 1947, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, 2004, 2006 dan 2013. Pada tahun 1947 kurikulum di Indonesia dinamakan Rencana Pelajaran 1947 kemudian Rencana Pelajaran Terurai 1952. Pada masa orde baru, kurikulum bergantu nama menjadi Kurikulum 1968, pada tahun 1975 dinamakan Kurikulum 1975, lalu berganti menjadi Kurikulum 1984 yang berlanjut menjadi Kurikulum 1994 dan Suplemen Kurikulum 1999. Pada masa reformasi, kurikulum berganti nama lagi menjadi Kurikulum 2004 (KBK) yang berganti 2 tahun kemudian menjadi Kurikulum 2006 (KTSP), serta yang terbaru dalam dunia pendidikan Indonesia yaitu Kurikulum 2013. Perubahan kurikulum yang ada di Indonesia dari tahun ke tahun hanya mengubah nama semata, tanpa mengubah konsep kurikulum, sehingga dampak perubahan kurikulum belum terlalu nampak.

2. Landasan Pengembangan Kurikulum di Indonesia
Kurikulum sebagai rancangan pendidikan mempunyai kedudukan yang sangat strategis dalam seluruh aspek kegiatan pendidikan.Mengingat pentingnya kurikulum di dalam pendidikan dan dalam perkembangannya, maka dalam penyusunan kurikulum harus mengacu pada landasan yang kokoh dan kuat.Landasan kurikulum tidak hanya diperlukan bagi penyusun kurikulum namun juga harus dipahami dan dijadikan dasar pertimbangan oleh pelaksana kurikulum yaitu guru dan pengawas pendidikan serta pihak-pihak lain yang terkait dengan pengelolaan pendidikan. Dengan posisinya yang penting tersebut, maka penyusunan dan pengembangan kurikulum tidak bisa dilakukan secara sembarangan, akan tetapi harus didasarkan pada berbagai pertimbangan atau landasan agar dapat dijadikan dasar pijakan dalam menyelenggarakan proses pendidikan, sehingga dapat memfasilitasi tercapainya tujuan pendidikan dan pembelajaran secara lebih efisien dan efektif. Dalam mengembangkan kurikulum pendidikan di Indonesia mengacu pada landasan filosofis, psikologis, sosial budaya dan ilmiah dan teknologi.
Kurikulum pada hakikatnya adalah alat untuk mencapai tujuan pendidikan.Tujuan Pendidikan Nasional Indonesia bersumber pada pandangan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yaitu Pancasila. Nilai-nilai filsafat Pancasila yang dianut bangsa Indonesia dicerminkan dalam rumusan tujuan pendidikan nasional seperti tertuang dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yaitu: Pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945. Karena tujuan pendidikan sangat dipengaruhi oleh filsafat atau pandangan hidup suatu bangsa, maka kurikulum yang dikembangkan juga harus mencerminkan falsafah atau pandangan hidup yang dianut oleh bangsa tersebut.Setelah Negara Indonesia merdeka, secara bulat dan utuh menggunakan Pancasila sebagai dasar dan falsafah hidup dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka kurikulum pendidikan pun disesuaikan dengan nilai-nilai Pancasila itu sendiri.Perumusan tujuan pendidikan, penyusunan program pendidikan, pemilihan dan penggunaan pendekatan atau strategi pendidikan, peranan yang harus dilakukan pendidik/peserta didik senantiasa harus sesuai dengan falsafah hidup bangsa Indonesia, yaitu Pancasila.
Pendidikan senantiasa berkaitan dengan perilaku peserta didik.Melalui pendidikan diharapkan adanya perubahan perilaku peserta didik menuju kedewasaan, baik segi fisik, mental, emosional, moral, intelektual maupun sosial. Kurikulum sebagai alat untuk mencapai tujuan/program pendidikan, sudah pasti berhubungan dengan proses perubahan perilaku peserta didik. Pengembangan kurikulum harus dilandasi oleh asumsi-asumsi yang berasal dari psikologi yang meliputi kajian tentang apa dan bagaimana perkembangan peserta didik, serta bagaimana peserta didik belajar. Atas dasar itu terdapat dua cabang psikologi yang sangat penting diperhatikan dalam pengembangan kurikulum, yaitu psikologi perkembangan dan psikologi belajar.
Menurut Ross Vasta, dkk (1992) psikologi perkembangan dapat diartikan sebagai “Cabang psikologi yang mempelajari perubahan tingkah laku dan kemampuan sepanjang proses perkembangan individu dari mulai masa konsepsi sampai mati". Pemahaman tentang peserta didik sangat penting dalam pengembangan kurikulum. Melalui kajian tentang perkembangan peserta didik, diharapkan upaya pendidikan yang dilakukan sesuai dengan karakteristik peserta didik, baik penyesuaian dari segi kemampuan yang harus dicapai, materi atau bahan yang harus disampaikan, proses penyampaian atau pembelajarannya, dan penyesuaian dari segi evaluasi pembelajaran.
Psikologi belajar merupakan suatu studi tentang bagaimana individu belajar.Pembahasan tentang psikologi belajar erat kaitannya dengan teori belajar. Pemahaman yang luas dan komprehensif tentang berbagai teori belajar akan memberikan kontribusi yang sangat berharga bagi para pengembang kurikulum baik di tingkat makro maupun tingkat mikro untuk merumuskan model kurikulum yang diharapkan.Sebagai contoh yaitu teori psikologi kognitif dari Piaget.Piaget membagi tahapan perkembangan kognitif menjadi 4 tahap, yaitu tahap sensorimotor, pra operasional, operasi kongkrit dan operasi formal.Berdasarkan tahapan perkembangan kognitif yang dikemukakan Piaget kita dapat menyimpulkan bahwa cara berpikir anak prasekolah berbeda dengan anak usia SD, demikian pula cara berpikir anak SD berbeda dengan cara berpikir anak SMP, SMA. Karena itu teori perkembangan kognitif Piaget mengimplikasikan bahwa pengembangan kurikulum harus memperhatikan tahap perkembangan kognisi anak.Ini berarti penyusun kurikulum dan pelaksana kurikulum mempunyai peranan penting untuk menyesuaikan keluasan dan kedalaman program belajar, menggunakan strategi pembelajaran, memilih media dan sumber belajar dengan tingkat perkembangan kognisi anak.
Mengapa pengembangan kurikulum harus mengacu pada landasan sosiologis?Anak-anak berasal dari masyarakat, mendapatkan pendidikan baik informal, formal, maupun non formal dalam lingkungan masyarakat dan diarahkan agar mampu terjun dalam kehidupan bermasyarakat.Karena itu kehidupan masyarakat dan budaya dengan segala karakteristiknya harus menjadi landasan dan titik tolak dalam pengembangan kurikulum.
Selain karakteristik masyarakat, kebudayaan dan lingkungan sosial juga mempengaruhi pengembangan kurikulum.Indonesia jika dilihat dari karakteristik sosial budaya, memiliki ciri khas mengenai adat istiadat, tata karma pergaulan, kesenian, bahasa lisan maupun tulian, kerajinan dan nilai kehidupannya masing-masing.Keanekaragaman tersebut bukan hanya dalam kebudayaannya tetapi juga kondisi alam dan lingkungan sosial.Oleh karena itu pengembangan kurikulum di sekolah harus mengakomodasi unsur-unsur lingkungan yang menjadi dasar dalam menetapkan materi kurikulum muatan lokal.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara langsung berimplikasi terhadap pengembangan kurikulum yang di dalamnya mencakup pengembangan isi/materi pendidikan, penggunaan strategi dan media pembelajaran, serta penggunaan sistem evaluasi.Secara tidak langsung menuntut dunia pendidikan untuk dapat membekali peserta didik agar memiliki kemampuan memecahkan masalah yang dihadapi sebagai pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.Selain itu perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi juga dimanfaatkan untuk memecahkan masalah pendidikan.

3. Kegiatan Kurikuler di Indonesia
Kurikuler adalah rencana atau sebuah acuan yang mendasar dalam proses pembelajaran yang sangat berguna tentunya bagi guru dan peserta didik guna mencapai tujuan pembelajaran yang diharapkan. Dengan kurikuler kita dapat melakukan kegiatan yang tentunya bermanfaat untuk menunjang kegiatan pembelajaran di sekolah.Dengan demikian, kurikuler juga dapat diartikan sebagai sebuah kegiatan yang dilakukan untuk menunjang pembelajaran agar dapat tercapai tujuan kurikulum.
Kegiatan belajar mengajar di dalam lembaga pendidikan formal didasarkan kepada kegiatan kurikuler yang terdiri dari berbagai kegiatan, yaitu :
a. Kegiatan Intrakurikuler (Intra Curricular Activities)
b. Kegiatan Kokurikuler (Co Curricular activities)
c. Kegiatan Ekstrakurikuler (Extra Curricular Activities)
Sebelum membahas mengenai masing-masing kegiatan kurikuler, berikut ini merupakan struktur kurikulum yang berlaku dalam dunia pendidikan Indonesia yang mengacu pada kurikulum terbaru, yaitu Kurikulum 2013.
1) Struktur Kurikulum SD/MI


MATA PELAJARAN
ALOKASI WAKTU BELAJAR
PER MINGGU
I
II
III
IV
V
VI
Kelompok A






1.
Pendidikan Agama dan Budi Pekerti
4
4
4
4
4
4
2.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan
5
6
6
4
4
4
3.
Bahasa Indonesia
8
8
10
7
7
7
4.
Matematika
5
6
6
6
6
6
5.
 Ilmu Pengetahuan Alam
-
-
-
3
3
3
6.
 Ilmu Pengetahuan Sosial
-
-
-
3
3
3
Kelompok B






1.
Seni Budaya dan Prakarya
(termasuk muatan lokal)*
4
4
4
6
6
6
2.
Pendidikan Jasmani, Olah Raga dan Kesehatan
(termasuk muatan lokal)
4
4
4
3
3
3
Jumlah Alokasi Waktu Per Minggu
30
32
34
36
36
36

= Pembelajaran Tematik Integratif
                                                                                                                                   
Keterangan:
*Muatan lokal dapat memuat Bahasa Daerah

Kegiatan Ekstra Kurikuler SD/MI antara lain:
-          Pramuka (Wajib)
-          UKS
-          PMR

2) Struktur Kurikulum Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah
Beban belajar di SMP/MTs untuk kelas VII, VIII, dan IX masing-masing 38 jam per minggu. Jam belajar SMP/MTs adalah 40 menit. Dalam struktur kurikulum SMP/MTs ada penambahan jam belajar per minggu dari semula 32, 32, dan 32 menjadi 38, 38 dan 38 untuk masing-masing kelas VII, VIII, dan IX. Sedangkan lama belajar untuk setiap jam belajar di SMP/MTs tetap yaitu 40 menit.











Selain kegiatan intrakurikuler seperti yang tercantum di dalam struktur kurikulum diatas, terdapat pula kegiatan ekstrakurikuler SMP/MTs antara lain Pramuka, (Wajib), Organisasi Siswa Intra Sekolah, Usaha Kesehatan Sekolah, dan Palang Merah Remaja
3) Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah
Untuk mewadahi konsep kesamaan muatan antara Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah dan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan, maka dikembangkan Struktur Kurikulum Pendidikan Menengah, terdiri atas Kelompok Matapelajaran Wajib dan Matapelajaran Pilihan. Isi kurikulum (KI dan KD) dan kemasan substansi untuk matapelajaran wajib bagi antara Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah dan Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan adalah sama.
Matapelajaran pilihan terdiri atas pilihan akademik untuk antara Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah serta pilihan akademik dan vokasional untuk Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan.Matapelajaran pilihan ini memberi corak kepada fungsi satuan pendidikan, dan didalamnya terdapat pilihan sesuai dengan minat peserta didik.Struktur ini menerapkan prinsip bahwa peserta didik merupakan subjek dalam belajar yang memiliki hak untuk memilih matapelajaran sesuai dengan minatnya.




















Matapelajaran Kelompok A dan C adalah kelompok matapelajaran yang substansinya dikembangkan oleh pusat.Matapelajaran Kelompok B adalah kelompok matapelajaran yang substansinya dikembangkan oleh pusat dan dapat dilengkapi dengan muatan lokal yang dikembangkan oleh pemerintah daerah. Kegiatan Ekstrakurikuler Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah, Sekolah Menengah Kejuruan/Madrasah Aliyah Kejuruan: Pramuka (wajib), OSIS, UKS, PMR, dan lain-lain, diatur lebih lanjut dalam bentuk Pedoman Program Ekstrakurikuler.
a. Kegiatan Intrakurikuler (Intra Curricular Activities)
Menurut Pardede (2005) kegiatan Intrakurikuler merupakan kegiatan yang dilakukan di sekolah dengan jatah waktu yang telah ditetapkan dalam struktur program dan dimaksudkan untuk mencapai tujuan minimal tiap mata pelajaran.Melalui kegiatan intrakurikuler, pengembangan potensi siswa dapat terwujud melalui proses belajar yang melibatkan siswa secara aktif (active learning).
Contoh dari kegiatan intrakurikuler yang paling umum yaitu setiap sekolah umum pasti ada kegiatan mendidik siswa dengan berbagai mata pelajaran seperti Matematika, PKN, Agama, dan lain sebagainya yang dilaksanakan misalkan pukul 07.00-13.00 dengan ada jeda waktu atau istirahat 2 kali.Salah satu pengembangan kegiatan intrakurikuler nonformal dalam dunia pendidikan Indonesia yaitu Pendidikan Kesetaraan (Paket A, B, C) dan Homeschooling (sekolah rumah).
Pendidikan Kesetaraan (Paket A, B, C)
Kelompok Belajar atau Kejar adalah jalur pendidikan nonformal yang difasilitasi oleh Pemerintah untuk siswa yang belajarnya tidak melalui jalur sekolah, atau bagi siswa yang belajar di sekolah berbasis kurikulum non pemerintah seperti Cambridge, dan IB (International Baccalureate). Kejar terdiri atas tiga paket: Paket A, Paket B dan Paket C. Setiap peserta Kejar dapat mengikuti Ujian Kesetaraan yang diselenggarakanoleh Departemen Pendidikan Nasional.Kejar paket diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2009. Sedangkan penyelenggara kejar paket yaitu BSNP yang pelaksanaannya bekerja sama dengan instansi terkait di lingkungan Pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan kecamatan.
 Pendidikan kesetaraan sebagai salah satu bentuk layanan pendidikan nonformal diharapkan dapat berkontribusi lebih banyak terutama dalam mendukung suksesnya program wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun (Wajar Dikdas 9 Tahun) yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 1994, yakni melalui penyelenggaraan program pendidikan kejar Paket A dan Paket B, serta perluasan akses pendidikan menengah melalui penyelenggaraan program Paket C. Program ini ditujukan bagi peserta didik yang berasal dari masyarakat yang kurang beruntung, tidak sekolah, putus sekolah dan putus lanjutan, serta usia produktif yang ingin meningkatkan pengetahuan dan kecakapan hidup, dan warga masyarakat lain yang memerlukan layanan khusus dalam memenuhi kebutuhan belajarnya sebagai dampak dari perubahan peningkatan taraf hidup, ilmu pengetahuan dan teknologi.Berikut merupakan problematika dalam pelaksanaan pendidikan kesetaraan di Indonesia.
1) Tutor kejar paket banyak yang belum siap untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran, seperti kesiapan perangkat pembelajaran, pelaksanaan pembelajaran selama 4 kali seminggu namun kenyataannya tidak berlangsung sesuai rencana. Sistem pembelajaran yang masih belum memaksimalkan metode yang ada.Penggunaan media pembelajaran yang amsih minim.
2) Siswa dari kejar paket sebagian besar berusia di atas usia sekolah.
3) Kondisi sarana prasarana pendidikan masih memprihatinkan, mulai dari gedung tempat proses belajar, buku paket maupun modul, perpustakaan, dsb.
Strategi pemecahan yang harus dilaksanakan tentunya memperbaiki kualitas pendidikan kesetaraan sendiri.mulai dari sarana prasarana sampai dengan honor untuk tenaga pendidik (tutor). Perbaikan ini hendaknya dilaksanakan secara menyeluruh dan bertahap.Dimulai dari beberapa kelemahan yang ada pada sistem kurikulum serta kelemahan-kelemahan dalam pelaksanaan kegiatan pendidikan dengan menggunakan strategi yang sesuai dan tepat sasaran.
Homeschooling (Sekolah Rumah)
Berbeda dengan pendidikan penyetaraan, menurut Sumardiono (2007) homeschooling merupakan suatu alternatif belajar selain di sekolah yang merupakan upaya suatu keluarga dalam proses pendidikan anak yang berbasis rumah.
Legalitas mengenai keberadaan homeschooling di Indonesia dijamin oleh Undang – Undang, yaitu :
§  UUD 45 Pasal 31. Ayat (1) : Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
§  UUD 45 Pasal 31. Ayat (2) : Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
§  UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 27 :
Kegiatan pendidikan informal yang dilakukan oleh keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.Hasil Pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat ( 1) diakui sama dengan pendidikan formal dan non formal setelah peserta didik lulus ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.Dalam hal ini, Pemerintah tidak mengatur standar isi dan proses pelayanan informal kecuali standar penilaian apabila akan disetarakan dengan pendidikan jalur formal dan nonformal sebagaimana yang dinyatakan pada UU No. 20/23, pasal 27 ayat (2).
§  UU HAM Tahun 1999 Pasal 12
§  Peraturan Pemerintah No.19 tahun 2005 tentang  Standar Nasional Pendidikan
§  Keputusan Menteri Pendidikan Nasional RI No.131 & 132/U/2004 tentang Program Paket A/B/C.
Di Indonesia sendiri saat ini banyak berkembang komunitas-komunitas Homeschooling, diantaranya Morning Star Academy, Komunitas HS Berkemas, HS Kak Seto dan KerLip. Mengapa orang tua memilih homeschooling? Menurut (Sumardiono, 2007e) alasan memilih HS yaitu orang tua ingin meningkatkan kualitas anak, tidak puas dengan kualitas pendidikan di sekolah reguler, merasa keamanan dan pergaulan sekolah tidak kondusif bagi perkembangan anak, menginginkan hubungan keluarga yang lebih dekat dengan anak, merasa sekolah yang baik semakin mahal dan tidak terjangkau, memiliki keyakinan bahwa sistem yang ada tidak mendukung nilai-nilai keluarga yang dipegangnya, merasa terpanggil untuk mendidik sendiri anak-anaknya, sering berpindah-pindah atau melakukan perjalanan, dan merasa bahwa anak-anaknya memiliki kebutuhan khusus yang tidak dapat dipenuhi di sekolah umum.
Siswa yang memilih homeschooling akan memperoleh ijazah kesetaraan yang dikeluarkan oleh DEPDIKNAS yaitu :
§  Paket A setara SD
§  Paket B setara SMP
§  Paket C setara SMU
Ijazah ini dapat digunakan untuk meneruskan pendidikan ke sekolah formal yang lebih tinggi bahkan ke luar negeri sekalipun.Bahkan pada beberapa komunitas homeschooling di Indonesia menginduk padahomeschooling di Amerika Serikat, sehingga ijazah yang mereka dapatkan adalah ijazah internasional.Jika pada saatnya anak-anak telah siap mengikuti ujian, maka orang tua bisa mengikutsertakannya dalam ujian negara.Akan tetapi, jika orang tua merasa bahwa ijazah tidak penting, tidak ikut ujian pun tidak mengapa.
Terdapat beberapa problematika berkaitan dengan penyelenggaraan homeschooling beserta pembahasannya.
1) Bagaimana masa depan anak yang mengikuti homeschooling?
Untuk memasuki dunia masa depan (profesi), anak membutuhkan keahlian dalam bidang tertentu (Sumardiono, 2007d). Salah satu tanda keahlian ditandai dengan ijazah/sertifikat dari jenjang pendidikan tertentu.Seperti yang sudah dijelaskan di atas, anak yang mengikuti homeschooling memilki ijazah kesetaraan (Paket A, B dan C) yang dapat digunakan untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi.Selain itu, anak juga dapat mengikuti kursus dan program sertifikasi yang diselenggarakan oleh lembaga tertentu sehingga mereka tetap dapat mengasah kemampuan kognitif serta psikomotor.
2) Bagaimana biaya homeschooling?
Biaya dari homeschooling bergantung pada keluarga yang menyelenggarakannya (Sumardiono, 2007b).Homeschooling menjadi murah jika orang tua dapat memanfaatkan sumber daya yang ada di sekitarnya. Misalnya, orang tua tidak perlu membeli buku baru karena buku ‘sang kakak’ masih bisa digunakan karena substansialnya sama, orang tua bisa mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat digunakan sebagai media dalam pembelajaran.
3) Apakah orang tua perlu untuk menjadi serba tahu?
Menurut Mustika (2007a) orang tua tidak harus menjadi orang yang serba tau dalam meng- homeschooling anaknya.Yang terpenting dari HS yaitu penanaman sikap mental belajar kepada anak-anaknya sehingga mereka dapat belajar kapan saja, di mana saja dan bersama siapa saja.Sisi yang demikian yang tidak diperoleh anak melalui pendidikan formal di sekolah yang disibukkan dengan PR, tugas, ulangan, dsb.Poin penting yang ditekankan pada anak yaitu “bagaimana belajar” sehingga diharapkan mereka menjadi pebelajar yang mandiri (Mustika, 2007 b).
4) Apakah homeschooling minim interaksi sosial?
Banyak sekali kritikan mengenai interaksi sosial dari homeschooling.Bahkan di Amerika serikat, dengan tingkat homeschoolingyang lebih matang mempunyai kekhawatiran terhadap sosialisasi dari homeschooler (Sumardiono, 2007).Lebih lanjut, persepsi yang kuat mengenai lemahnya interaksi sosial dari homeschooler muncul dari masyarakat umum yang melihat homeschoolingdari kejauhan.Namun, penelitian lebih lanjut mengenai interaksi sosial ini justru menunjukkan sebaliknya. Anak-anak HS memiliki beragam kegiatan sosialisasi teman sebaya maupun keterlibatan di masyarakat yang ada di sekitarnya.Menurut penelitian, keterlibatan sosial anak-anak Homeschooling lebih baik dibandingkan dengan teman-teman mereka yang belajar di sekolah umum.Model sosialisasi Homeschooling memang berbeda dengan model sosialisasi sekolah (Sumardion, 2007).Dalam model sosialisasi Homeschooling, anak lebih banyak terekspos dengan model sosialisasi lintas umur, baik ketika belajar di rumah maupun di luar rumah.Ekspose dengan model sosialisasi lintas-umur inilah yang justru dinilai sebagai kekuatan karena merupakan cermin dari realitas masyarakat yang sesungguhnya.

b. Kegiatan Kokurikuler (Co Curricular activities)
Menurut   Winarno   Hamiseno,   kegiatan kokurikuler adalah kegiatan di luar jam  pelajaran  biasa  (termasuk  waktu libur),   yang dilakukan  di sekolah ataupun di luar  sekolah dengan  tujuan menunjang  pelaksanaan  program intrakurikuler agar   siswa   dapat    lebih menghayati  bahan  yang  telah dipelajarinya serta  melatih siswa untuk melaksanakan  tugas secara bertanggung jawab.Dalam pelaksanaan kegiatan kokurikuler, harus memperhatikan azas-azas yang telah ditetapkan oleh Depdiknas, yaitu.
Ø  Harus  menunjang langsung pada  kegiatan intrakurikuler dan kepentingan  belajar siswa.
Ø  Tidak  merupakan beban  yang  berlebihan bagi siswa.
Ø  Tidak   menimbulkan   beban   pembiayaan tambahan  yang berat  bagi  orang   tua siswa.
Ø  Memerlukan  pengadministrasian,   peman­tauan (monitoring) dan penilaian
Bentuk  pelaksanaan kegiatan kokurikuler antara lain dapat berupa pemberian tugas pekerjaan rumah secara kelompok maupun individu. Pemberian tugas secara kelompok bertujuan untuk mengembangkan sikap gotong royong, saling menghargai, kerja sama yang akhirnya dapat membentuk siswa menjadi masyarakat yang baik. Sedangkan pemberian tugas secara individu bertujuan untuk pengembangan kognitif siswa, minat siswa serta membuat siswa menjadi mandiri.Contoh kegiatan kokurikuler secara umum yaitu Masa Orientasi Siswa (MOS), outbound, study tour, bhakti sosial, dll. Sedangkan dalam mata pelajaran fisika kegiatan kokurikuler dapat berupa pemberian soal dengan kompleksitas tinggi di luar jam pelajaran, olimpiade fisika, Karya Ilmiah Remaja dalam bidang fisika, elektronika, proyek membuat alat-alat peraga dan study tour atau study wisata ke pusat pengembangan ilmu fisika.
Selain kegiatan kokurikuler yang diselenggarakan oleh sekolah formal, dewasa ini dalam dunia pendidikan Indonesia semakin marak pertumbuhan bimbingan belajar.Bimbingan belajar merupakan salah satu bentuk kegiatan ekstrakurikuler yang dilakukan diluar sekolah atau ditengah-tengah masyarakat yang bertujuan untuk membantu kebutuhan manusia akan pendidikan. Sebagai bentuk pendidikan non formal, bimbingan belajar ini sangat potensial untuk meningkatkan hasil belajar siswa.Bimbingan belajar dan sekolah formal merupakan dua lembaga yang berbeda.Dari segi bentuk, bimbel merupakan lembaga pendidikan yang tidak diselenggarakan oleh pemerintah yang didirikan oleh perorangan/individu/kelompok tertentu, sedangkan sekolah formal adalah lembaga pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Namun kedua lembaga pendidikan ini mempunyai tujuan yang sama yaitu memberikan pendidikan kepada siswa.
Yang menjadi pertanyaan dan catatan menarik bagi kita sebagai pelaksana pendidikan yaitu mengapa bimbingan belajar yang ada di Indonesia saat ini mengalami peningkatan yang sangat signifikan?Padahal jika ditelusuri lebih jauh, orang tua harus mengeluarkan biaya bimbingan belajar yang lebih banyak disbanding dengan biaya di sekolah formal pada umumnya.Ketidakpuasan terhadap kondisi pembelajaran di sekolah diyakini menjadi salah satu penyebab pesatnya perkembangan bimbingan belajar.Peran sekolah yang memiliki otoritas pendidikan sering dipertanyakan.Hal inilah yang menjadi suatu masalah dalam dunia pendidikan di Indonesia.Sebagai alternatif belajar di luar sekolah banyak siswa yang menggantungkan harapannya pada bimbingan belajar untuk mendapatkan materi yang belum atau tidak diajarkan di sekolah.
Para siswa mengikuti bimbingan belajar dikarenakan beberapa hal seperti ketika belajar di sekolah guru menjelaskan terlampau cepat, sehingga siswa menjadi kurang memahami materi dan ada kalanya siswa ketika belajar di sekolah tidak bisa berkonsentrasi dengan baik, sehingga apa yang diterima dari guru juga kurang maksimal.
Kegiatan bimbingan belajar lebih banyak mengarahkan siswa untuk mengerjakan latihan soal.Banyak manfaat yang diperoleh melalui bimbingan belajar. Mereka akan terbantu untuk memahami pelajaran yang belum dikuasainya. Seperti yang kita ketahui, waktu pembelajaran setiap mata pelajaran dibatasi. Misalnya pada pelajaran fisika hanya diberikan waktu 1 x 45 menit setiap tatap muka, Inilah yang menjadi penyebab guru dan siswa tidak dapat berdiskusi lebih lama. Padahal materi yang diajarkan banyak.Sehingga dengan mengikuti bimbel, siswa dapat bertanya dan berdiskusi materi di sekolah yang masih membingungkannya.
Selain bimbingan belajar, yang semakin marak saat ini terutama di Kota Malang yaitu les privat.Les privat adalah pembelajaran di luar sekolah, yang dilakukan oleh pemberi jasa di luar jam kegiatan belajar mengajar, yang menggunakan kurikulum sekolah sebagai acuan, dengan jumlah siswa dibatasi maksimal 4, dan dibatasi oleh waktu tertentu.Pemberi jasa tersebut selanjutnya dinamakan guru les privat, baik statusnya masih mahasiswa ataupun sudah menjadi guru. Adapun jika jumlah siswa yang diajar berkisar antara 4 sampai 9 siswa maka dinamakam les semi privat, dan lebih dari 9 siswa dinamakan les kelas klasikal.Les privat mengeluarkan biaya yang lebih banyak disbanding dengan les kelas klasikal. Contohnya, untuk tingkat kelas X SMA Mapel Fisika, 1 kali pertemuan dengan waktu 1,5 jam membayar rata-rata 40.000 rupiah. Namun keuntungan yang diterima siswa juga banyak. Seperti siswa yang pemalu di sekolah dapat menanyakan apa yang tidak dimengerti pada guru les. Siswa secara individu juga mendapatkan ilmu yang lebih banyak disbanding ketika siswa harus mengikuti les dengan banyak siswa lain.
Namun bimbingan belajar maupun les privat mempunyai beberapa kekurangan, diantaranya:
1. Untuk kegiatan bimbel dengan siswa yang cukup banyak, materi hampir 70 % tidak mampu diserap siswa, interaksi antara tentor dan siswa juga kurang, untuk mengajukan pertanyaan juga sangat terbatas.
2. Sedangkan pada les privat, biaya les terlalu tinggi.
3. Untuk bimbel dan privat sendiri, seringkali memberikan rumus yang sudah jadi kepada siswa, tanpa memberi tahu konsep yang melatarbelakangi rumus tersebut. Sehingga tidak jarang, siswa menjadi lebih hafal rumus disbanding memahami konsepnya.

c. Kegiatan Ekstrakurikuler (Extra Curricular Activities)
Menurut Usman (1993:22), ekstrakurikuler merupakan kegiatan yang dilakukan diluar jam pelajaran (tatap muka) baik dilaksanakan di sekolah maupun diluar sekolah dengan maksud untuk lebih memperkaya dan memperluas wawasan pengetahuan dan kemampuan yang telah dimiliki dari berbagai bidang studi. Nurgiantoro (2005) menyebutkan bahwa ekstrakurikuler adalah kegiatan-kegiatan yang dimaksudkan untuk memperluas pengetahuan siswa, mengembangkan nilai-nilai atau sikap dan menerapkan secara lebih lanjut pengetahuan yang telah dipelajari siswa baik untuk mata pelajaran program inti maupun program pilihan.Berdasarkan kedua pengertian tersebut, dapat ditarik kesimpulan bahwa kegiatan ekstrakurikuler adalah suatu kegiatan yang dilaksanakan di luar kegiatan intrakurikuler yang bertujuan untuk memperluas pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki siswa.
Syarat diadakannya ekstrakurikuler adalah sebagai berikut.
1. Guru atau pelatih
2. Alat dan fasilitas
3. Lingkungan
Contoh kegiatan ekstrakurikuler berdasarkan struktur kurikulum yang dicanangkan pemerintah yaitu Pramuka (wajib), OSIS, UKS, PMR.Apakah untuk matapelajaran fisika tidak terdapat ekstrakurikuler?Kegiatan ekstrakurikuler dalam matapelajaran fisika salah satunya yaitu Klub Sains Fisika yang terdapat di SMA 4 Muhammadiyah Bengkulu.Klub ini merupakan salah satu klub dengan jumlah peminat yang cukup banyak.Klub Sains Fisika adalah gabungan dari siswa-siswi yang gemar dalam bidang fisika, baik yang berprestasi maupun kurang berprestasi.Bagi siswa yang kurang berprestasi, klub ini merupakan wadah untuk mendapat pengenalan dan pemahaman tentang fisika.Sedangkan bagi mereka yang memahami, merupakan salah satu peluang untuk lebih memperdalam ilmu fisika.
4. Problematika Kurikulum di Indonesia
a) Kurikulum di Indonesia Sering Berganti Nama
Kurikulum adalah sebuah sistem dalam pendidikan yang dijadikan sebagai acuan dalam proses dan hasil pendidikan. Kurikulum dianggap sebagai dasar atau asas dalam pendidikan secara menyeluruh.Sehingga, apabila dasar tersebut tak kokoh maka yang terjadi adalah sebuah kerobohan pendidikan.Kurikulum di Indonesia dianggap sebagai kurikulum yang lemah atau tak kokoh, sehingga kemungkinan robohnya pendidikan Indonesia semakin besar.Hal ini dibuktikan dengan sering bergantinya kurikulum-kurikulum tersebut dari tahun ke tahun dalam kurun waktu kurang lebih 70 tahun.Pemerintah mengganti kurikulum pendidikan yang sedang berlaku pada masa itu karena kurikulum tersebut dianggap tidak dapat mencapai tujuannya dan memecahkan masalah yang terjadi pada kurikulum sebelumnya.
Kurikulum di Indonesia sering sekali mengalami perubahan. Namun, perubahan tersebut hanyalah sebatas perubahan nama semata. Tanpa mengubah konsep kurikulum, tentulah tidak akan ada dampak positif dari perubahan kurikulum Indonesia. Bahkan, pengubahan nama kurikulum mampu disajikan sebagai lahan bisnis oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab.
Pengubahan nama kurikulum tentulah memerlukan dana yang cukup banyak. Apabila dilihat dari sudut pandang ekonomi, alangkah baiknya jika dana tersebut digunakan untuk bantuan pendidikan yang lebih berpotensi untuk kemajuan pendidikan.Berikut ini ada beberapa keluhan/komentar yang datang dari berbagai lapisan masyarakat termasuk pendidik.Komentar ini diambil oleh kelompok kami melalui sebuah artikel tentang kurikulum 2013.
2) Kurikulum di Indonesia terlalu Kompleks
Jika dibandingkan dengan kurikulum di negara maju, kurikulum yang dijalankan di Indonesia terlalu kompleks. Hal ini akan berakibat bagi guru dan siswa. Siswa akan terbebani dengan segudang materi yang harus dikuasainya. Ssiswa harus berusaha keras untuk memahami dan mengejar materi yang sudah ditargetkan. Hal ini akan mengakibatkan siswa tidak akan memahami seluruh materi yang diajarkan. Siswa akan lebih memilih untuk mempelajari materi dan hanya memahami sepintas tentang materi tersebut. Dampaknya, pengetahuan siswa akan sangat terbatas dan siswa kurang mengeluarkan potensinya, daya saing siswa akan berkurang.
Selain berdampak pada siswa, guru juga akan mendapat dampaknya. Tugas guru akan semakin menumpuk dan kurang maksimal dalam memberikan pengajaran. Guru akan terbebani dengan pencapaian target materi yang terlalu banyak, sekalipun masih banyak siswa yang mengalami kesulitan, guru harus tetap melanjutkan materi. Hal ini tidak sesuai dengan peran guru. Kurikulum di Indonesia yang cenderung fokus pada kemampuan intelektual membuat bakat atau soft skill siswa tidak berkembang.Padahal, sebenarnya bakat siswa bermacam-macam dan tidak bisa dipaksa harus berada di suatu bidang saja.
Sebagai perbandingan, Negara Jepang mempunyai struktur kurikulum yang sama dengan Negara Indonesia, yaitu pada tingkat Sekolah Dasar 6 tahun, Sekolah Menengah Pertama 3 tahun dan Sekolah Menengah akhir 3 tahun. Pada jenjang SMP, jumlah jam belajar selama 1 minggu di Jepang yaitu 30 jam, sedangkan di Indonesia 38 jam. Dan pada tingkat SMA, di jepang 34 jam perminggu sedangkan di Indonesia mencapai 42 jam per minggu. Berdasarka uraian tersebut, maka alangkah baiknya jika kita merefleksi kurikulum di Jepang, kita tidak memberikan beban jam belajar yang banyak pada siswa, namun pemberian tugas/keterampilan di luar sekolah harus diperbanyak.
3) Apakah Kurikulum yang Ada sudah Berjalan dengan Baik Dan Bagaimana Caranya?
Seperti yang kita tahu, kurikulum dalam pendidikan Indonesia dimulai dari tahun 1947.Kurikulum terbaru yang baru saja diterapkan yaitu kurikulum 2013. Namun belum genap 2 tahun kurikulum tersebut digunakan, ada isu dari pemerintah bahwa K 13 akan dihapus dan akan kembali pada kurikulum lama yaitu KTSP. Uraian di atas, merupakan suatu problem yang besar yang dialami dunia pendidikan di Indonesia.Padahal implementasi K 13 sendiri belum terlalu menampakkan hasil yang positif dan para praktisi pendidikan juga belum sepenuhnya memahami kajian-kajian yang terdapat dalam K 13.Sehingga para pendidik dibuat semakin bingung dengan gonta-gantinya kurikulum ini.Dengan adanya masalah tersebut, maka kurikulum yang berlaku di Indonesia belum dapat dikatakan berjalan dengan baik.
Sebenarnya dari segi konsep, kurikulum yang ada di Indonesia tidak kalah dengan kurikulum luar negeri, namun dari segi praktiknya masih jauh dibilang baik.Agar kurikulum di Indonesia dapat berjalan lebih baik lagi, kita perlu mencontoh kurikulum yang ada di Negara Jepang.Uji coba kurikulum di negara tersebut berlangsung selama 3 tahun sebelum di implementasikan ke sekolah.Sehingga para praktisi pendidikan mempunyai kemampuan yang baik dalam melaksanakan dan dalam uji coba tersebut, pemerintah dapat merevisi hal-hal yang dianggap kurang baik sehingga kurikulum yang dihasilkan juga berkualitas.

C.    Landasan Kurikuler Pendidikan di Jepang
1.                Tujuan pendidikan Jepang
Tujuan pendidikan Jepang tercantum dalam undang-undang pokok pendidikan tahun 1947 ayat 1,  menyatakan bahwa, pendidikan Jepang bertujuan untuk mengembangkan sepenuhnya kepribadian setiap individu baik fisik, maupun psikis, yang cinta kebenaran dan keadilan, menghormati nilai-nilai pribadi orang lain menghargai pekerjaan, memiliki rasa tanggung jawab dengan semangat kemerdekaan sebagai pendiri Negara dan masyarakat yang damai (Riyana, 2008: 10).

2.               Sistem pendidikan Jepang
Sistem pendidikan di Jepang hampir sama dengan system pendidikan di Indonesia. Anak usia 6 tahun – 11 tahun wajib mengikuti sekolah dasar (elementary school), dan anak usia dari 12 tahun – 14 tahun wajib mengikuti sekolah menengah pertama (lower secondary school). Enam tahun sekolah dasar dan tiga tahun kemudian di sekolah menengah pertama. Lalu usia 15 tahun – 17 tahun harus mengikuti sekolah menengah atas (higher secondary school).

3.               Penyusun kurikulum pendidikan Jepang
Kurikulum pendidikan untuk sekolah-sekolah di Jepang ditentukan oleh menteri pendidikan, lalu dewan pendidikan distrik dan kota praja yang bertugas untuk mengembangkan kurikulum yang telah ditentukan oleh menteri pendidikan tersebut.
Monbusho (kementerian pendidikan, sains, olahraga dan kebudayaan Jepang) telah mengatur standar nasional pendidikan dari tingkat pendidikan taman kanak-kanak hingga tingkat pendidikan menengah atas. Monbusho mengatur seluruh jenis mata pelajaran yang disampaikan danmenentukan jumlah jam pengajaran tiap-tiap mata pelajaran tersebut. Standar pokok, seperti tujuan dan konten isi seluruh mata pelajaran telah ditetapkan di standar kurikulum nasional dari taman kanak-kanak, sekolah dasar, sekolah menengah pertama dan sekolah menegah atas.
Standar kuriulum nasional pertama kali ditetapkan pada tahun 1947. Kemudian revisi kurikulum dilakukan 10 tahun kemudian. Revisi standar dibuat sejak adanya rekomendasi dari dewan kurikulum (curriculum council), bagian pansehat dari menteri pendidikan, sains olahraga dan budaya.

4.               Perkembangan kurikulum pendidikan Jepang
Pembaharuan kurikulum Jepang berlangsung setiap 10 tahun sekali, dan kurikulum terbaru yang diterbitkan di tahun 1998 adalah pembaharuan ketujuh sejak kurikulum yang diterapkan pada Perang Dunia II (Riyana, 2008: 11). Adanya kurikulum 1998 membawa suasana baru dalam duni pendidikan Jepang. Kurikulum 1998 ini jelas berbeda dengan kurikulum sebelumnya, dalam hal konsep yang diusungnya yakni pendidikan yang berorientasi kepada pengembangan beragam personality siswa, bukan seperti kurikulum sebelumnya yang mengusung konsep common education, atau pendidikan yang sama untuk semua siswa.
Sejak perang dunia, guru-guru di Jepang percaya bahwa pendidikan harus bersifat missal dan sama, bahkan pendidikan yang  menjurus pada kekhasan tertentu atau menerapkan pola/metode lain yang berbeda dengan yang lainnya adalah salah. Guru-guru Jepang menganggap bahwa setiap siswa harus memiliki prestasi belajar yang sama dengan siswa yang lainnya. Namun dengan adanya kurikulum baru, menyadarkan bahwa setiap anak memiliki potensi beragam, dan inilah yang harus berusaha dikembangkan.
Kurikulum yang baru lebih bersifat fleksibel dan memungkinkan setiap sekolah untuk meramu kurikulum yang didasarkan pada kondisi siswa dimasing-masing sekolah, kondisi lingkungan, sarana dan prasarana, budaya dan sebagainya. Sebagai contoh, pada tingkat sekolah menengah pertama, pihak sekolah dapat memberikan mata pelajaran pilihan selain dari mata pelajaran wajib.
Dengan adanya perubahan ini, diadakan training besar-besaran hyang bertujuan untuk merubah pola piker guru-guru Jepang. Selain itu, Monbusho juga melakukan perevisian buku-buku pelajaran yang digunakan pada masa kurikulum sebelumnya. Secara hampir bersamaan, diberikan pula usulan keberlakuan 5 hari sekolah dan penambahan jam khusus yang bertujuan untuk mengembangkan jiwa sosial peserta didik dengan melalui integrated course atau sougoteki jikan.
Pada level sekolah, kurikulum sepenuhnya dikontrol dari The Board of Education di tingkat profectur dan municipal (distrik). Karena kedua lembaga ini masing sangat berkaitan erat dengan monbusho, maka pengembangan kurikulum Jepang masih sangat kental dengan sifat sentralistiknya. Namun rekomendasi yang dikeluarkan oleh Central Council for Education (chuuou shingi kyouiku kai) pada tahun 1997 memungkinkan sekolah berperan lebih banyak dalam pengembangan kurikulum pada masa yang akan dating.
Di Jepang ada beberapa hal yang harus diperhatikan pada saat sekolah akan menyusun kurikulum, diantaranya:
(1)      Mengacu kepada standar kurikulum nasional
(2)      Mengutamakan keharmonisan pertumbuhan pertumbuhan jasmani dan rohani siswa
(3)      Menyesuaikan dengan lingkungan sekitar
(4)      Memperhatikan karakteristik course pendidikan.jurusan pada level sekolah menengah atas
Kurikulum sekolah di Jepang meliputi tiga aspek yaitu, subjects (kamoku), moral education (doutoukukyouiku) dan extracurricular (Riyana, 2008: 13). Subject atau mata pelajaran, terdiri atas mata pelajaran wajib untuk tingkat sekolah dasar, dan terdiri dari mata pelajaran wajib dan pilihan untuk sekolah menengah pertama maupun sekolah menengah atas. Untuk pendidikan moral berbeda dengan di Indonesia yang merupakan pelajaran khusus. Di Jepang, pendidikan moral berupa guidance dan konseling selama 1 jam pelajaran dalam seminggu yang dilakukan oleh guru maupun walikelas. Untuk pendidikan moral tidak ada penilaian khusus di dalam laporan hasil belajar. Sedangkan kegiatan ekstrakulikuler meliputi kegiatan seni, olahraga, maupun event sekolah.

5.                  Reformasi Kurikulum di Jepang
Kurikulum sekolah di Jepang disusun oleh bagian perencanaan kurikulum yang terdapat dalam Kementrian Pendidikan (MEXT). Panduan kurikulum di sekolah disebut Gakushū shidōyōryō (GS) yang diakui secara hukum, sehingga pelanggaran terhadapnya akan dikenai sanksi hukum. GS merupakan panduan kurikulum untuk SD (shōgakkō), SMP (chūgakkō), SMP-SMA satu atap (chūtōkyōikugakkō), SMA (kōtōgakkō), dan SLB (tokubetsushiengakkō). Sedangkan untuk panduan kurikulum Taman Kanak-Kanak (yōchien) disebut yōchienkyouikuyōryō[1].
Panduan kurikulum yang pernah berlaku di Jepang adalah GS 1947, GS 1951, GS 1961, GS 1971, GS 1980, GS 1992, dan GS 2002. Penamaan tersebut berdasarkan tahun penerapannya di level SD. Sebagai contoh, kurikulum 1947 adalah kurikulum yang disusun dua atau tiga tahun sebelumnya, dan diterapkan secara tuntas di level SD pada tahun 1947. Pengecualian untuk kurikulum SMA yang mengalami pembaharuan juga pada tahun 1956.
Kurikulum yang rencananya akan diterapkan pada dekade selanjutnya adalah GS 2011. Penyusunan dan publikasi kurikulum ini dilakukan tiga tahun sebelum diterapkan. Misalnya untuk reformasi kurikulum SD yang direncanakan akan diterapkan pada tahun 2011 dan SMP yang akan diterapkan tahun 2012, telah terselesaikan penyusunannya pada 28 Maret 2008. Sementara itu kurikulum untuk SMA dan SLB yang akan diterapkan tahun 2013 telah diselesaikan penyusunannya dan diumumkan ke publik untuk mendapatkan masukan pada 9 Maret 2009.
Kurikulum pertama, GS 1947 adalah kurikulum yang banyak dipengaruhi oleh reformasi pendidikan pasca perang. Beberapa mata pelajaran pada jaman sebelum perang seperti shūshin (mental/spirit education), geografi (chiri) dan sejarah (rekishi) dihapus di level SD[2], dan mapel baru diperkenalkan yaitu IPS dan Jiyūkenkyū (penelitian bebas), serta pelajaran keterampilan (homemaking) diberikan tanpa membedakan jenis kelamin siswa (co-education).
1.    TK di Jepang lebih cenderung merupakan lembaga pengembangan dan pelatihan kebiasaan sehari-hari, oleh karena itu pendidikan di level TK bukanlah pengajaran (gakushū), tetapi lebih tepat disebut kyōiku (pendidikan)
2.     Mapel ini diberikan pula di Kokumingakkō (Sekolah Rakyat) di Indonesia pada masa pendudukan Jepang.

3.     Homemaking pada masa sebelum PD II diajarkan terpisah, sebagaimana kita ketahui SD, SMP dan SMA pada masa pendudukan Jepang di Indonesia juga menerapkan sistem pemisahan siswa dan siswi.

6.                  Pembelajaran Non-Formal di Jepang
Satu ciri khas masyarakat dewasa ini adalah, teknologi semakin banyak digunakan dalam masyarakat, pekerjaan rutin semakin langka, sedangkan pekerjaan yang non rutin menuntut kualifikasi tinggi. Pendidikan formal semakin lama semakin mudah tergapai oleh semua orang, sehingga mobilitas sosial meningkat. Semakin besar persamaan hak atas kesempatan belajar, yang tersedia bagi siapa saja yang ingin maju dan semakin banyak perhatian yang diberikan pemerintah kepada peranan bakat, semakin banyak dan semakin matanglah bakat yang akan dihasilkan untuk memenuhi tuntutan kerja di sehala lapisan masyarakat.
Masyarakat modern juga ditandai dengan perubahan dan mobilitas yang tinggi, dan yang paling menonjol adalah mobilitas kependudukan sebagai akibat rasionalisasi ekonomi dan teknologi tinggi. Cakrawala pengalaman individu pun meluas berkat media massa, sehingga ia bersentuhan dan mengenai bahasa-bahasa internasional yang menyebabkan orang lebih banyak berpergian dibandingkan dengan orang tua dan nenek moyangnya dulu. Mengingat itu semua, tidak heran jika masyarakat menjadi sangat kompleks, suatu hal yang disebabkan oleh adanya aneka nilai dan adanya begitu banyak alternatif pola berfikir dan bertindak.
Saat ini negara-negara maju sedang menghadapi tantangan utama, yaitu mendapatkan efek dari globalisasi, dengan bermunculannya industrialisasi baru dan kompetisi yang tinggi antar negara. Nagara maju memiliki tren baru dalam hal demografi, dengan pertambahan usia dan peningkatan kebutuhan terhadap tenaga kerja imigran. Akhirnya pasar tenaga kerja di negara maju menjadi berubah, yang sebagian besar lagi dipengaruhi oleh pengembangan dalam bidang teknologi.
Tantangan terakhir memicu kemunculan pengetahuan berbasis pada ekonomi dan masyarakat, yang membuat pendidikan dan pelatihan lebih penting dari pada sebelumnya. Di Eropa atau bahkan di negara-negara maju lainnya kebutuhan tidak hanya untuk memperbaharui keterampilannya, tapi juga untuk memperoleh pengetahuan yang baru. Mereka melakukan itu untuk hidup dan berhasil dalam masyarakat modern mereka, seperti halnya untuk pemenuhan kebutuhan personalnya.
Perubahan demografi di negara-negara disebabkan karena terjadi migrasi besar-besaran tenaga kerja dari negara luar, ada tenaga kerja yang berketerampilan tinggi namun juga banyak yang tidak memiliki keterampilan dan perlu penanganan. Bahkan ada yang berketerampilan namun namun seringnya keterampilan tersebut di bawah standar atau tidak dikenali dan tidak dapat digunakan di pasar kerja.
Selain itu perubahan demografi juga terjadi berkaitan dengan jumlah penduduk di negara maju, dimana penduduk usi 24-55 tahun jumlahnya semakin sedikit atau hanya mencapai 15%, sedangkan untuk usia 60-80 perbandingannya adalah dari 10 orang maka satu diantaranya adalah usia 60-80. Yang lebih buruk lagi adalah dari tiga orang maka satu orang adalah penduduk berusia 55-64 tahun.
Perubahan budaya memunculkan orang yang lebih tua dan yang sangat tua, sehingga pendidikan non formal diperlukan untuk menolong mereka agar dapat aktif lebih lama dalam pekerjaannya, dan memungkinkan mereka untuk hidup dan aktif dalam kehidupan mereka setelah pensiun.
Keterampilan dasar dan kompetensi kunci saat ini dikenali sebagai sebuah kebutuhan yang sangat penting di negara maju. Di Jepang sebagai salah satu negara maju yang ada di Asia, pendidikan non formal dilaksanakan hampir diseluruh departemen yang ada dalam pemerintahan, mulai dari perkumpulan pemuda, pusat pelatihan, pusat olah raga, dan sebagainya.

7.                  Kegiatan Home Schooling di Jepang
Setsuko Miyai, seorang professor ilmu humaniora di universitas Toyo Gakuen menulis dalam buku yang ia susun pada tahun 2007 lalu yang berjudul “diantara Indivindu dan Negara”, menuliskan bahwa pendidikan di rumah atau homeschooling diawali oleh gerakan antibudaya pada akhir 1960an hingga awal ‘70an.
Hingga pada kahir tahun 70an, seorang pendidik, mengadvokasikan pemisahan pendidikan dari sekolah-sekolah. Juga mengatakan bahwa orang tua adalah seorang fasilitator dan bukan seorang pengajar dari proses belajar mandiri seorang anak.
Miyai menggaris bawahi alasan-alasan yang berbeda di antara mereka yang memilih homeschooling, seperti karena adanya suatu penyakit yang diderita sehingga tidak memungkinkan si anak untuk sekolah, seringnya si anak membolos sekolah, takut dengan bullying(ditekan) oleh para senior, tidaknya merasa nyaman dengan pendidikan yang menitikberatkan pada bidang akademik saja, agama, menolak sifat sistem pendidikan sekolah moderen yang distandardisasi dan berbasis kendali, tidak percaya pada norma-norma, terutama nilai moral, yang dipaksakan sekolah umum kepada para siswa, hingga keselamatan fisik.
Namun pada akhirnya, ras Afrika dan Amerika yang aktif dalam kegiatan homeschooling ini mulai memperjuangkan hak-hak homeschooling karena prihatin dengan gagalnya sekolah-sekolah yang ada menangani kesenjangan rasial dalam prestasi akademik dan kebutuhan melestarikan kebudayaan mereka, homeschooling menjadi sesuatu yang legal di seluruh Amerika Serikat menjelang tahun 1993, papar Miyai.
“Di Dunia, pendekatan pada pendidikan rumah bervariasi dari tiap negara, tergantung pada apakah Negara tersebut memandang sekolah sebagai wajib atau tidak,” kata Yoshiyuki Nagata, seorang professor di University of Sacred Heart. Ia telah melakukan banyak riset terhadap berbagai macam pendidikan. Termasuk pendidikan rumah atau home schooling.
Namun, dengan peluncuran PISA atau Program Penilaian Pelajar Internasional, banyak Negara yang merujuk pada sekolah guna meningkatkan literasi di antara warga negaranya, kata Nagata lagi.
“Selain dari itu, banyak Negara yang ‘menderita’ dengan adanya ‘kejutan PISA’ itu. Seluruhnya jadi kalang kabut untuk menutupi atau mengatasi hasil buruk negaranya” tutur Nagata. “Dalam artian itu, lebih banyak perhatian diberikan pada pendidikan berbasis sekolah.
Namun pada saat yang sama, definisi tentang kemampuan akademik juga semakin beragam. Pendidikan alternatif bisa jadi lebih baik dalam menolong anak-anak memperoleh keterampilan menyelesaikan masalah, wawasan, dan kebijaksanaan.”
Memang demikian, seperti yang didemonstrasikan para remaja Inggris yang dididik di rumah, saat turut serta dalam kompetisi robotik di Tokyo, anak-anak yang dididik di rumah sering kali merupakan para pelajar yang maju di bidang-bidang tertentu, karena mereka tidak dipaksa untuk belajar mata pelajaran pokok.
Selain dari itu, Menurut laporan tahun 2002 oleh Paula Rothermel dari Universitas Durham, Inggris, yang menilai perkembangan psikososial dan akademik peserta homeschooling usia 11 dan lebih muda, anak-anak yang dididik di rumah itu ditemukan lebih matang secara sosial dan berprestasi akademik lebih baik daripada anak-anak yang dididik di sekolah.
Di Jepang, di mana kehadiran di sekolah adalah wajib, pendidikan rumah bukan pilihan yang popular. Bahkan banyak orang tua yang tidak tahu dengan adanya gagasan mendidik anak di luar sekolah itu ada, kata Kyoko Aizawa, pendiri Otherwise Japan, sebuah kelompok pendukung pendidikan rumah, dengan memberikan catatan bahwa banyak anak-anak dan keluarga yang melaksanakan pendidikan rumah melakukannya dengan rahasia, dan kerap kali menerima diskriminasi dari masyarakat tempat tinggal mereka.
Tetapi dengan begitu banyak masalah di sekolah-sekolah Jepang, baik sekolah maupun orang tua selayaknya berpikir lebih keras tentang cara-cara saling menolong sehingga semua anak dapat memiliki akses pada pendidikan, kendati di mana pun tempat mereka belajar atau apakah mereka mengikuti kurikulum pemerintah ataupun tidak, kata Aizawa. “Pendidikan rumah bukan tentang menghapuskan atau pun menjelek-jelekkan sekolah, juga bukan mengunci anak- anak di dalam rumah dan membuat mereka mengerjakan soal-soal dari pendidikan jarak jauh,” kata Aizawa.
“Pendidikan rumah adalah tentang mengakar pada masyarakat, dan memberikan bantuan bersifat mendidik kepada anak-anak pada setiap kesempatan sedapat mungkin.”

8.                  Sistem Pendidikan Tinggi di Jepang
1). Universitas (Daigaku), 4 tahun;
Universitas sebagai suatu pusat pendidikan bertujuan untuk menyelenggarakan pengajaran dan studi untuk bidang-bidang profesional dan seni serta memberi pengetahuan luas dan mengembangkan intelektual, moral dan kemampuan berpraktek. Universitas melaksanakan program empat tahun disebut sebagai program sarjana. Tetapi kedokteran, kedokteran gigi, kedokteran hewan memprasyaratkan program pendidikan selama enam tahun.
Sedangkan Program Pascasarjana di Jepang bertujuan untuk menyelenggarakan pendidikan di tingkat yang lebih tinggi (advanced) tentang teori dan penerapan dari suatu bidang keahlian, menguasai secara mendalam bidang keahlian tersebut dan memberikan kontribusi terhadap pengembangan teknologi, budaya dll.
2). Akademi Teknologi (Tanki-daigaku),
Pendidikan Akademi Teknologi untuk Bachelor atau setara dengan stata-1 secara imum ditempuh dalam jangka waktu 5 tahun, dengan jumlah minimal 167 kredit;
3). Sekolah Tinggi Teknik (Koto-senmon-gakko);
Pada sekolah tinggi Teknik, memiliki waktu studi rata-rata 4-5 tahun. Lama studi ini sama dengan pada saat menempuh jenjang pendidikan sarjana.
4). Sekolah Kejuruan (Senmon-gakko).
Untuk tahun akademik dimulai pada bulan April hingga bulan Maret tahun berikutnya. Perkualiahan diberikan dalam dua semester, semester pertama (Zenki) berlangsung dari bulan Maret sampai dengan bulan September dan semester kedua (Goki) dimulai dari bulan Oktober dan berakhir dalam bulan Maret.

9.                  Standar nasional kurikulum Jepang
MEXT, sebagai sebuah lembaga pemerintahan nasional, yang bertugas membuat standar nasional kurikulum. Standar nasional kurikulum ini harus diberlakukan untuk seluruh jenis sekolah, dari taman kanak-kanak hingga sekolah menengah atas serta untuk siswa yang mengalami kekurangan pengelihatan, kekurangan pendengaran dan kekurangan lainnya.
Untuk spesifiknya, cakupan dan urutan mata pelajaran untuk setiap tingkatan kelas telah ditetapkan oleh MEXT. Ini merupakan karakteristik kurikulum Jepang yang berbeda dibandingkan dengan kurikulum Negara Barat. Sebagai contoh, para guru di Inggris dan di Amerika memiliki banyak otonomi dibandingkan Jepang dalam hal menentukan kurikulum.
Sebagai gambaran, jumlah jam pelajaran (dalam satu minggu) untuk setiap tingkatan yang telah ditetapkan oleh MEXT dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 3.1 Jumlah jam pelajaran dalam 1 minggu untuk sekolah dasar
Subject
Grade
1
2
3
4
5
6
Jepanese
8 (272)
8 (280)
8 (280)
8 (280)
6 (210)
6 (210)
Social studies
2
(68)
2
(70)
3
(105)
3
(105)
3
(105)
3
(105)
Arithmetic
4
(136)
5
(175)
5
(175)
5
(175)
5
(175)
5
(175)
Science
2
(68)
2
(70)
3
(105)
3
(105)
3
(105)
3
(105)
Music
2
(68)
2
(70)
2
(70)
2
(70)
2
(70)
2
(70)
Art & Handcraft
2
(68)
2
(70)
2
(70)
2
(70)
2
(70)
2
(70)
Homemaking
-
-
-
-
2
(70)
2
(70)
Physical Education
3
(102)
3
(105)
3
(105)
3
(105)
3
(105)
3
(105)
Moral Education
1
(34)
1
(35)
1
(35)
1
(35)
1
(35)
1
(35)
Special Activites
1
(34)
1
(35)
1
(35)
1
(35)
1
(35)
1
(35)
Total number of required class periods
25
(850)
26
(910)
28
(980)
29
(1015)
29
(1015)
29
(1015)
(Sumber: tripod.com)

Tabel 3.2 Jumlah jam pelajaran dalam 1 minggu untuk sekolah menengah pertama
Subject
First Year (Grade 7)
Second Year (Grade 8)
Third Year (Grade 9)
Japanese language
5
4
4
Social studies
4
4
3
Mathematics
3
4
4
Science
3
3
4
Music
2
2
1
Fine arts
2
2
1
Health and physical education
3
3
3
Industrial art or homemaking
2
2
3
Moral education
1
1
1
Special activities
2
2
2
Elective
3
3
3
Additional elective hour
0
0
1
Total
30
30
30

Tabel 3.3 Jumlah jam pelajaran untuk sekolah menengah atas tahun pertama
First Year
All Student
Weekly hours
Japanese I
5
Japanese II

Contemporary Society
4
Mathematics I
6
Science I
4
English I
6
Physiscal education and home economics
4
Health
1
Musics or calligraphy
2
Homeroom
1
Club activities
1
Total
34
(Sumber: tripod.com)

Untuk tahun kedua, siswa dikelompokkan pada kelas Literature majors dan science majors dengan mata pelajaran dan jumlah jam setiap minggunya sebagai berikut.
Tabel 3.4 Jumlah jam pelajaran untuk sekolah menengah atas tahun kedua
Second Year
Literature majors
Weekly hours
Weekly hours
Science majors
Japanese II
5
4
Japanese II
Classical
2
3
Japanese History
Literature Japanese history
2
3
Algebra & Geometry
Word history
3
3
basics mathematics
Basic mathematical
3
4
Basic mathematical
Analysis biologi or chemistery
3
4
Analysis biologi or chemistery
English
7
5
English
Physical education & home economics
4
4
Physical education & home economics
Health
1
1
Health
Musics or calligraphy
2
1
Musics or calligraphy
Homeroom
1
1
Homeroom
Club activites
1
1
Club activites

34
34

(Sumber: tripod.com)

Untuk tahun ketigaa, siswa juga dikelompokkan pada kelas Literature majors dan science majors dengan mata pelajaran dan jumlah jam setiap minggunya sebagai berikut.
Tabel 3.5 Jumlah jam pelajaran untuk sekolah menengah atas tahun ketiga
Third Year
Literature majors
Weekly hours
Weekly hours
Science majors
Modern literature
4
3
Modern literature
Classical literature
4
2
Japanese History
  Japanese history
3
5
Integral and differential
Word history
3
5
Probably and ststistic
Ethics or Politics
3
4
physics
Basics mathematics
2
4
Chemistery
Analysis biologi or chemistery
2
6
English
English
8
3
Physical education & home economics
Physical education & home economics
3
1
Homeroom
Homeroom
1
1
Club activites
Club activites
1



34
34

(Sumber: tripod.com)

D.    Landasan Kurikuler Pendidikan di Amerika

1.      Tujuan Pendidikan Amerika
     Di Amerika Serikat karakteristik utama system pendidikan Amerika Serikat adalah menonjolnya DESENTRALISASI. Pemerintah Pusat sangat memberi otonomi seluas-luasnya kepada Pemerintah di bawahnya, yaitu Negara Bagian dan Pemerintah Daerah (Distrik). Meskipun Amerika Serikat tidak mempunyai system pendidikan yang terpusat atau yang bersifat nasional, akan tetapi bukan berarti tidak ada rumusan tentang tujuan pendidikan yang berlaku secara nasional.
     Tujuan system pendidikan Amerika secara umum dirumuskan dalam 5 poin sebagai berikut:
a.   Untuk mencapai kesatuan dalam keragaman
b.   Untuk mengembangkan cita-cita dan praktek demokrasi
c.   Untuk membantu pengembangan individu
d.   Untuk memperbaiki kondisi social masyarakat
e.   Untuk mempercepat kemajuan nasional
     Di luar 5 tujuan tersebut, Amerika Serikat mengembangkan visi dan missi pendidikan gratis bagi anak usia sekolah untuk masa 12 tahun pendidikan awal dan biaya pendidikan relative murah untuk tingkat pendidikan tinggi. Sedangkan Indonesia baru menetapkan system pendidikan gratis untuk 9 tahun jejang sekolah dasar dan sekolah menengah pertama sedangkan sekolah menegah atas masih perlu mengeluarkan uang untuk membayar sekolah.

2.      Kurikulum Pendidikan Amerika
Pada awalnya kurikulum didefinisikan dengan sederhana. Di The American Heritage Dictionary (1982) kurikulum didefinisikan sebagai (1) kumpulan mata pelajaran yang diajarkan disekolah, akademi, dst.(2) Pelajaran umum dan khusus (kejuruan) yang dipelajari disekolah, akademi. Roger’s Thesaurus (1963) daftar yang berisi silabus, materi dan  pembelajaran sebagai sinonim dari kurikulum.
Definisi seperti itu tidak benar benar menjelaskan bagaimana fungsi kurikulum dan apa yang apa yang memegang peran dalam pembetukan kurikulum dalam pendidikan di Amerika.

a.   Jenis Jenis Kurikulum
1)   Kurikulum formal dan informal
     Pada saat belajar disekolah siswa menerima kurikulum formal dan informal.  Kurikulum formal sangat sering dipikirkan dibanding kurikulum informal. Tetapi kurikulum informal juga penting untuk diketahui.  Salah satu contoh kurikulum formal adalah apa yang kita temukan dalam buku teks.  Sedangkan contoh kurikulum informal adalah apa yang diajarkan pada siswa tentang sopan santun. Misalnya pada siswa perempuan sering diberitahu untuk bersikap sebagai ‘lady’, atau pada siswa laki laki diajari untuk jangan cengeng dan menangis.
2)   Kurikulum tersembunyi (hidden curriculum)
     Philip Jackson dalam bukunya Life in Classroom (1968) mengembangkan konsep kurikulum tersembunyi, yang dia definisikan sebagai kultur dan nilai yang lebih menonjol yang dianut oleh civitas akademik (siswa dan juga guru) disuatu sekolah. Mc Laren (1998) menyebutnya sebagai hasil yang ‘tidak diinginkan’ dari proses persekolahan yang diluar materi pembelajaran. Kurikulum tersembunyi mencerminkan ideology yang dominan didalam suatu sekolah. Seorang pakan teori, Elliot Eisner (1985) menjelaskan bahwa sekolah mengajari lebih dari yang ditawarkan.
3)   Kurikulum Nol
Konsepnya sangat berhubungan dengan kurikulum tersembunyi. Kurikulum nol mengacu pada pelajaran yang diajarkan dengan tanpa sengaja. Eisner (1985) mengkategorikan kurikulum nol menjadi dua bagian. Yang pertama proses kognitif dan materi pelajaran yang lebih ditekankan untuk diajarkan, baik yang ada dalam kurikulum formal maupun yang tidak. Contoh, untuk mengajar anak anak TK menghafal abjad, apakah cara yang digunakan adalah menyuruh mereka menghafal didepan kelas atau atau guru mengulang-ulang didepan kelas, dll.
4)   Jarak fisik sebagai kurikulum
Beberapa pendidik berpendapat bahwa apa yang terjadi disekolah adalah kurikulum (Winch & Gingell, 1999). Jadi desain fisik sekolah bisa juga disebut sebagai kurikulum. Bukan suatu kebetulan bahwa sekolah abad 19 didesain seperti candi dan gereja, karena maknanya adalah candi atau katedral pengetahuan.

b.     Kurikulum Merepresentasikan  Nilai Nilai Budaya
Tahun 1860 Herbert Spencer menulis Essay tentang Pengetahuan apa yang paling bernilai/bermanfaat? Pertanyaan ini  berangkai dengan pengetahuan apa yang kita capai sebagai budaya dan yang mempengaruhi ‘Apa yang seharusnya diajarkan disekolah?’ Menentukan apa yang diajarkan disekolah akhirnya adalah proses politis.  Budaya yang dianut pada suatu waktu akan mempengaruhi apa yang diajarkan di sekolah.
1)   Buku Teks
     Buku teks yang digunakan pada berbagai periode sejarah berbeda beda sesuai dengan budaya yang paling berpengaruh pada saat buku itu diterbitkan.
- The New England Primer
Dipublikasikan pertama kali pada akhir abad 17 dengan materi yang banyak didominasi oleh masalah agama dan kematian
- The McGuffey Readers
Buku ini dipublikasikan pada pertengahan abad 19.  Isinya lebih menekankan pada ide kerja keras dan kesuksesan pribadi.  Juga menggambarkan dan mendukung nilai nilai demokratis.
- The Dick and Jane Readers
Diterbitkan pada abad 20 mempunyai visi khusus bagaimana menjadi orang Amerika dan menceritakan tentang keluarga Amerika.  Awalnya tidak bercerita tentang orang kulit hitam, baru kemudian karena terjadi perubahan social dan politik di Amerika, dikisahkan datang keluarga yang berkulit hitam menjadi tetangga keluarga  itu.
2)   Pandangan tentang Kemampuan Berbudaya
Selama 15 hingga 20 tahun terakhir banyak perdebatan tentang apa yang seharusnya diajarkan disekolah.  Debat besar terjadi saat E.D. Hirsch Jr. mempublikasikan buku berjudul ‘Cultural Literacy’. Dia berargumen bahwa seharusnya sekolah mengajarkan kurikulum utama yang didasarkan pada budaya barat.  Bahkan dia juga memberikan 5000 hal penting untuk dipahami orang Amerika. Meski sebagian besar kata katanya masuk akal, tapi pendapatnya dipengaruhi latar belakang budayanya.
3)  Mitos tentang kurikulum yang bebas dari nilai nilai (value free curriculum)
Banyak yang percaya bahwa menyusun kurikulum yang benar benar obyektif  dan bebas dari nilai nilai adalah hal yang mungkin untuk dilakukan.  Meskipun setiap kurikulum spesifik secara budaya dan merepresentasikan ‘bagaimana sudut pandang penyusunnya terhadap dunia’. Misalnya pada saat membahas sejarah tentu wajar kalau tidak seobyektif matematik. Karena dalam sejarah harus memilih tema social dan politik sedang matematika mengajarkan rumus rumus dan perhitungan. Tetapi kalau dipikir ulang,  symbol symbol matematik yang digunakan di Amerika berasal dari Arab kuno.  Orang Mayan dan Romawi  memiliki symbol sendiri yang berbeda.
Jadi semua kurikulum pasti membawa nilai nilai orang orang yang menyusunnya.  Jika tidak ada kurikulum yang netral, bisakah kita buat obyektif?  Bisa. Guru didalam kelas yang bertugas untuk itu. Misalnya meskipun guru adalah orang yang tidak setuju dengan aborsi, tetapi pada saat diskusi dikelas guru tidak menggunakan pendapat pribadinya.

c.   Akar Sejarah Kurikulum Amerika
     Kurikulum Amerika selalu dibentuk oleh politik, kebutuhan pendidikan anak dan nilai nilai yang dianut oleh masyarakat.  Pengaruh ini bukan hanya pada isi buku teks tetapi juga pada model pengajarannya.

a.   Kekuatan kekuatan filosofis yang mengarahkan kurikulum
     Sejumlah kekuatan filosofis yang membentuk kurikulum di Amerika selama ratusan tahun terakhir. Ada yang bersifat social dan ada yang psikologis.
-  Kekuatan sosial budaya
Tokohnya adalah John Dewey dan John Franklin Bobbit.  Model pendidikan dan kurikulum Dewey menekankan pada bagaimana memenuhi kebutuhan dan keinginan siswa.  Sedangkan Bobbit menekankan bagaimana memperlakukan dan membelajarkan ketrampilan yang diperlukan dalam masyarakat.
Pendapat kedua tokoh itu sangat mempengaruhi pendidikan di Amerika, tetapi pendapat Dewey lebih dominan.
-  Kekuatan psikologis
     Selain oleh kekuatan sosial dan budaya, kurikulum di Amerika juga dipengaruhi oleh gerakan gerakan psikoligis. Mungkin dua hal yang paling penting adalah behaviorisme dan konstruktivisme. Pandangan behaviorisme diterapkan disekolah dengan memberikan penghargaan, penguatan negative dan hukuman untuk membentuk tingkah laku dan mendorong motivasi siswa dikelas.  Sedangkan pandangan konstruktivis berpendapat lebih mendorong siswa untuk aktif mengkonstruksikan pengetahuannya sendiri.
b.   Kurikulum Amerika dalam Pandangan Ahli Sejarah
     Menurut Kliebard, kurikulum di Amerika dibentuk oleh kekuatan seperti ekonomi, perang dan pertahanan negara serta  hak hak sipil (penduduk). Misalnya pada tahun 1930an, karena hanya sedikit lowongan kerja untuk orang muda sehinggan lebih banyak siswa yang memilih sekolah negeri. Akibatnya kurikulum sekolah menengah menjadi kurang elit dan lebih banyak praktek. Menjelang perang dunia II, orang menjadi lebih lama disekolah. Wajib belajar diberlakukan hingga umur 16 tahun.
1)   Life Adjusment Education
     Sesudah perang dunia II, gerakan nasional berkembang kearah apa yang disebut Life Adjusment Education.  Maksud dari Life Adjusment Education adalah menyiapkan 60% siswa sekolah menengah untuk menjadi anggota masyarakat yang berguna, bukan untuk mendapatkan ketrampilan kejuruan atau menyiapkan diri melanjutkan pendidikan.  Kurikulum yang digunakan ditekankan pada kewarganegaraan, kehidupan keluarga, kebersihan dan kesehatan dan waktu luang.
     Berbagai kritik mengatakan bahwa terjadi penurunan standar. Perdebatan berakhir ketika sekolah negeri kemudian ditekankan untuk mengembangkan kemampuan akademik dan ketrampilan hidup seseorang.
2)   The national defense Education Act
     Setelah perang berakhir, perdebatan tentang kurikulum dipicu saat tanggal 4 oktober 1957 Uni Soviet meluncurkan Sputnik I.  Banyak orang dan pendidik kawatir kalau negaranya akan kalah dari Uni Soviet dalam teknologi dan sains. Hasilnya, pemerintah mengeluarkan lebih dari 1 miliar dolar untuk beasiswa, memperbaiki kualitas sekolah, menyediakan pelatihan pelatihan kejuruan dan membangun kelas kelas baru.
     Tahun 1960an , masalah Sputnik digantikan oleh masalah kesetaraan golongan Afrika amerika, golongan minoritas dan perempuan.  Kemudian kurikulum berubah.
Tahun 1970an berkembang consensus bahwa sekolah seharusnya memegang peran dalam reformasi dan perkembangan masyarakat Amerika. Hasilnya sekolah kadang lebih menekankan pada kurikulum inovatif dan kadang kembali ke ‘basic’.   
3)   A Nation at risk
     Pada tahun 1983 muncul argument bahwa kualitas sekolah negeri di Amerika yang ’sedang’ ( mediocore) menurunkan kemampuan kompetisi ekonomi Amerika dan menempatkan negara dalam bahaya.
4)   The standard movement and the curriculum
     Debat tentang apa yang seharusnya kurikulum sekolah negeri di Amerika terus berlangsung hingga sekarang. Dan sekarang sekolah memfokuskan kurikulum untuk perkembangan ketrampilan yang nyata.
Sebagai penerapan undang undang ‘No Children Left Behind’, banyak sekolah sekolah di berbagai negara bagian membuat evaluasi dan ujian.  Banyak pendidik berpendapat bahwa tes seperti itu bersifat ‘artifisial’ dan tidak adil untuk golongan moniritas dan anak dengan latar belakang ekonomi rendah.

d.     Peran Guru dalam Kurikulum
Guru memegang peran yang sangat penting dalam menyampaikan kurikulum yang digunakan disekolah.  Apapun yang diajarkan, filternya adalah persepsi dan cara mengajar guru, baik kurikulum formal maupun informal. Guru hanya memiliki sedikit control terhadap ‘hidden curiculum’ yang ada disekolah.  Tetapi guru bisa mempengaruhi kurikulum formal disekolah.  Menurut McCutcheon, guru memiliki kekuatan besar dalam membentuk dan mengontrol penyampaian kurikulum formal.
 Federasi guru guru Amerika menulis tentang sepuluh criteria standar bagi sekolah untuk berhasil, yaitu:
a.   Standar harus focus pada kegiatan akademik
b.   Standar harus didasarkan pada inti kedisiplinan
c.   Standar harus cukup spesifik untuk memastikan pengembangan kurikulum inti
d.   Standar harus diatur sesuai waktu yang ada
e.   Standar harus tepat dan berkelas dunia
f.    Standar harus termasuk’standar kinerja’
g.   Standar harus menetapkan berbagai level kinerja bagi siswa untuk bersaing
h.   Standar harus merupkan kombinasi dari pengetahuan dan ketrampilan, tidak menitik beratkan salah satunya
i.    Standar tidak mendikte bagaimana materi seharusnya diajarkan
j.    Standar harus ditulis dengan jelas agar bisa dipahami semua stakeholder
Menerapkan standar diatas adalah hal yang harus dilakukan oleh guru.  Standar digunakan untuk memastikan siswa belajar.

e.   Peran Buku Teks dalam Kurikulum
Amerika tidak punya kurikulum nasional maka guru menggunakan kurikulum yang sudah biasa dipakai dan menjadi tradisi. Misalnya pada anak kelas 1 SD, guru akan mengajarkan penambahan dan pengurangan sebelum mengajarkan perkalian dan pembagian. Selanjutnya proses persekolahan menjadi lebih khusus dan ‘bersifat Amerika’. Buku-buku teks membuat keseragaman dalam kurikulum di Amerika.
Kira kira separuh negara bagian di Amerika adalah negara yang mengadosi buku teks. Artinya buku yang beredar harus direview dan disetujui atau diadopsi oleh komite departemen pendidikan.  Hal ini dilakukan untuk menjamin kualitas, menekan harga, dan memastikan isinya sesuai kurikulum yang ada.
Isi buku teks berpotensi untuk bertentangan dengan nilai yang dianut oleh masyarakat setempat. Sebagian masyarakat menganggap bahwa diskusi tentang HIV, AIDS, persoalan seks, aborsi dan penggunaan kondom sebaiknya dilakukan dipembelajaran kesehatan, sementara sebagian yang lain tidak setuju.  Karena itu guru harus hati hati memilihnya.
Kadang buku teks ditentukan oleh hasil rapat komite dan  guru hanya punya peluang kecil atau bahkan tidak punya peluang memilih.  Jika guru punya kesempatan untuk memilih atau menjadi anggota komite, ingatlah beberapa pertanyaan dibawah ini:
a    Apakah buku yang dipilih cocok dengan tujuan pembelajaran yang akan diajarkan?
b.  Apakah buku yang dipilih (kita tertarik) memberikan berbagai cara menyampaikan informasi pada siswa?
c.   Apakah buku teks itu peka terhadap isu isu ras, gender, agama, dan etnik?
d.   Apakah buku teks tersebut sesuai dengan tingkat pendidikan siswa yang akan kita ajar?
e.   Apakah buku teks tersebut mengurutkan/ mengorganisasikan materi dengan logis?
f.    Apakah buku teks tersebut tidak terlalu sulit?
g.   Adakah tambahan yang bisa digunakan bersama buku teks, misalnya dukungan dari multimedia atau petunjuk guru
h.   Apakah materi yang ada pada buku teks berpotensi menarik bagi siswa?

3.       Kegiatan Home Schoolong di Amerika Serikat
Pendidikan di rumah bukanlah sebuah hal yang baru. Sebelum ada sistem pendidikan modern (sekolah) sebagaimana yang dikenal pada saat ini, pendidikan dilakukan berbasis rumah. Sistem magang adalah model pendidikan yang sangat dikenal oleh masyarakat. Demikian pun belajar otodidak yang sampai sekarang masih dilakukan.Selain itu, para bangsawan zaman dahulu biasa mengundang guru-guru privat untuk mengajar anak-anaknya. Itulah jejak homeschooling pada masa dahulu.
Sejak perkembangan revolusi industri, terjadi proses sistematisasi pendidikan dan proses belajar. Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan serta usaha untuk memaksimalkan proses pembelajaran selama berabad-abad menghasilkan sebuah evolusi sistem pendidikan yang kemudian kita kenal sebagai sekolah. Sekolah adalah salah satu representasi institusional dari nilai-nilai modern yang dipegang manusia saat ini. Sebagai institusi modern, sekolah adalah solusi untuk mengatasi keterbatasan keluarga dalam mendidik anaknya secara sadar dan terencana.
Sejak perkembangan revolusi industri, terjadi proses sistematisasi pendidikan dan proses belajar. Perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan serta usaha untuk memaksimalkan proses pembelajaran selama berabad-abad menghasilkan sebuah evolusi sistem pendidikan yang kemudian kita kenal sebagai sekolah. Sekolah adalah salah satu representasi institusional dari nilai-nilai modern yang dipegang manusia saat ini. Sebagai institusi modern, sekolah adalah solusi untuk mengatasi keterbatasan keluarga da;am mendidik anaknya secara sadar dan terencana.
Walaupun sekolah menjadi institusi pendidikan yang terbukti memberikan manfaat bagi kemanusiaan, bagaimana proses pencarian pendidikan yang terbaik tak pernah berhenti. Berbagai filsafat dan pemikiran terus lahir, serta berinteraksi dengan kondisi sosial yang dialami oleh masyarakat.
Di Amerika Serikat, gelombang pertama homeschooling terjadi pada era 1960-an. Pada masa ini, mulai muncul pemikiran bahwa anak-anak belajar lebih baik jika tanpa instruksi sebagaimana di sekolah (John Holt). Banyak pemikiran yang muncul mempertanyakan efektivitas sekolah dalam menjalankan fungsi pendidikan. Selain Holt, inisiator dan pejuang homeschooling pada masa itu adalah Dr. Raymon Moore, seorang psikolog perkembangan dan peneliti pendidikan. Akhir 1970-an, Holt menerbitkan surat kabar "Growing Without School" yang menjadi sistem pendukung homeschooling pada masa itu.
Setelah itu, homeschooling terus berkembang dengan berbagai alasan. Selain karena alasan keyakinan (beliefs), pertumbuhan homeschooling juga banyak dipicu oleh ketidakpuasan atas sistem pendidikan di sekolah. Keadaan pergaulan sosial di sekolah yang tidak sehat juga memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan homeschooling.
Walaupun awalnya dipersepsi sebagai kelompok konservatif dan penyendiri (isolationists), homeschooling terus tumbuh dan membuktikan diri sebagai sistem yang efektif dan dapat dijalankan. Praktisi homeschooling pun semakin bervariasi; dengan berbagai alasan memilih homeschooling dan dengan beragam latar belakang sosial: relijius dan sekuler; kaya, kelas menengah, miskin; kota (urban), pinggiran (suburban), pedesaan (rural). Keluarga praktisi homeschooling memiliki beragam profesi; dokter, pegawai pemerintah, pegawai swasta, pemilik bisnis, bahkan guru di sekolah umum.

4.      Sistem Pendidikan Tinggi di Amerika
Secara umum, kuliah di Amerika Serikat dibagi menjadi dua jenis yakni kuliah dengan ‘model kuliah’, di mana profesor mengajarkan kuliah sepanjang waktu. Kedua, ‘model seminar’ di mana sebagian besar kelas dikhususkan untuk berdiskusi. Partisipasi mahasiswa di kelas akan menyumbangkan persentase untuk nilai akhir. Ini berlaku untuk semua kelas, termasuk model kuliah dan seminar.
Dan secara khusus, akan ada tugas sepanjang semester yang harus kamu jalani. Tugas menyumbangkan poin cukup besar untuk nilai akhirmu. Di Amerika, nilai ujian akhir semester memang tidak memiliki porsi besar. Lantas, apa saja hal yang menonjol jika menjalani kuliah di Amerika Serikat?
Beberapa mata kuliah mewajibkan kamu mengerjakan tugas berupa tulisan ilmiah setiap minggu sementara yang lainnya berupa tugas kelompok. Selain itu, ada juga presentasi di kelas atau penelitian yang dilakukan sendiri untuk membuktikan hipotesa yang kamu ketahui. Tugas-tugas yang kamu kerjakan merupakan salah satu komponen yang masuk dalam nilai akhir.
Banyak profesor di Amerika memperhatikan interaksi kamu di kelas. Interaksi yang dinilai adalah seberapa banyak kamu menyampaikan pendapat dan berkontribusi saat diskusi di kelas. Bahkan beberapa program pascasarjana memasukkan partisipasi di kelas dalam penilaian akhir sebesar 25 persen. Karena itu, kamu harus aktif dan berpartisipasi saat diskusi kelas, dari awal hingga berakhirnya diskusi.
Salah satu alasan diskusi kelas menjadi poin penting dalam penilaian adalah karena diskusi menunjukkan pemahaman kamu mengenai materi kuliah. Bagi para dosen di Amerika, memahami materi akan diganjar nilai lebih tinggi ketimbang kemampuan untuk menghafal materi.
Salah satu mahasiswa internasional, Nick mengaku bahwa diskusi di kelas seperti sastra. Meski kelas berakhir, tidak ada pertanyaan yang terjawab. Pada akhirnya, tidak peduli apakah kita harus mendapat kesimpulan. Kelebihannya terletak pada proses berpikir kritis tiap mahasiswa untuk menguji banyak pendapat yang berbeda.
Pendidikan tinggi Amerika cenderung menekankan eksplorasi intelektual. Banyak perguruan tinggi yang memungkinkan kamu untuk mengambil mata kuliah di luar spesialisasi. Secara khusus, mahasiswa didorong untuk mengambil mata kuliah yang tidak ada hubungannya dengan jurusan mereka.
Di Amerika, menjiplak merupakan masalah besar. Banyak dosen dan profesor di Amerika yang sangat memperhatikan keaslian dari tugas yang kamu kerjakan. Menyalin dari sumber lain, bahkan dengan niat baik, dapat membuat kamu dihukum atau dikeluarkan dari sekolah. Bahkan, dalam sebuah kasus yang aneh, menyalin dari tugas yang pernah kamu kerjakan, dapat menjadi alasan untuk menghukum kamu. Jadi, jujurlah dengan tugasmu.
















DAFTAR RUJUKAN
Artikelsiana. 2015 Pengertian Kurikulum, Fungsi, dan Komponen. (Online), http://www.artikelsiana.com/2015/02/pengertian-kurikulum-fungsi-komponen.html  Diakses 20 September 2015
Departemen Pendidikan Nasional Badan Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2007. Naskah Akademik Kajian Kebijakan Kurikulum Kesetaraan Pendidikan Dasar. Jakarta: Diknas.
Hurlock, Elizabeth. 1980. Developmental Psychology diterjemahkan oleh Istiwidayanti dan Soedjarwo. Jakarta: Erlangga
Kurniasih dan Syaripudin, Tatang. 2007. Landasan Filosofis Pendidikan dan landasan Pendidikan. Bandung: Sub Koordinator MKDP Landasan Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
Mudyahardo, Redja. 2001. Landasan-Landasan Filosofis Pendidikan. Bandung: Fakultas Ilmu Pendidikan UPI
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 77 Tahun 2009 mengenai kejar paket
Petunjuk Teknis Bantuan Langsung Kejar Paket A, 2009.
Riyana.Cepi. 2008. Studi Perbandingan Kurikulum China, Jepang, Indonesia. (Tidak diterbitkan)
Saeful, Ari. 2014. Komponen Kurikulum Menurut Para Ahli. (Online),  http://www.kurikulum.info/2014/12/komponen-kurikulum-menurut-para-ahli.html diakses 20 September 2015

Santrock, John W. 2002. Life Span Development diterjemahkan oleh Damanik, Juda. Jakarta: Erlangga
Setiawan, Putra. 2015. Definisi Kurikulum. (Online), http://www.gurupendidikan.com/20-pengertian-kurikulum-menurut-para-pakar/ Diakses 14 September 2015.
Sukmadinata, Nana Syaodih. 1997. Pengembangan Kurikulum. Bandung: Remaja Rosdakarya
Sumardiono. 2007a. Apa itu Homeschooling. (Online), (www.sumardiono.com). Diakses tanggal 17 September 2015
Suyitno, Y. 2007. Landasan Psikologis Pendidikan dalam Landasan Pendidikan. Bandung: Sub Koordinator MKDP Landasan Pendidikan Universitas Pendidikan Indonesia
Tilaar, H.A.R. 2002.  Membentuk Pendidikan Nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tirtarahardja, Umar dan Sula, La. 2000. Pengantar Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Tim pengembang MKDP kurikulum dan pembelajaran, (2011/03)
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: Sinar Grafika
UU No.20 Tahun 2003 Tentang SIKDIKNAS.
Daulay, Putra, Haidar. 2004.  Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, Jakarta: Pranada Media.
Winarno Hami Seno. 1990. Petunjuk Pelaksanaan Proses  Bela­jar Mengajar. ,Jakarta: Depdikbud RI.
Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston: Allyn and Bacon.
Yusuf, Syamsu. 2005. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung: Remaja Rosdakarya.
www.pangisyarwi.com/index.php?option=com_content&view=article&id=147:comperative-sistem-pendidikan-jepang-dengan-indonesia-tulisan-bagian-kedua&catid=2&Itemid=109
www.tripod.com


Tidak ada komentar :

Posting Komentar