FILSAFAT KOGNITIVISME DAN KONSTRUKTIVISME

1 komentar
FILSAFAT KOGNITIVISME DAN KONSTRUKTIVISME

Untuk memenuhi tugas matakuliah
Filsafat dan Didaktik Fisika
yang dibina oleh Ibu Lia Yuliati











UNIVERSITAS NEGERI MALANG
FAKULTAS PASCASARJANA
PRODI S2 PENDIDIKAN FISIKA
OKTOBER 2015
 
 
 
 
 
 
1.1 Filsafat Kognitivisme (Phylosophy of Cognitivism)
A. Latar Belakang
Istilah “Cognitive” berasal dari kata cognition artinya adalah pengertian, mengerti. Pengertian secara luas yaitu cognition (kognisi) adalah perolehan, penataan, dan penggunaan pengetahuan (Neisser, 1976). Kognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan saraf pada waktu manusia sedang berpikir (Gagne dalam Jamaris, 2006). Istilah kognisi digunakan oleh filsuf untuk mencari pemahaman terhadap cara manusia berpikir. Karya Plato dan Aristoteles  telah memuat topik tentang kognisi karena salah satu tujuan filsafat adalah memahami segala gejala alam melalui pemahaman manusia itu sendiri. Menurut Kathy L. Schuh dan Sasha A. Barab, kognitivisme adalah sebuah objektivis dan perspektif rasionalis berkaitan dengan struktur kognitif individu. Kerangka kerja atau dasar pemikiran dari kognitivisme adalah dasarnya rasional. Pengetahuan seseorang diperoleh berdasarkan pemikiran. Inilah yang disebut dengan filosofi Rasionalism.
Kognitivisme mengacu pada studi tentang pikiran dan bagaimana memperoleh, memproses dan menyimpan informasi ( Stavredes, 2011). Kognitivisme berusaha menjelaskan dalam belajar bagaimana orang-orang berpikir, karena dalam belajar suatu proses lebih penting dibanding dengan hasil belajar, sehingga belajar melibatkan proses berpikir yang kompleks. 
Abad ke 20 telah menjadi masa yang paling bergejolak dalam dunia psikologi. Abad di mana disiplin bergulat dengan pertanyaan dasar tentang identitas intelektualnya, tetapi tetap berhasil mencapai pertumbuhan dan pematangan  yang menabjubkan. Hal inilah yang kemudian menjadikan psikologi menjadi hal yang menarik perhatian filosofis dan kaya akan perdebatan filosofis. Para filsuf berusaha untuk menemukan implikasi dari temuan psikologis dan teori-teori untuk pertanyaan filosofis yang lebih luas seperti: Apakah manusia benar-benar berahi yang rasional? Bagaimana sesuatu yang mudah dibentuk adalah sifat manusia? Dan apakah kita memiliki pengetahuan bawaan atau ide bawaan? Satu fakta khusus yang penting tentang filsafat psikologi di abad ke-20 adalah bahwa  pada kuartal terakhir abad, perbedaan antara psikologi dan filsafat psikologi mulai ditiadakan seperti filsuf memainkan peran yang semakin aktif dalam mengartikulasikan dan menguji teori empiris tentang pikiran dan psikolog menjadi semakin tertarik dengan dasar-dasar filosofis dan implikasi dari pekerjaan mereka.
Kognitivisme, muncul dengan revolusi kognitif selama tahun 1950-an, yang menekankan fokus baru pada pikiran. Seperti yang dikemukakan oleh Bruner, “revolusi dimaksudkan untuk membawa “pikiran” kembali ke ilmu-ilmu manusia setelah masa yang panjang dari objektivisme.” Mereka tidak melakukan ‘reformasi’ behaviorisme, tetapi untuk menggantinya. Teori ini merupakan tanggapan terhadap behaviorisme. Dikatakan bahwa tidak semua belajar terjadi melalui pembentukan dan perubahan perilaku. Dalam teori ini, siswa adalah peserta aktif dalam pembelajaran mereka dan fungsi pikiran seperti prosesor komputer. Informasi datang sebagai masukan, pikiran memproses informasi untuk saat ini, dan informasi yang disimpan akan diambil nanti ( Learning Theories, 2011b ). Belajar dibentuk oleh strategi yang diperoleh pembelajaran dan pengetahuan dan sikap yang disebut skema .
Mungkin tidak ada tokoh yang lebih erat terkait dengan kejatuhan psikologis behaviorisme dari Noam Chomsky. Dalam serangkaian karya yang berpengaruh , termasuk 1.965 nya Aspek klasik Teori Sintaksis, Chomsky memulai pendekatan pergantian ke studi bahasa yang menyimpang dari strategi psikologis behaviorisme dalam dua hal penting. Pertama, sementara behavioris berusaha menjelaskan akuisisi semua pola perilaku dengan cara mekanisme pembelajaran hanya beberapa domain umum, Chomsky berpendapat bahwa banyak jenis perilaku atau kapasitas perilaku yang penting adalah bawaan. Chomsky menekan klaim ini bahkan di behavioris penjelasan yang relatif perilaku sederhana pada hewan yang lebih rendah. Misalnya dalam kritik yang mungkin berkembang di masa depan dari Perilaku verbal Skinner, Chomsky mencatat bahwa banyak perilaku hewan, seperti respon menganga dari anak burung yang sedang guam ( spesies burung), tampaknya bawaan dalam arti bahwa perilaku ini muncul awal, andal dan tanpa perlu belajar (Chomsky, 1959).
Karya Chomsky dalam bahasa adalah bagian dari upaya yang lebih luas sudah berlangsung oleh teori lainnya termasuk George Miller dalam psikologi dan John McCarthy, Allan Newell dan Herbert Simon dalam kecerdasan buatan (lihat Gardner 1985). Teori ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan baru dalam logika matematika dan ilmu komputer dan bersama-sama mereka meletakkan dasar untuk alternatif behaviorisme dalam studi pikiran disebut kognitivisme. Kognitivisme tumbuh dari strukturalisme, di mana keadaan mental dipandang sebagai keadaan komputasional dari mesin turing atau sebagai keadaan waktu yang berkembang dari sebuah mesin koneksionis (jaringan syaraf) (Turvey and Shaws, 1995). Fokus ini pada pikiran, di mana pikiran dipandang sebagai sebuah sistem yang memproses informasi sebagaimana dicontohkan oleh metafora/kiasan pikiran sebagai komputer/mesin hitung yang muncul. Dicari pemahaman tentang organisasi, encoding/pengkodean dan pengambilan pengetahuan. 
Kognitivisme telah berkembang dalam empat puluh tahun terakhir dan telah menjadi program penelitian yang berbuah sangat besar. Sebuah prestasi inti kognitivisme adalah bahwa kognitivisme berbicara mengenai mental dan memungkinkan untuk mengembangkan teori dari pikiran bukan hanya perilaku. 
 
B. Kajian Cognitivism Secara Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi
1. Ontologi Cognitivism
Bruner (1990) menyatakan meskipun revolusi kognitif adalah reaksi terhadap masa objektivisme, kognitivisme masih menemukan akar di objektivitas sebagai dasar ontologis. Seperti yang dinyatakan oleh Ertmer dan Newby (1993), behaviorisme dan kognitivisme keduanya terutama objektif dan dunia nyata dan eksternal ke pelajar. Kognitivisme mempertahankan tampilan ontologis objektivis didunia, sehingga memiliki beberapa tujuan desain yang sama sebagai behaviorisme. Bahan dianalisis dan diurutkan, sering secara sederhana dengan jenis kompleks atau organisasi hirarkis (Gagne et al., 1992).
Ontologi dari cognitivism berfokus pada bagaimana cara manusia memperoleh informasi mengenai dunia dan bagaimana pemrosesannya. Bagaimana cara informasi itu disimpan dan diproses oleh otak, bagaimana informasi itu disampaikan dengan struktur penyusunan bahasa dan proses-proses tersebut ditampilkan dengan sebuah perilaku yang dapat diamati dan juga yang tidak dapat diamati. Cognitivism juga mencakup keseluruhan proses psikologis dari sensasi ke persepsi, pengenalan pola, atensi, kesadaran, belajar, memori, formasi konsep, berfikir, imajinasi, bahasa, kecerdasan, emosi dan bagaimana keseluruhan hal tersebut berubah sepanjang hidup (terkait perkembangan manusia) dan bersilangan dengan berbagai bidang perilaku.
2. Epistemologi Cognitivism
Epistimologi membahas secara mendalam segenap proses yang terlihat dalam usaha atau cara untuk memperoleh pengetahuan. Epistemologi cognitivism membahas proses yang terlibat dalam usaha atau cara untuk memperoleh pengetahuan tentang bagaimana manusia memperoleh informasi mengenai dunia dan bagaimana memprosesnya serta bagaimana menyampaikannya. Cara untuk memperoleh pengetahuan dari cognitivism bersumber dari cara yang biasa digunakan oleh peneliti. Beberapa cara tersebut diantaranya mencoba mendeskripsikan fenomena yang terjadi (studi observasi) dan cara lain yang membantu menjelaskan fenomena yang terjadi (eksperimen). Melalui sebuah eksperimen determinan sebab dan akibat dapat ditentukan sehingga metode eksperimen menjadi sebuah cara yang berharga bagi cognitivism.
Karakteristik umum dari sebuah cara memperoleh pengetahuan adalah adanya unit analisis. Unit analisis adalah bahan atau fokus utama dari sebuah studi. Cognitivism menggunakan unit analisis berupa individu perseorangan. 
3. Aksiologi Cognitivism
Kegunaan dari cognitivism diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Kognisi atau proses mental merupakan masalah pokok dalam studi cognitivism. Sehingga dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tak akan lepas dari aspek kognisinya. Contohnya persepsi, atensi terhadap suatu stimulus, ingatan, pengetahuan, dll.
b. Pandangan cognitivism banyak berpengaruh pada bidang-bidang lain. Misalnya dalam psikologi pendidikan (misal fungsi ingatan terhadap prestasi).
 c. Melalui prinsip-prinsip cognitivism, seseorang dapat menangani dan memproses informasi secara efisien dan terorganisasi dengan baik. Dengan memahami cognitivism serta proses-proses yang terkait, manusia menjadi lebih tahu dan mampu menciptakan cara-cara mengolah informasi agar dapat bermanfaat bagi diri sendiri dan lingkungannya secara lebih baik.
Aliran kognitivisme sangat berpengaruh terhadap praktik belajar yang dilaksanakan di sekolah. Aliran ini telah memberikan kontribusi terhadap penggunaan unsur kognitif atau mental dalam proses belajar. Berbeda dengan pandangan aliran behavioristik yang memandang belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus dan respon, aliran kognitif memandang kegiatan belajar bukanlah sekedar stimulus dan respon yang bersifat mekanistik, tetapi lebih dari itu, kegiatan belajar juga melibatkan kegiatan mental yang ada di dalam diri individu yang sedang belajar. Oleh karena itu, menurut aliran kognitif, belajar adalah sebuah proses mental yang aktif untuk mencapai, mengingat, dan menggunakan pengetahuan. Sehingga perilaku yang tampak pada manusia tidak dapat diukur dan diamati tanpa melibatkan proses mental seperti motivasi, kesengajaan, keyakinan, dan lain sebagainya (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 88).
Menurut perspektif cognitivism, belajar pada asasnya adalah peristiwa mental, bukan peristiwa behavioral (yang bersifat jasmaniah) meskipun hal-hal yang bersifat behavioral tampak lebih nyata dalam hampir setiap peristiwa belajar siswa. Secara lahiriah, seorang anak yang sedang belajar membaca dan menulis, misalnya, tentu menggunakan perangkat jasmaniah (dalam hal ini mulut dan tangan) untuk mengucapkan kata dan menggoreskan pena. Akan tetapi, perilaku mengucapkan kata-kata dan menggoreskan pena yang dilakukan anak tersebut bukan semata-mata respons atas stimulus (rangsangan) yang ada, melainkan yang lebih penting karena dorongan mental yang diatur oleh otaknya (Syah, 1999: 111).
Berdasarkan penjelasan di atas, bukan berarti aliran cognitivism ini menentang aliran behaviorism. Hanya saja, menurut pandangan cognitivism, aliran behaviorism tidak lengkap, sebab tidak memperhatikan proses kejiwaan yang berdimensi ranah cipta seperti berpikir, mempertimbangkan pilihan dan mengambil keputusan. Selain itu, aliran behaviorism juga tidak mau tahu urusan ranah rasa.
Teori-teori belajar berdasarkan aliran cognitivism diantaranya teori gestalt, teori medan, teori perkembangan Piaget, teori belajar bermakna Ausubel dan teori kognitif Bandura.
Teori Gestalt. Tokoh dari teori ini yaitu Max Wertheimer, Wolfgang Kohler, dan Kurt Koffka. Mereka tidak puas dengan teori sebelumnya yaitu belajar sebagai proses stimulus dan respon. Penelitian mereka menekankan pada persepsi, yaitu manusia sebagai makhluk yang utuh rohani dan jasmaninya sehingga dalam interaksi terhadap lingkungan, manusia melibatkan kedua unsur tersebut (Baharuddin & Wahyuni, 2007: 88). Belajar adalah proses mengembangkan insight (wawasan, pengertian/pengetahuan) yaitu pemahaman terhadap hubungan antar bagian di dalam suatu situasi permasalahan.
Teori Medan. Dikembangkan oleh Kurt Lewin. Menurut teori ini, individu selalu berada dalam suatu medan atau ruang hidup, yang digambarkan sebagai berikut.
 
 
 
 
Berdasarkan gambar tersebut, kaitannya dengan proses belajar yaitu sebagai proses pemecahan masalah yang diantaranya:
a) Belajar adalah perubahan struktur kognitif. Setiap orang akan dapat memecahkan masalah jika ia bisa mengubah struktur kognitif. 
b) Pentingnya motivasi. Motivasi adalah faktor yang dapat mendorong setiap individu untuk berperilaku. Motivasi ini dapat berasal dari dalam (intern) dan dari luar (ektern).
Teori Perkembangan Piaget. Jean Piaget mengemukakan bahwa ada tahap-tahap yang harus dilalui seorang dalam mencapai tingkatan perkembangan proses berpikir formal. Teori ini sangat besar pengaruhnya dalam bidang pendidikan. Tahap-tahapnya adalah sebagai berikut.
a. Tahap sensorimotor (0 -2 tahun)
b. Tahap pra-operasional (2-7 tahun)
c. Tahap operasional konkrit (7 – 11 tahun)
d. Tahap operasional formal (> 11 tahun)
Kaitannya dengan proses belajar, Piaget membagi proses belajar menjadi tiga tahapan, yaitu asimilasi, akomodasi, dan equilibrasi. Asimilasi adalah proses penyatuan (pengintegrasian) informasi baru ke struktur kognitif yang sudah ada dalam benak peserta didik. Akomodasi adalah proses penyesuaian struktur kognitif dalam situasi yang baru. Sedangkan equilibrasi adalah proses penyesuaian berkesinambungan antara asimilasi dan akomodasi.
Teori Belajar Bermakna Ausubel. Dalam belajar bermakna, terdapat dua komponen penting, yaitu bahan yang dipelajari dan struktur kognitif yang ada pada individu. Struktur kognitif ini adalah jumlah, kualitas, kejelasan dan pengorganisasian dari pengetahuan yang sekarang dikuasai oleh individu. Agar tercipta belajar bermakna, maka bahan yang dipelajari harus mempunyai makna, artinya bahan pelajaran hendaknya dihubungkan dengan struktur kognitif secara substansial dan dengan beraturan (Sukmadinata, 2007: 188).
 
C. Implikasi Cognitivism Terhadap Pembelajaran
Dalam lingkungan kelas, ada banyak variabel yang mempengaruhi dan berkontribusi dalam pembelajaran. Ketika membuat dan menerapkan lingkungan pembelajaran, sangat penting bahwa guru tidak hanya membuat pengaturan yang memajukan/mengembangkan pembelajaran, tetapi juga menyediakan waktu untuk memahami setiap anak. Ruang kelas yang luas sangat beragam dan kompleks. Siswa belajar dengan cara berbeda dan di berbagai tingkatan perkembangan. Guru yang baik harus mengelola kelas mereka dan membangun harapan akan dapat menggabungkan filosofi pengajaran beragam dan menciptakan lingkungan belajar yang sangat baik untuk setiap siswa. 
Penting bahwa guru menciptakan lingkungan belajar yang mendorong siswa untuk melakukan yang terbaik dan membuat pembelajaran yang menarik. Hal ini menciptakan suasana motivasi dalam kelas. Ada dua faktor yang sangat penting untuk memotivasi siswa, nilai dan usaha. (Manajemen Kelas) Siswa harus memahami bahwa pekerjaan mereka melakukan berharga. Nilai mengukur pentingnya pekerjaan siswa untuk dirinya dan orang lain. Usaha adalah jumlah waktu dan energi siswa dimasukkan ke dalam pekerjaan mereka. Memahami nilai tugas akademik dan usaha yang diperlukan untuk menyelesaikan tugas-tugas dapat memotivasi siswa untuk tampil lebih baik di lingkungan kelas.
Kognitivisme cocok baik untuk pemecahan masalah, di mana konsep-konsep yang kompleks dan harus dipecah menjadi bagian yang lebih kecil. Ide dan konsep dari masalah ini terkait dengan pengetahuan sebelumnya, yang pada gilirannya membantu pelajar mengembangkan pemahaman yang lebih kuat ( Stavredes , 2011). Kelebihan: struktur terorganisir untuk belajar : informasi masuk dan diproses ke dalam memori jangka pendek sebelum disimpan jauh dalam memori jangka panjang . Ketika masalah dipecah menjadi bagian yang lebih kecil , peserta didik tidak kewalahan dengan informasi yang masuk dan punya waktu untuk memproses bit yang lebih kecil. Kelemahan : Karena belajar sangat terstruktur , mungkin menjadi sulit untuk beradaptasi dengan perubahan apa yang telah diproses dan dipelajari .
Pengembangan kognitif yang di Implikasikan di Kelas (Teori Piaget)
·         Guru harus berhati-hati saat menilai tahap perkembangan kognitif anak dan hanya memberikan tugas yang anak siapkan. Anak kemudian dapat diberi tugas yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan memotivasi mereka.
·         Guru harus memberikan anak-anak kesempatan belajar yang memungkinkan mereka untuk maju melalui setiap tahap perkembangan. Hal ini dicapai dengan menciptakan ketidakseimbangan. Guru harus menjaga keseimbangan yang tepat antara aktif membimbing anak dan memungkinkan kesempatan bagi mereka untuk mengeksplorasi hal-hal pada mereka sendiri untuk belajar melalui penemuan.
·         Guru harus peduli dengan proses belajar daripada produk akhir. Misalnya, guru harus mengamati cara anak memanipulasi suatu alat daripada berkonsentrasi pada bentuk jadi dengan kata lain penilaian formatif lebih besar dibanding penilaian suamtif.
·         Anak-anak harus didorong untuk belajar dari satu sama lain. Mendengar orang lain dapat membantu pemecahan egosentrisme. Hal ini penting bagi guru untuk menyediakan beberapa peluang untuk kegiatan kelompok kecil.
·         Piaget percaya bahwa guru harus bertindak sebagai panduan untuk proses belajar anak-anak dan bahwa kurikulum harus disesuaikan dengan kebutuhan individu dan tingkat perkembangan.
 
Contoh Permainan Kognitif di Kelas
Permainan kognitif dirancang untuk membantu merangsang berbagai daerah otak . Game ini digunakan untuk meningkatkan refleks , membantu orang belajar , pengembangan berpikir kritis dan membantu orang belajar dengan pola yang berbeda dari asosiasi . Permainan kognitif yang membantu ketika digunakan untuk belajar bahasa asing dan menghafal materi baru. Berbagai teknik pembelajaran yang digunakan di dalam kelas karena ada berbagai gaya belajar . Ada banyak game yang mengembangkan dan mempengaruhi pembelajaran kognitif .

 

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 


Website pendidikan dan Game Komputer
Kebanyakan game komputer situs pendidikan fokus untuk merangsang indera anak dengan melibatkan mereka dalam berbagai tugas kognitif . Berikut adalah tiga dari banyak situs pembelajaran yang tersedia untuk meningkatkan perkembangan kognitif pada anak-anak .
Dalam pembelajaran fisika, kita dapat membuat selftest berbantuan powerpoint, flashplayer, swishmax, delphi, dsb.
 
 
Menyortir Game
Menyortir game mengharuskan individu untuk memanfaatkan pengenalan dan penalaran . Guru dapat melibatkan anak-anak dalam permainan di mana anak-anak mengurutkan item dengan berbagai kriteria, seperti warna, ukuran, tekstur , dan atribut fisik lainnya dari item . Pendekatan yang lebih canggih untuk menyortir membahas bagaimana item serupa. Proses ini mendorong pemikiran kritis. 
Permainan papan
Guru dapat memasukkan permainan papan dalam  kelas mereka untuk mengembangkan perkembangan kognitif. Tidak seperti komputer dan video game, permainan papan adalah nyata . Anak-anak dapat memanipulasi bagian yang berbeda dalam permainan. Permainan papan dapat diimplementasikan untuk meningkatkan kemampuan matematika dan linguistik dan meningkatkan kemampuan anak untuk memahami dan mengikuti arah . Monopoli dan Bingo adalah dua contoh dari game yang dapat dipertimbangkan di dalam kelas .
Puzzle
 Menemukan solusi untuk teka-teki dapat mengembangkan kemampuan pemecahan masalah anak. Teka-teki membutuhkan seorang anak untuk mempertimbangkan pola, perintah dan asosiasi. Beberapa anak merupakan pemecah masalah dan teka-teki yang lebih baik daripada yang lain . Anak-anak yang aktif memecahkan teka-teki bahwa mereka mampu menghubungkan dan mengumpulkan lebih mungkin untuk memahami konsep-konsep tertentu dan mengembangkan teori-teori mereka sendiri tentang konsep-konsep.
 
 
 
 
 
 
 
1.2 Filsafat Konstruktivisme (Philosophy of Constructivism)
Von Glaserfeld menuturkan, Konstruktivisme adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan adalah bentukan (konstruksi) kita sendiri (Suparno, 2012:18). Konstruktivisme adalah suatu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan telah ditangkap manusia adalah konstruksi (bentukan) manusia itu sendiri (Matthews, 1994 dalam Suparno, 1997). Sementara menurut Doolitle dan Camp (1999) inti dari konstruktivisme adalah aktif memahami dan membangun pengetahuan sendiri berdasar pengalamannya. Fosnot menyatakan konsep bahwa peserta didik membangun pengetahuan berdasar pengalaman dinamakan konstruktivisme. Pengetahuan bukanlah kenyataan ontologis. Kita tidak dapat mengerti realitas (kenyataan) yang sesungguhnya. Yang kita mengerti, bila boleh disebut suatu realitas, adalah sktruktur konstruksi kita akan suatu objek. Realitas hanya ada sejauh berhubungan dengan pengamat. Pengetahuan merupakan konstruksi dari kita yang mengetahui, yang sedang belajar. Realitas tidak akan eksis selama berdiri sendiri, realitas akan dipahami ada bila berhubungan dengan pengamat.
Maka pengetahuan bukanlah tentang dunia lepas dari pengamatan tetapi merupakan ciptaan manusia yang dikonstruksikan dari pengalaman ataudunia sejauh yang dialaminya. Jean Piaget menyatakan bahwa pengetahuan konseptual tidak dapat ditransfer dari seseorang ke orang lainnya, melainkan harus dikonstruksi oleh setiap orang berdasar pengalaman mereka sendiri. Menurut von Glaserfeld, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang mempunyai pengetahuan (guru) ke pikiran orang yang belum punya pengetahuan (peserta didik). Bahkan bila guru bermaksud untuk mentransfer konsep, ide dan pengertiannya kepada peserta didik, pemindahan itu harus diinterpretasikan dan dikonstruksikan oleh peserta didik sendiri dengan pengalaman mereka (Suparno, 2012:20). 
Von Glaserfeld membedakan tiga level konstruktivisme dalam kaitan hubungan pengetahuan dan kenyataan, yakni konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan konstruktivisme yang biasa (Suparno, 2012:25). Konstruktivisme radikal, pengetahuan adalah suatu pengaturan atau organisasi dari suatu obyek yang dibentuk oleh seseorang. Mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai kriteria kebenaran. Kita hanya tahu apa yang dikonstruksi oleh pikiran kita. Pengetahuan bukanlah representasi kenyataan. Realisme hipotesis, pengetahuan sebagai suatu hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan sedang berkembang menuju pengetahuan yang sejati yang dekat dengan realitas. Konstruktivisme yang biasa, pengetahuan sebagai suatu gambaran yang dibentuk dari kenyataan suatu objek. 
Von Glaserfeld menyebutkan beberapa kemampuan yang diperlukan untuk proses pembentukan pengetahuan itu, seperti (1) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (2) kemampuan membandingkan dan mengambil keputusan akan kesamaan dan perbedaan, dan (3) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalaman yang satu daripada yang lain (Suparno, 2012:20).
Menurut Jean Piaget, 1970 (dalam Suparno, 1997) membedakan dua aspek berpikir dalam pembentukan pengetahuan, yaitu; (1) aspek figuratif, dan (2)aspek operatif. Aspek berfikir figuratif adalah imajinasi keadaan sesaat dan statis yang meliputi suatu persepsi, imajinasi, dan gambaran mental seseorang terhadap obyek atau fenomena. Aspek berfikir operatif lebih berkaitan dengan transformasi dari suatu tingkatan ke tingkatan lain. Setiap tingkat keadaan dapat dimengerti sebagai akibat dari transformasi tertentu atau sebagai titik tolak bagi transformasi lain. Dengan demikian aspek yang lebih penting dari berfikir adalah aspek operatif sebab memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari satu tingkatan tertentu ke tingkatan yang lebih tinggi.
Pentingnya melakukan konstruksi mengenai pengetahuan bertujuan untuk mengetahui sesuatu bukan untuk menemukan realitas. Dengan kata lain mengkonstruksikan pengetahuan yang sesuai dengan pengalaman hidup manusia sehingga dapat digunakan bila berhadapan dengan tantangan danpengalaman-pengalaman baru (Shapiro, 1994 dalam Suparno, 1997). Pembentukan pengetahuan bukanlah memiliki kebebasan tanpa batas melainkan terdapat pembatas yang membingkai pembentukan pengetahuan tersebut. Bettencourt menyebutkan beberapa hal yang dapat membatasi proses konstruksi pengetahuan, yaitu (1) konstruksi yang lama, (2) domain pengalaman kita, dan (3) jaringan struktur kognitif kita (Suparno, 2012:22). Belajar: peran peserta didik diutamakan dan keaktifan peserta didik untuk membentuk pengetahuan dinomorsatukan. Pelajar aktif membina pengetahuan berasaskan pengalaman yang sudah ada, dengan cara membandingkan informasi baru dengan pemahamannya yang sudah ada. Bahan pengajaran perlu mempunyai perkaitan dengan pengalaman pelajar untuk menarik minat pelajar. Paham yang memiliki sifat generatif ini memandang manusia dapat mengetahui sesuatu dengan inderanya. Pengetahuan bukan sesuatu kenyataan ontologis, dan tidak dapat ditransfer, melainkan pemindahan pengetahuan harus dinterpretasikan dan dikonstruksi oleh setiap orang berdasar pengalaman yang dimikili mereka sendiri. Pembentukan pengetahuan pun bukan tanpa batas melainkan memiliki pembatas yang menjadi bingkai pemebentukan pengetahuan.
Gagasan konstruktivisme terhadap pengetahuan dapat dirangkum sebagaiberikut: (1)pengetahuan bukanlah merupakan gambaran dunia nyata belaka,tetapi selalu merupakan konstruksi kenyataan melalui subyek. (2) Subyek membentuk skema kognisi, kategori, konsep, dan struktur yang perlu untuk pengetahuan. (3) Pengetahuan dibentuk dalam struktur konsepsi seseorang. Struktur konsepsi membentuk pengetahuan bila konsepsi itu berlaku dalam berhadapan dengan pengalaman-pengalaman seseorang (von Glasersfeld dan Kitchener, 1987 dalam Suparno, 1997).
Kebenaran dalam Filsafat Konstruktivisme
Pengetahuan yang telah kita miliki selama ini bukanlah realitas dalam arti umum. Dalam filsafat konstruktivisme menyatakan bahwa manusia tidak pernah dapat mengerti realitas yang sesungguhnya secara ontologis. Adapun yang dimengerti oleh manusia adalah struktur konstruksi kita akan sesuatu obyek. Dengan demikian para ahli konstruktivisme tidak bertujuan untuk mengerti realitas, tetapi lebih melihat bagaimana manusia menjadi tahu akan sesuatu.
Paham ilmu pengetahuan mengatakan bahwa suatu pengetahuan dianggap benar apabila pengetahuan itu sesuai dengan kenyataannya. Dengan kata lain, orang dapat membuktikan pengetahuan yang dimiliki tentang sesuatudengan cara membandingkan dengan realitas ontologis-nya. Sedangkan para penganut ajaran kontruktivisme berpendapat kebenaran itu bila ilmu pengetahuan telah teruji dengan memiliki viabilitas yaitu kemampuan suatukonsep atau pengetahuan dalam operasionalnya. Dalam istilah sederhana dikatakan bahwa suatu pengetahuan yang dikonstruksikan dikatakan benar bila dapat digunakan dalam menghadapi macam-macam fenomena danpersoalan yang berkaitan dengan pengetahuan tersebut.
Kajian Ontologi, epistemologi dan aksiologi dari konstruktivisme adalah sebagai berikut.
  • Ontologi
Asumsi ontologis pada paradigma konstruktivisme adalah besifat relatif. Tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan secara tuntas oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas sosial dari suatu masalah yang diteliti merupakan realitas sosial buatan yang memiliki unsur relativitas yang cukup tinggi dan berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial.
Dalam penjelasan ontologi paradigma konstruktivis, realitas merupakan konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu. Realitas itu ada dalam bentuk konstruksi mental yang bermacam-macam, berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik, tergantung pada orang yang melakukannya.Namun demikian kebenaran suatu realitas sosial bersifat tidak mutlak/bergantung yang memandang, yang berlaku sesuai konteks spesifik yang dinilai relevan oleh pelaku sosial (Hidayat, 1999 : 39). Individu bukanlah manusia korban fakta sosial, namun mesin produksi sekaligus reproduksi yang kreatif dan mengkonstruksi dunia sosialnya (Bungin, 2001: 8).
  • Epistemologi
Paradigma konstruktivisme bersifat subjektif dan transaksional. Pemahaman tentang suatu realitas atau temuan merupakan suatu produk interaksi antara peneliti dengan yang diteliti. Dalam mengungkap suatu kebenaran, peneliti dan objek penelitiannya berhubungan secara interaktif, sehingga fenomena dan pola-pola keilmuan dapat dirumuskan dengan memperhatikan gejala hubungan yang terjadi di antara keduanya. Karena itu, hasil rumusan ilmu yang dikembangkan dengan sangat subjektif. Hal tersebut sesuai dengan salah satu kutipan dari pernyataan yang disampaikan oleh Glaser dan Strauss (1967) yaitu going directly to the real world to look what emerges.
  • Aksiologi
Paradigma konstruktivisme menganggap bahwa nilai, etika, dan pilihan moral merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam suatu penelitian. Peneliti di sini bertindak sebagai passionate participant, yaitu fasilitator yang menjembatani keragaman subjektivitas pelaku social. Di mana tujuan penelitiannya adalah rekonstruksi realitas social secara dialektik antara peneliti dengan aktor social yang diteliti.
Sementara dalam aspek metodologis, konstruktivisme menentang penelitian yang dilakukan di laboratorium. Penelitian harus dilakukan di alam bebas, dalam kondisi wajar, dan tidak ada unsur campur tangan dari peneliti. Sederhananya, penelitian disetting dalam konteks yang alamiah. Data yang ada dan ditemukan di lapangan akan ”memunculkan” teori, bukan dibuat sebelumnya dengan menggunakan hipotesis seperti pada penelitian kuantitatif.
Implikasi Konstruktivisme dalam Pembelajaran
Bagi kaum konstruktivis, belajar adalah proses mengkonstruksi pengetahuan. Proses konstruksi itu dilakukan secara pribadi dan sosial. Proses ini adalah proses aktif, sedangkan mengajar bukanlah memindahkan pengetahuan dari guru ke siswa, melainkan suatu kegiatan yang memungkinkan siswa membangun sendiri pengetahuannya. Mengajar berarti partisipasi dengan siswa dalam membentuk pengetahuan, membuat makna, mencari kejelasan, dan bersikap kritis. Jadi mengajar adalah suatu bentuk belajar sendiri. Penggunaan pendekatan konstruktivisme dalam pembelajaran akan membawa implikasi sebagi berikut:
a. Isi Pembelajaran
Dalam pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme, guru tidak dapat menentukan secara spesifik isi atau bahan yang harus dipelajari oleh siswa, tetapi hanya sebatas memberikan rambu-rambu bahan pembelajaran yang sifatnya umum. Proses penyajian dimulai dari keseluruhan ke bagian-bagian, bukan sebaliknya. Mengingat aliran konstruktivisme lebih mengutamakan pemahaman terhadap konsep-konsep besar, maka konsep tersebut disajikan dalam konteksnya yang actual yang kadang-kadang kompleks. Siswa perlu didorong agar ia tidak takut pada hal-hal yang komplek. Siswa perlu memahami bahwa hal-hal yang kompleks akan memberikan tantangan untuk diketahui dan dipahami.
Dalam belajar secara konstruktivis, siswa harus membentuk pengertian dari berbagai sudut pandang, maka dalam proses belajarnya tidak bisa dipisahkan dengan dunia riil dan informasi dari berbagai sumber. Di kelas siswa harus dimotivasi untuk mencari sudut pandang baru dan mempertimbangkan sumber data alternatif.
b. Tujuan Pembelajaran
Tugas guru dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivisme adalah membantu siswa untuk membangun pengetahuannya sendiri melalui proses internalisasi, pembentukan kembali, dan transformasi informasi yang telah diperolehnya menjadi pengetahuan baru. Transformasi terjadi kalau ada pemahaman (understanding), sedangkan pemahaman terjadi sebagai akibat terbentuknya struktur kognitif baru dalam pikiran siswa. Pemahaman terjadi kalau terjadi proses akomodasi atau perubahan paradigma dalam pikiran siswa.
Berlandaskan teoritik, tujuan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan konstruktivisme adalah membangun pemahaman. Pemahaman dinilai penting, karena pemahaman akan memberikan makna kepada apa yang dipelajari. Karena itu tekanan belajar bukanlah untuk memperoleh atau menemukan lebih banyak, akan tetapi yang lebih penting adalah memberikan interpretasi melalui skema atau struktur kognitif yang berbeda.
c. Strategi Pembelajaran
Tugas guru adalah membantu agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuannya sesuai dengan situasi konkrit, maka strategi pembelajaran yang digunakan perlu disesuaikan dengan kebutuhan dan situasi siswa. Guru tidak dapat memastikan strategi yang digunakan, yang dapat hanya sebatas tawaran dan saran. Dalam hal ini teknik dan seni yang dimiliki guru ditantang untuk mengoptimalkan pembelajaran.
Pendekatan konstruktivisme mementingkan pengembangan lingkungan belajar yang meningkatkan pembentukan pengertian dari perspektif ganda, dan informasi yang efektif atau kontrol eksternal yang teliti dari peristiwa-peristiwa siswa yang ketat, dihindari sama sekali. Untuk maksud tersebut, guru perlu melakukan hal-hal berikut: (1) menyajikan masalah-masalah aktual kepada siswa dalam konteks yang sesuai dengan tingkat perkembangan siswa, (2) pembelajaran distrukturkan di sekitar konsep-konsep primer, (3) memberi dorongan kepada siswa untuk mengajukan pertanyaan sendiri, (4) memberikan siswa untuk menemukan jawaban dari pertanyaan sendiri, (5) memberanikan siswa mengemukakan pendapat dan menghargai sudut pandangnya, (6) menantang siswa untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam, bukan sekedar menyelesaikan tugas, (7) menganjurkan siswa bekerja dalam kelompok, (8) mendorong siswa untuk berani menerima tanggung jawab, dan (9) menilai proses dan hasil belajar siswa dalam konteks pembelajaran.
d. Penataan Lingkungan Belajar
Penataan lingkungan belajar berdasar pendekatan konstruktivistik diidentifikasikan dengan alternatif sebagai berikut; (1) menyediakan pengalaman belajar melalui proses pembentukan pengetahuan dimana siswa ikut menentukan topik/sub topik yang mereka sikapi, metode pembelajaran beriku tstrategi pembelajaran yang dipergunakan, (2) menyediakan pengalaman   belajar yang kaya akan alternatif seperti peninjauan masalah dari berbagai segi, (3) mengintegrasikan proses belajar dengan konteks yang nyata dan relevan dengan harapan siswa dapat menerapkan pengetahuan yang didapat dalam hidup sehari-hari, (4) memberikan kesempatan pada siswa untuk menentukan isi dan arah belajar mereka dengan menempatkan guru sebagai konsultan, (5) peningkatan interaksi antara guru dengan siswa dan antar siswa sendiri, (6) meningkatkan penggunaan berbagai sumber belajar disamping komunikasi tertulis dan lisan, (7) meningkatkan kesadaran siswa dalam proses pembentukan pengetahuan mereka agar siswa mampu menjelaskan mengapa/bagaimana mereka memecahkan masalah dengan cara tertentu.
e. Hubungan Guru-Siswa
Dalam aliran kostruktivisme, guru bukanlah seseorang yang maha tahu dan siswa bukanlah yang belum tahu, karena itu harus diberi tahu. Dalam proses belajar, siswa aktif mencari tahu dengan membentuk pengetahuannya, sedangkan guru membantu agar pencarian itu berjalan baik. Dalam banyak hal guru dan siswa bersama-sama membangun pengetahuan. Dalam hal ini hubungan guru dan siswa lebih sebagai mitra yang bersamasama membangun pengetahuan.
Untuk mengidentifikasi sejumlah karakteristik hubungan guru-siswa dalam pembelajaran dengan pendekatan konstruktivistik berikut ini: (1) hubungan antara guru dengan siswa diupayakan terjadi secara optimal, (2) pembelajaran perlu difokuskan pada kemampuan siswa untuk menguasai konsep dan mengutarakan pandangannya, (3) evaluasi siswa terintegrasi dalam proses belajar mengajar melalui observasi terhadap siswa yang umumnya bekerja dalam kelompok, (4) aktivitas siswa lebih ditekankan pada pengembangan generalisasi dan demonstrasi, (5) aktivitas pembelajaran relatif tergantung pada isi yang menyebabkan siswa berpikir.





















DAFTAR RUJUKAN
Baharudin & Wahyuni, Esa Nur.  2007. Teori Belajar dan Pembelajaran. Yogyakarta: Ar-Ruz Media.
Burhan Bungin. Sosiologi Komunikasi : Teori, Paradigma dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. ( Jakarta : Kencana, 2007).

Doolittle, Peter E and Camp, William G. Constructivism: The Career And Technical Education Perspective. Journal of Vocational and Technical Education. 16 (1). Virginia Polytechnic Institute & State University.

Hidayat, Deddy Nur. Paradigma dan Perkembangan Penelitian Komunikasi dalam Jurnal Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia,VolIII. (Jakarta: IKSI dan ROSDA, 1999)
Kathy L. Schuh and Sasha A. Barab. Philosophical Perspectives. University of Iowa, Iowa City, Iowa and  Indiana University, Bloomington, Indiana.
Learning Theories Knowledgebase (2011b, August). Cognitivism at Learning-Theories.com. Retrieved August 24th, 2011 from http://www.learning-theories.com/cognitivism.html. Diakses tanggal 9 Oktober 2015.
Martini Jamaris. 2006. Perkembangan dan Pengembangan Anak Usia Taman Kanak-Kanak. Jakarta: Grasindo.
Neisser, U. 1976. Cognition and reality: Principles and implications of cognitive psychology. New York: Freeman. 
Stavredes, T. (2011). Effective online teaching: Foundations and strategies for student success. Retrieved August 8, 2011 from University of Illinois, College of Education Online Web site: Sukmadinata dan Nana Syaodih. 2007. Landasan Psikologi Proses Pendidikan Cet. IV. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Suparno, Paul. 1997. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Suparno, Paul. 2012. Filsafat Konstruktivisme dalam Pendidikan. Yogyakarta: Kanisius.
Syah, Muhibbin.  1999. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Cet. IV. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Teaching and Learning Resources Cognitivism.html. Diakses tanggal 9 Oktober 2015.
Trianto. 2007.  Model Pembelajaran Terpadu dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Turvey, M. T. and Shaw, R. E. (1995). Toward an ecological physics and a physical psychology. In The Science of the Mind: 2001 and Beyond, edited by R. L. Solso and D. W. Massaro, pp. 144–169. New York: Oxford.






Diskusi
1. Dalam teori belajar bermakna Ausubel dijelaskan bahwa materi disesuaikan  struktur kognitif. Apakah pembelajaran bermakna hanya menyangkut hal tersebut?
Jawab.
Pembelajaran bermakna merupakan jawaban atas kelemahan teori belajar yang secara umum menekankan pada asosiasi atau menghafal. Yaitu belajar seharusnya asimilasi yang yang bermakna. Dalam hal ini berarti materi yang dipelajari diasimilasikan dan dihubungkan dengan pengetahuan yang telah dimiliki dalam struktur kognitifnya. Terdapat dua komponen penting dalam belajar bermakna, yaitu bahan yang dipelajari dan struktur kognitif individu. Selain itu, karakteristik lain dari belajar bermakna adalah pengaturan kemajuan belajar yang merupakan kerangka dalam bentuk abstrak dari apa yang harus dipelajari dan hubungannya dengan apa yang ada pada struktur kognitif yang dimiliki individu. Pengaturan kemajuan belajar meliputi sikap mengajar guru, penguasaan materi pelajaran, penggunaan metode mengajar, penggunaan media dan sumber belajar dan pengaitan informasi. Jadi belajar bermakna tidak hanya mengenai materi yang disesuaikan dengan struktur kognitif, namun juga menyangkut pengaturan kemajuan belajar.

2. Apa yang dimaksud dengan realisme hipotesis dalam filsafat konstruktivisme?Apakah hal tersebut berkaitan dengan filsafat realisme?
Jawab.
Salah satu level konstruktivisme adalah realisme hipotesis. Yang dimaksud dengan realisme hipotesis adalah yaitu pandangan pengetahuan sebagai suatu hipotesis dari suatu struktur kenyataan dan sedang berkembang menuju pengetahuan yang sejati yang dekat dengan realitas. Dalam pengertian ini ada beberapa kata kunci yaitu realisme hipotesis dan dekat dengan realitas. Realisme sendiri merupakan filsafat yang memandang realitas terdiri atas dunia fisik dan dunia rohani. Hipotesis sendiri adalah dugaan sementara yang belum teruji kebenarannya. Jadi realisme hipotesis ini berkaitan dengan filsafat realisme, di mana pengetahuan dalam konstruktivisme ini merupakan suatu dugaan sementara dari suatu realitas baik itu dunia fisik maupun dunia rohani. Atau dapat dikatakan pengetahuan dalam konstruktivisme adalah suatu pengetahuan yang akan berkembang menuju kebenaran yang dekat dengan realitas.

3. Apa yang dimaksud dengan epistemologi dikembangkan dengan sangat subjektif?
Jawab.

Paradigma  konstruktivisme bersifat subyektif dan transaksional. Pemahaman tentang suatu realitas atau temuan merupakan suatu produk antara peneliti dengan yang diteliti. Dalam mengungkap suatu kebenaran, peneliti dan objek penelitiannya berhubungan secara interaktif, sehingga fenomena dan pola-pola keilmuan dapat dirumuskan dengan memperhatikan gejala hubungan yang terjadi di antara keduanya. Karena itu, hasil rumusan ilmu yang dikembangkan dengan sangat subjektif. Kata subjektif artinya menurut pendapat sendiri. Jadi dalam hal ini, hubungan interaktif antara peneliti dan objek penelitiannya dapat menghasilkan suatu gagasan yang subyektif. Sebagai contoh, transfer ilmu dari guru (peneliti) ke murid (objek penelitian), ilmu yang ditransfer oleh guru belum tentu menghasilkan sudut pandang yang sama dengan ilmu yang diterima oleh murid. Ada kemungkinan murid mempunyai pendapatnya sendiri berdasarkan pengalaman-pengalaman yang telah diperolehnya. 

1 komentar :

  1. terima kasih sudah endapatkan pengetahuan lebih dari artikel ini
    ENIPE

    BalasHapus