LANDASAN FILOSOFIS PENDIDIKAN
LANDASAN FILOSOFIS
PENDIDIKAN
Makalah
Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Landasan Pendidikan Yang Dibimbing
Oleh Bapak Dr.Wartono, M.Pd
UNIVERSITAS NEGERI
MALANG
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN FISIKA
AGUSTUS 2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya.
Sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini untuk memenuhi tugas
mata kuliah landasan pendidikan.
Kami
telah menyusun makalah ini dengan sebaik-baiknya dan semaksimal mungkin. Namun
tentunya sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekurangan.
Harapan kami, semoga bisa menjadi koreksi di masa mendatang agar lebih baik
lagi dari sebelumnya.
Kami juga mengucapkan mohon maaf atas segala kekurangan dalam
penulisan makalah ini.
Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami harapkan guna kesempurnaan yang akan datang. Kami berharap, semoga makalah ini berkontribusi nyata dalam
meningkatkan pendidikan di Indonesia.
Malang, 23 Agustus 2015
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR................................................................................ 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................... 4
1.2 Masalah atau Topik Pembahasan ............................................... 5
1.3 Tujuan Penulisan ....................................................................... 5
BAB II ISI
2.1 Landasan
Filosofis Pendidikan Secara Umum ..................... 6
2.2 Aliran-aliran
Filosofis.............................................................. 8
2.3 Landasan
Filosofis Pendidikan Di Indonesia.......................... 13
2.3.1
Konsep Pancasila Sebagai
Landasan Filosofis Pendidikan
Terhadap
Filsafat Pendidikan Secara Umum
........................................................................ 15
2.3.2
Implikasi Landasan Filosofis Pancasila terhadap
Pendidikan 18
2.3.3
Permasalahan Pendidikan di Indonesia .................... 21
2.4 Landasan
Filosofis Pendidikan di Amerika ............................ 22
2.5 Landasan
Filosofis Pendidikan di Jepang .............................. 24
BAB III PENUTUP
Kesimpulan .............................................................................. 27
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Menurut
Salahudin,A yang dikutip kembali oleh Halim, A dan Supriyono (2012), Kata
Filosofis terbentuk dari 2 kata
dari bahasa Yunani, yaitu philo yang
berarti cinta dan Sophos yang berarti
kebijaksanaan. Dengan demikian Filosofis
(Filsafat) dapat diartikan sebagai cinta kebijaksanaan (alhikmah). Orang yang
mencintai atau mencari kebijaksanaan atau kebenaran disebut dengan Filsuf.
Landasan
filosofis pendidikan merupakan
bagian penting yang harus dipelajari dalam dunia pendidikan, hal ini dikarenakan
pendidikan bersifat normatif dan perspektif. Selain itu juga, dengan filosofis pendidikan kita akan
mengetahui mengapa, apa, dan bagaimana kita melakukan pelajaran, siapa yang
kita ajar dan mengenai hakikat belajar. Hal ini merupakan seperangkat prinsip
yang menuntun kita dalam melakukan tindakan profesional melalui kegiatan dan masalah-masalah yang kita hadapi
sehari-hari.
Landasan
pendidikan merupakan suatu gagasan tentang pendidikan yang dijelaskan
berdasarkan filsafat umum dalam pendidikan yang terdiri dari Metafisika, Ephistimologi
dan Aksiologi. Menurut Cohen, L.N.M. (1999) bahwa terdapat 3 (tiga) cabang-cabang Filosofi
(Filsafat) yang masing-masing memiliki
sub cabang. Ketiga cabang-cabang tersebut adalah Metaphysic
(Metafisika), Ephistemology (Epistemologi), dan Axiology (Aksiologi).
Sebagaimana
halnya di dalam filsafat umum, di dalam landasan filsafat pendidikan juga terdapat berbagai aliran.
Sehubungan dengan ini dikenal adanya landasan filosofis pendidikan Idealisme,
landasan filosofis pendidikan Realisme, landasan filosofis pendidikan
Pragmatisme. Selain ketiga filosofis
pendidikan tersebut sebenarnya masih banyak jenis landasan filosofil lainya.
Namun demikian, bangsa Indonesia
sesungguhnya memiliki filosofil pendidikan nasional tersendiri, yaitu filosofis pendidikan yang
berdasarkan Pancasila. Sehubungan dengan hal ini berbagai aliran filosofis pendidikan perlu kita
pelajari, namun demikian bahwa pendidikan yang kita selenggarakan hendaknya tetap berlandaskan Pancasila. Pemahaman atas
berbagai aliran filsafat pendidikan akan
dapat membantu Anda untuk tidak
terjerumus ke dalam
aliran filsafat lain. Di
samping itu, sepanjang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila,
kita pun dapat mengambil hikmah dari
berbagai aliran filsafat pendidikan
lainnya, dalam rangka memperkokoh landasan filosofis
pendidikan kita. Dengan memahami
landasan filosofis pendidikan diharapkan tidak terjadi kesalahan
konsep tentang pendidikan yang akan
mengakibatkan terjadinya kesalahan dalam praktek pendidikan.
Selain
itu juga seiring dengan derasnya arus tukar informasi mengenai sistem pendidilkan yang
beragam di berbagai negara,
berkembang pula sebuah disiplin baru yang dipandang sejak tahun 1960, yang
disebut comparative education.
Tujuannya adalah mengetahui berbagai macam perbedaan sistem pendidikan di
dunia. Dengan kata lain, bertujuan untuk mengetahui berbagai prinsip yang mendasari pengaturan perkmbangan sistem pendidikan nasional.
1.2
Masalah
/ Topik Pembahasan
Adapun
topik pembahasan yang diangkat dalam makalah ini antara lain :
1. Apakah
yang dimaksud dengan landasan filosofis
pendidikan itu?
2. Bagaimanakah
landasan filosofis
pendidikan di indonesia?
3. Bagaimanakah perbedaan filosofis pendidikan di Indonesia, Jepang dan Amerika?
1.3
Tujuan
Penulisan Makalah
Makalah ini dimaksud
untuk :
1. Menjelaskan
maksud dari landasan filosofis
pendidikan secara umum
2. Menjelaskan
landasan filosofis
pendidikan yang diterapkan di Indonesia
3. Membedakan
landasan filosofis
pendidikan di Indonesia,
Jepang dan Amerika
BAB II
ISI
2.1
Landasan Filosofis Pendidikan
Secara Umum
Landasan:
Menurut KBBI (1995:260) landasan dapat diartikan sebagai alas, dasar atau
tumpuan. Istilah landasan dapat diartikan juga sebagai fundasi. Dengan mengacu
arti dari istialah tersebut, dapat dipahami bahwa landasan adalah suatu
pijakan, titik tumpu atau titik tolak, suatu fundasi tempat berdirinya sesuatu
hal.
Filosofi:
Kata filosofis
terbentuk dari 2 kata
bahasa yunani, yaitu philo yang artinya cinta dan shopos yang artinya kebijaksaan. Dengan
demikian filosofis diartikan sebagai
cinta kebijaksanaan. Secara maknawi filsafat dimaknai
sebagai suatu pengetahuan yang
mencoba untuk memahami hakikat segala
sesuatu untuk mencapai kebenaran
atau kebijaksanaan. Untuk mencapai dan menemukan kebenaran tersebut, filosof
memiliki karakteristik yang berbeda antara yang satu dengan lainnya. Demikian pula kajian yang
dijadikan obyek telaan
akan berbeda selaras dengan cara pandang
terhadap hakikat segala sesuatu (Suyitno,Y, 2009).
Pendidikan:
Hakikat pendidikan adalah humanisasi. Tujuan pendidikan adalah terwujudnya
manusia ideal atau manusia yang
dicita-citakan sesuai nilai-nilai dan norma-norma yang dianut. Pendidikan bersifat normatif dan
dapat dipertanggungjawabkan, pendidikan tidak boleh
dilaksanakan secara sembarang, melainkan
harus dilaksanakan secara bijaksana.
Maksudnya, pendidikan harus dilaksanakan dengan
mengacu kepada suatu landasan yang
kokoh, sehingga tujuannya dan kurikulumnya menjadi jelas, efisien dan efektif.
Landasan
Filosofis Pendidikan. Berdasarkan
uraian di atas dapat disimpulkan bahwa landasan filosofi pendidikan adalah
asumsi filosofis yang dijadikan titik tolak dalam
rangka studi dan praktek
pendidikan. Dalam pendidikan terdapat momen
studi pendidikan dan
momen praktek pendidikan. Melalui studi pendidikan akan diperoleh pemahaman
tentang landasan-landasan
pendidikan,yang akan dijadikan titik tolak praktek pendidikan. Dengan
demikian, landasan filosofis pendidikan sebagai
hasil studi pendidikan
tersebut, dapat
dijadikan titik tolak dalam rangka studi pendidikan yang bersifat filsafiah, yaitu pendekatan yang lebih
komprehensif, spekulatif, dan normatif.
Menurut
Cohen, L.N.M. (1999) bahwa terdapat 3
(tiga) cabang-cabang Filosofi (Filsafat) yang masing-masing memiliki sub cabang. Ketiga cabang-cabang tersebut
adalah Metaphysic (Metafisika), Ephistemology (Epistemologi), dan Axiology
(Aksiologi). Sedangkan menurut Ornstein, A.C, dkk (2011), menyebutkanya sebagai
terminologi pendidikan yang dibagi menjadi empat terminologi, yaitu Metaphysics (Metafisika), Ephistemology (Epistemologi), Axiolgy (Aksiologi), dan Logics (Logika).
Menurut
Ornstein, A.C. dan Levine, D.U yang dikutip kembali oleh Halim dan supriyono
(2012), Metafisika menyelidiki
hakikat realitas atau
menjawab pertanyaan:“Apa hakikat realitas?”. Dalam spekulasi mengenai
hakikat keberadaan, orang-orang yang berorientasi metafisika memiliki pandangan
berbeda-beda dan tidak menemukan kesepakatan. Bagi mereka yang idealis
realitas dipandang sebagai konteks non material atau spiritual. Bagi
mereka yang realis, realitas dipandang sebagai keteraturan
obyektif yang terjadi secara independen pada diri manusia. Bagi mereka yang
pragmatis, realitas dipandang sebagai hasil pengalaman manusia dengan lingkungan sosial dan fisiknya.
Sedangkan
menurut Tatang (2010), Metafisika adalah
cabang filsafat yang
mempelajari atau membahas hakikat realitas (segala sesuatu yang ada)
secara menyeluruh (komprehensif).
Epistemologi
berasal dari bahasa Latin “episteme”
yang artinya “ilmu pengetahuan” dan “logos”
yang berarti “teori”. Jadi epistemologi
berarti teori ilmu pengetahuan. Epistemologi mempertanyakan: “Apa hakekat ilmu pengetahuan?”
Bagaimana kita dapat mengetahui?”. Epistemologi berhubungan dengan pengetahuan
dan mengetahui. Epistemologi berhubungan erat dengan metode mengajar dan
belajar. Bagi orang idealis, pengetahuan dan mengetahui dipandang sebagai mengingat
ide-ide laten di dalam pikiran. Para realis memandang pengetahuan bermula dengan
sensasi obyek (stimulus sensori). Para pragmatis memandang bahwa kita
menciptakan pengetahuan dengan berinteraksi dengan lingkungan (Salahudin yang
dikutip kembali oleh Halim dan Supriyono, 2012).
Aksiologi adalah cabang filsafat yang
mempelajari atau membahas tentang hakikat nilai. Aksiologi terdiri dari
Etika adalah cabang filsafat (bagian aksiologi) yang mempelajari atau membahas
tentang hakikat baik jahatnya perbuatan manusia; dan Estetika adalah cabang
filsafat (bagian aksiologi) yang mempelajari atau
membahas tentang hakikat seni (art) dan keindahan ( beauty).
Logika
adalah cabang filsafat yang mempelajari atau membahas tentang asas-asas, aturan-aturan,
prosedur dan kriteria penalaran
(berpikir) yang benar. Logika antara
lain membahas tentang bagaimana
cara berpikir yang tertib agar
kesimpulan-kesimpulannya benar.
2.2 Aliran-aliran
Filosofis Pendidikan
Dalam landasan filosofis pendidikan juga terdapat berbagai aliran pemikiran.
Hal ini muncul sebagai implikasi dari aliran-aliran yang terdapat dalam
filsafat. Menurut Gandhi,T.W
(2011) ada sembilan jenis aliran filosofis pendidikan :
a.
Filsafat Pendidikan Idealisme
Plato adalah
tokoh pertama yang mencetuskan ide idealisme. Tokoh-tokoh yang mendukung aliran
idealisme yaitu Georg W. F. Hegel yang berasal dari Jerman pada abad 19, Ralph
Waldo Emerson (1803-1882), Henry David T. (1817-1862) dan Friedrich Froebel.
Penganut Idealisme selanjutnya disebut sebagai Idealis.
Ornstein
(2011:170) menyatakan bahwa idealisme merupakan suatu aliran ilmu filsafat yang
mengagungkan jiwa. Idealisme memandang realitas sebagai hal yang ada dalam
kehidupan alam bukanlah suatu kebenaran yang hakiki, melainkan hanya sebatas
gambaran dari ide-ide yang ada didalam jiwa manusia. Idealisme merupakan aliran
filsafat yang berpendapat bahwa objek pengetahuan yang sebenarnya adalah ide
(idea) bahwa ide-ide ada sebelum keberadaan sesuatu yang lain, bahwa ide-ide
merupakan dasar dari keadaan sesuatu. Idealisme mengatakan bahwa realitas
terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal atau jiwa dan bukan benda material
dan kekuatan. Idealisme juga mengatakan bahwa akal itulah yang riil.
b.
Filsafat Pendidikan Realisme
Gagasan realisme
terlacak dimulai sebelum periode abad masehi dimulai, yaitu dalam pemikiran
murid Plato bernama Aristoteles (384-322 SM). Sebgai murid Plato, sedikit
banyak Aristoteles tentu saja memiliki pemikiran yang sangat dipengaruhi Plato
dalam berfilsafat. Dalam keterpengaruhanya, aristoteles memiliki suatu
perbedaan pemikiran yang membuatnya menjadi berbeda dengan Plato.
Realisme adalah
aliran filsafat yang memandang bahwa dunia materi diluar kesadaran ada sebagai
suatu yang nyata dan penting untuk dikenal dengan mempergunakan kemampuan intelektual
yang dimiliki manusia.Menurut realisme hakikat kebenaran itu barada pada
kenyataan alam ini, bukan pada ide atau jiwa.
Dalam arti filsafat yang sempit, realisme berarti anggapan bahwa obyek
indra kita adalah real, benda-benda ada, adanya itu terlepas dari kenyataan
bahwa benda itu kita ketahui, atau kita persepsikan atau ada hubungannya dengan
pikiran kita.
Menurut realis alam itu hal utama, dan
satu-satunya hal yang dapat kita lakukan adalah: menjalin hubungan yang baik
dengan alam. Kelompok realis berusaha untuk melakukan hal ini, bukan untuk
menafsirkan berdasarkan keinginan atau kepercayaan yang belum diuji
kebenarannya. Realisme adalah aliran yang menyatakan bahwa objek – objek yang
diketahui adalah nyata dalam dirinya sendiri. Objek – objek tersebut tidak
bergantung pada pikiran. Pikiran dan lingkungan sekitar saling berinteraksi
(Tim dosen filsafat UGM, 2003:39).
c.
Filsafat Pendidikan Pragmatisme
Pragmatisme adalah aliran filsafat modern yang lahir di Amerika akhir abad
19 hingga awal abad 20. Filsafat ini cendrung lebih banyak mengabaikan hal-hal
yang bersifat metafisik tradisional dan lebih banyak terarah pada hal-hal yang
pragmatis kehidupan. Pragmatisme lahir ditengah-tengah situasi sosial amerika
yang dilanda berbagai problem terkait dengan kuat dan masifnya urbanisasi dan
industrialisasi.
Pada dasarnya, pragmatisme merupakan suatu sikap hidup, suatu metode dan
suatu filsafat yang digunakan dalam mempertimbangkan nilai sesuatu ide dan
kebenaran sesuatu keyakinan secara praktis. Esensi diri pragmatisme ini
terletak pada metodenya yang sangat empiris dimana sangat menekankan pada
metode dan sikap lebih dari suatu doktrin filsafat yang sistematis dan
menggunakan metode ilmu pengetahuan modern sebagai dasar dari suatu filsafat.
Tekanan utama pragmatisme dalam pendidikan selalu dilandaskan bahwa subjek
didik bukanlah objek, melainkan subjek yang memiliki pengalaman. Setiap subjek
didik tidak lain adalah individu yang mengalami sehingga mereka berkembang,
serta memiliki inisiatif dalam mengatasi problem-problem hidup yang mereka
miliki.
Dalam pelaksanaannya, pendidikan pragmatisme mengarahkan agar subjek didik
saat belajar disekolah tak berbeda ketika ia berada diluar seolah. Oleh
karenanya, kehidupan disekolah selalu disadari sebagai bagian dari
pengalama hidup, bukan bagian dari
persiapan untuk menjalani hidup.
Dalam pendidikan pragmatisme guru menjadi pendamping subjek didik yang
dipandang jauh lebih memiliki pengalaman dalam menghadapi berbagai problem. Ia
menjadi pengarah atau pemandu aktivitas-aktivitas subjek didik diluar hal-hal
yang dibutuhkan mereka, dengan pertimbangan-pertimbangan dan pengalaman yang
lebih luas.
d.
Filsafat Pendidikan Eksistensialisme
Eksistensialisme termasuk filsafat pendatang baru yang ditemukan pertama
kali oleh ahli filsafat jerma, martin Heideger (1889-1976). Eksistensialisme
merupakan bagian filsafat dan akar metodologinya berasal dari metode fenomologi
yang dikembangkan oleh Hussel (1859-1938).
Pendidikan menurut pandangan eksistensialisme diarahkan untuk mendorong
setiap individu agar mampu mengembangkan semua potensinya untuk pemenuhan diri.
Pendidikan eksistensialis berusaha meberikan bekal pengalaman yang luas dan
komprehensif dalam semua bentuk kehidupan.
Disini anak didik didasari sebagai makhluk rasional dengan pilihan bebas
dan tanggung jawab atau pilihan suatu komitmen terhadap pemenuhan tujuan
pendidikan. Kurikulum eksistensialis cenderung bersifat liberal, membawa manusa
pada kebebasan manusia.
e.
Filsafat Pendidikan Progresivisme
Aliran progresivisme lahir di Amerika, akhir abad
ke 19 menjelang awal abad 20. Mula-mula, istilah ini bersifat sosiologi guna
menyebut gerakan sosial politik di amarika, ketika proses industrialisasi dan
urbanisasi menjadi gejala yang begitu masif.
Teori pendidikan progresivisme secara umum
dipengaruhi filsafat pragmatisme, khususnya pemikiran yang dilahirkan John
Deway. Itulah ciri khas teori pendidikan ini. Ia tidak pernah menjadi sistem pemikiran
yang sistematis dan konsisten, tetapi lebih banyak terpusat pada eksperimentasi
yang berdasarkan investigasi ilmiah sains modern. Hal ini sangat identik dengan
pemikiran filsafat Dewey yang memandang betapa pengalaman selalu menjadi hal
pokok dan utama.
f.
Filsafat Pendidikan Esensialisme
Esensialisme kerap diungkap sebagai reaksi kedua terhadap progresivisme
tahun 1930-an. Kalangan esensialisme menilai praktek progresivisme telah
melahirkan pendidikan yang gagal, terutama karena upaya progresivisme di dalam
menjadikan pendidikan sebagai usaha belajar tanpa pendirataan.
Pada aliran esensialisme sangat terlihat pijakan mereka pada pendidikan
yang penuh fleksibilitas, terbuka pada perubahan, toleren dan tidak ada terkait
dengan doktrin terntentu. Esensialisme memandang bahwa pendidikan harus berpijak
pada nilai-nilai yang memiliki kejelasan dan tahan lama yang memberikan
kestabilan dan nilai-nilai terpilih yang mempunyai tata yang jelas.
Menurut penganut esensialisme, tugas pendidikan tidak lain adalah
mengajarkan pengatuhuan dasar dan keterampilan-keterampilan dasar yang
berkaitan dengan pemerolehan materi dalam hidup. Dalam prakteknya, para
esensialisme cenderung menekankan sesuatu yang dikenal 3R ; mulai reaading,
writing, dan arithematic (membaca, menulis dan berhitung). Tiga hal ini dipandang
sebagai pengetahuan dasar yang begitu ditekankan dalam esensialisme.
Peran guru dikalangan esensialis sangat berbeda dengan kalangan progresif
yang sama sekali tidak otoritatif bahkan hanya menjadi fasilitator, sebaliknya
berupaya untuk kembali menjadi otoritatif. Oleh karena itu, sikap yang
ditanamkan adalah menanamkan rasa hormat terhadap otoritas, ketekunan, tugas,
pertimbangan, kepraktisan.
Esensialisme berupaya untuk mengajarkan siswa dengan berbagai pengetahuan
sejarah melalui mata kuliah inti dalam disiplin akademis tradisional.
Esensialisme juga bermaksud menanmkan pengetahuan akademis, patriotisme, dan
pengambangan karakter.
g.
Filsafat Pendidikan Perenilisme
Istilah perenialisme berasal dari bahasa latin, yaitu dari akar kata
perenis atau perenial (bahasa inggris) yang berarti tumbuh terus melalui waktu
ke waktu atau abadi. Maka, pandangan selalu mempercayai mengenai adanya
nilai-nilai, norma-norma yang bersifat abadi dalam kehidupan ini. Atas dasar
itu, perenialis memandang pola perkembangan kebudayaan sepanjang zaman adalah
sebagai pengulangan dari apa yang ada sebelumnya sehingga perenialisme sering
disebut sebagai istilah tradisionalisme.
Menurut pandangan perenialisme tujuan pendidikan adalah membantu peserta
didik menyiapkan dan menginternalisasikan nilai-nilai kebenaran yang abadi agar
mencapai kebijakan dan kebaikan dalam hidup. Sekolah pada dasarnya adalah
sebuah tatanan artifisial, yaitu tempat intelek-intelek yang belum matang
berkenalan dengan capaian-capain terbesar manusia.
Metode pendidikan yang digunakan oleh perenialis adalah membaca dan
mendiskusikan karya-karya yang tertuan dalam the Great book dalam rangka
mendisiplinkan pikiran. Peranan guru bukan sebagai perantara anatar duni dan
jiwa anak, melainkan guru juga sebagai murid yang mengalami proses belajar
sementara mengajar.
h.
Filsafat Pendidikan
Rekonstruksionisme
Rekonstruksionisme berasal dari kata reconstruct yang berarti menyusun
kembali. Dalam konteks filsafat pendidikan aliran rekonstruksionisme adalah
aliran yang berusaha merombak tata susunan lama dan membangun tat susunan hidup
kebudayaan yang bercorak modern.
Pada prinsipnya rekonstruksionisme sepaham dengan aliran perenialisme,
khususnya keprihatinan mereka pada kehidupan manusia modern. Kedua aliran
tersebut memandang jika kehidupan manusia modern adalah zaman ketika manusia
hidup dalam kebudayaan yang tergangu, sakit, penuh kebingunagn , serta
kesimpangsiuran proses.
Menurut pandangan rekonstruksionalisme pendidikan perlu merombak tata
susunan lama dana menyusun tata kehidupan yang baru, untuk mencapai tujuan
utama tersebut memerlukan kerja sama antar umat manusia.
i.
Filsafat Pendidikan Behaviorisme
Behaviorisme atau aliran perilaku adalah filosofis dalam psikologi yang
berdasarkan pada proposisi bahwa semua dilakukan organisme, termasuk tindakan,
pikiran, perasaan, dapat dan harus dianggap sebagai perilaku.
Tujuan pendidikan menurut teori bahavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagai aktivitas mimetic, yang menuntut
pemelajar untuk mengungkapkan kemabli pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada keterampilan yang terisolasi atau akumalasi fakta mengikuti urutan dari
bagian ke keseluruhan.
2.3 Landasan Filosofis
Pendidikan Di Indonesia
Secara
filosofis, bangsa Indonesia
sebelum mendirikan negara adalah sebagai bangsa yang berketuhanan dan
berkemanusiaan, hal ini berdsarkan kenyataan objektif bahwa manusia adalah
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Syarat mutlak suatu
negara adalah persatuan yang terwujudkan sebagai rakyat (merupakan unsur pokok
negara), sehingga secara filosofis negara berpersatuan dan berkerakyatan.
Konsekuensinya rakyat adalah merupakan dasar ontologis demokrasi, karena rakyat
merupakan asal mula kekuasaan negara. Atas dasar pengertian itulah maka nilai
pancasila merupakan dasar filosofis negara.
Pancasila
yang dimaksud adalah Pancasila yang rumusannya terdapat dalam “Pembukaan”
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu:
1. Ketuhanan Yang Maha Esa,
2. Kemanusiaan
yang adil dan beradab,
3. Persatuan Indonesia,
4. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan,
5. Keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pancasila
menjadi acuan untuk berkarya pada segala bidang. Sejalan dengan ini,
pasal 2 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang
“Sistem Pendidikan Nasional” menyatakan
bahwa “Pendidikan nasional adalah pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945”.
Rincian
selanjutnya tentang
hal itu tercantum
dalam penjelasan UU- RI No. 20 Tahun 2003 yang menegaskan bahwa pembangunan
nasional termasuk di bidang pendidikan adalah pengalaman pancasila dan untuk
itu pendidikan nasional mengusahakan antara lain: “Pembentukan manusia
Pancasila sebagai manusia pembangunan yang berkualitas tinggi dan mampu
mandiri”. Sedangkan ketetapan MPR-RI No. II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan Pengalaman Pancasila mengaskan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh
rakyar Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandngan hidup bangsa Indonesia
dan Dasar Negara Republik Indonesia.
Sehubungan
dengan hal ini,
bangsa Indonesia memiliki landasan
filosofis pendidikan tersendiri dalam sistem pendidikan nasionalnya,yaitu Pancasila.
2.3.1
Konsep Pancasila Sebagai Landasan Filosofis Pendidikan Terhadap Filsafat
Pendidikan Secara Umum
Metafisika
(Hakikat Realitas). Bangsa Indonesia meyakini bahwa realitas atau alam semesta
tidaklah ada dengan sendirinya, melainkan sebagai ciptaan (makhluk) Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan adalah
Sumber Pertama dari segala yang ada, Ia adalah Sebab Pertama dari segala sebab,
tetapi Ia tidak disebabkan oleh
sebab-sebab yang lainnya,dan Ia juga adalah tujuan akhir segala yang ada.
Di
alam semesta bukan hanya realitas fisik atau hanya realitas non fisik yang ada,
realitas yang bersifat fisik dan/atau non fisik tampak dalam pluralitas fenomena
alam semesta sebagai keseluruhan yang integral. Terdapat alam fana dengan
segala isi, nilai, norma atau hukum di dalamnya. Alam tersebut adalah tempat/prasarana dan sarana
bagi manusia dalam rangka hidup dan kehidupannya, dalam rangka melaksanakan
tugas hidup untuk mencapai tujuan
hidupnya. Di balik itu, terdapat alam
akhir yang abadi dimana setelah mati manusia akan dimintai pertanggung jawaban
dan menerima imbalan atas pelaksanaan tugas hidup dari Tuhan YME. Dalam uraian
di atas tersurat dan tersirat makna adanya realitas yang bersifat absolut
dan relatif, terdapat realitas yang bersifat
abadi dan realitas yang bersifat fana.
Termaksud
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa
hakikat hidup bangsa Indonesia adalah
berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan
perjuangan yang didorong
oleh keinginan luhur untuk mencapai dan mengisi kemerdekaan.
Adapun yang menjadi keinginan luhur tersebut yaitu:
a. Negara
Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat adil dan
makmur
b. Melindungi
segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;
c. Memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa, dan
d. Ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan
kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Dari
pernyataan di atas dapat dipahami bahwa realitas juga tidak bersifat given
(terberi) dan final, melainkan juga “mewujud” sebagaimana kita manusia dan semua anggota alam semesta berpartisipasi“mewujudkannya”.
Hakikat
Manusia. Manusia adalah makhluk Tuhan YME. Manusia adalah kesatuan
badani-rohani yang hidup dalam ruang dan waktu, memiliki kesadaran
(consciousness) dan penyadaran diri (self-awareness), mempunyai berbagai kebutuhan, dibekali naluri dan nafsu, serta
memiliki tujuan hidup. Manusia dibekali potensi untuk mampu beriman dan
bertakwa kepada Tuhan YME dan untuk
berbuat baik, namun di samping itu karena hawa nafsunya manusia pun memiliki
kemungkinan untuk berbuat jahat. Selain itu, manusia memiliki potensi untuk : mampu berpikir (cipta), berperasaan
(rasa), berkemauan (karsa), dan
berkarya. Adapun dalam eksistensinya manusia berdimensi individualitas /personalitas,
sosialitas, kultural, moralitas, dan religius. Adapun semua itu menunjukkan
dimensi interaksi atau komunikasi (vertikal maupun horisontal), historisitas,
dan dinamika.
Menurut
BP-7 Pusat, 1995 yang dikutip kembali oleh Tatang, Sy (2010), Pancasila
mengajarkan bahwa eksistensi manusia bersifat mono-pluralis tetapi bersifat
integral, artinya bahwa manusia yang serba dimensi itu hakikatnya adalah satu
kesatuan utuh. Pancasila menganut Asas
Ketuhanan Yang Maha Esa, dimana manusia diyakini sebagai makhluk Tuhan YME, mendapat
panggilan tugas dari-Nya, dan harus
mempertanggung jawabkan segala amal pelaksanaan tugasnya terhadap Tuhan YME (aspek religius). Asas mono dualisme, manusia adalah
kesatuan badani-ruhani, ia adalah pribadi
atau individual tetapi
sekaligus insan sosial. Asas
mono-pluralisme: meyakini keragaman manusia, baik suku bangsa, budaya, Tetapi
adalah satu kesatuan sebagai bangsa Indonesia (Bhineka tunggal Ika). Asas nasionalisme: dalam eksistensinya
manusia terikat oleh ruang dan waktu, maka ia mempunyai relasi dengan
daerah, jaman, dan sejarahnya yang
diungkapkan dengan sikapnya mencintai tanah air, nusa, dan bangsa. Asas internasionalisme: manusia
Indonesia tidak meniadakan eksistensi
manusia lain baik sebagai pribadi, kelompok, atau bangsa lain; asas demokrasi:
dalam mencapai tujuan kesejahteraan bersama, kesamaan hak dan kewajiban menjadi
dasar hubungan antara warga negara, dan hubungan antara warga negara dan
negara dan sebaliknya. Asas keadilan
sosial: dalam merealisasikan diri manusia harus senantiasa menjunjung tingi
tujuan kepentingan bersama dalam membagi hasil pembudayaannya
Epistemologi:
Hakikat Pengetahuan. Segala pengetahuan hakikatnya bersumber dari Sumber
Pertama yaitu Tuhan YME. Tuhan telah menurunkan
pengetahuan baik melalui Utusan-Nya (berupa wahyu) maupun melalui berbagai
hal yang digelarkanNya di alam semesta
termasuk hukum-hukum yang
terdapat didalamnya. Manusia
dapat memperoleh pengetahuan melalui keimanan/ kepercayaan, berpikir,
pengalaman empiris, penghayatan, dan intuisi.
Kebenaran
pengetahuan ada yang bersifat mutlak (seperti dalam pengetahuan
keagamaan/revealed knowledge yang
diimani), tetapi ada
pula yang bersifat
relatif (seperti dalam pengetahuan
ilmiah sebagai hasil upaya manusia melalui riset, filsafat, dsb). Pengetahuan yang
bersifat mutlak (ajaran agama/wahyu
Tuhan) diyakini mutlak kebenarannya atas dasar keimanan kepada Tuhan
YME. Pengetahuan yang bersifat relatif (filsafat, sains, dll) diuji
kebenarannya melalui uji
konsistensi logis ide-idenya, kesesuainya dengan data
atau fakta empiris,
dan nilai kegunaannya bagi kesejahteraan manusia dengan mengacu kepada
kebenaran dan nilai-nilai yang bersifat mutlak.
Aksiologi:
Hakikat Nilai. Sumber Pertama segala nilai hakikatnya adalah Tuhan YME. Karena
manusia adalah makhluk Tuhan, pribadi/individual dan sekaligus insan sosial, maka hakikat nilai
diturunkan dari Tuhan YME, masyarakat dan individu.
Secara metafisis dan
aksologis tujuan pendidiak nasional harus menghasilkan manusia Indonesia yang :
1.
Beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa.
2.
Manusia yang
berkeprimanusiaan yang adil dan beradab, yang ditunjukkan dalam perilaku
manusia yang tidak hanya mengutamakan dan mementingkan kehidupan jasmanaih dan
lahiriah saja, tetapi juga kehidupan rohaniah batiniah. Begitu juga yang
diutamakan bukan hanya kepentingan diri sendiri secara pribadi, tetapi juga
kepentingan masyarakat, kepentingan hidup bersama.
3.
Berkemampuan untuk
mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
4.
Demokratis, hidup
bermasyarakat dengan pengakuan terhadap eksistensi manusia, berarti harus
menyadari bahwa ia tidak bisa berbuat semaunya. Manusia hidup dibatasi oleh
berbagai faktor yaitu dirinya sendiri, orang lain, alam sekitar, dan Tuhan.
5.
Berkeadilan sosial
yang adil, seimbang antara hak dan kewajiban, suatu keadilan yang menyangkut
hubungannya dengan dirinya sendiri, dengan orang lain atau masyarakat, dan
dengan alam sekitar, serta dengan Tuhan.
Secara epistemologis
pendidikan nasional bertujuan :
1.
Menghasilkan manusia
berpengetahuan, mampu mengolahnya, dan mengembangkannya.
2.
Menghasilkan manusia
yang mampu mencari pengetahuan dan kebenaran melalui berbagai sumber, yaitu :
Pengetahuan wahyu, pengetahuan intuitif, pengetahuan rasional, dan pengetahuan
empiris.
3.
Menghasilkan manusia
berpengalaman dan berpengetahuan secara hierarkis mencangkup dunia realitas,
dunia ilmiah, dunia nilai filosofis, dan dunia nilai religius.
4.
Menghasilkan manusia
yang terampil dalam menghadapi dunia realitas, sehingga mencapai kehidupan yang
seimbang antara kehidupan jasmani dan rohani, antara kehidupan dunia nyata dan
dunia rohaniah, kehidupan dunia dan akhirat.
2.3.2 Implikasi Landasan
Filosofis Pancasila Terhadap
Pendidikan
Pendidikan adalah
usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses
pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa
dan negara (Pasal
1 UU RI
No. 20 Tahun
2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional).
Sebagai
usaha sadar dan terencana, pendidikan tentunya harus mempunyai dasar dan tujuan
yang jelas, sehingga dengan demikian
baik isi pendidikan maupun cara-cara
pembelajarannya dipilih, diturunkan dan dilaksanakan
dengan mengacu kepada dasar dan tujuan
pendidikan yang telah ditetapkan. Selain
itu, pendidikan bukanlah proses
pembentukan peserta didik untuk menjadi orang
tertentu sesuai kehendak sepihak
dari pendidik. Karena manusia
(peserta didik) hakikatnya adalah pribadi
yang memiliki potensi dan memiliki
keinginan untuk menjadi dirinya sendiri, maka upaya pendidikan harus dipandang sebagai
upaya bantuan dan memfasilitasi
peserta didik dalam rangka mengembangkan potensi dirinya. Upaya pendidikan
adalah pemberdayaan peserta didik. Hal ini hendaknya tidak dipandang sebagai
upaya dan tujuan yang bersifat individualistik semata, sebab sebagaimana telah
dikemukakan bahwa kehidupan manusia itu multi dimensi dan merupakan kesatuan
yang integral.
Selain
hal di atas, dimensi hitorisitas, dinamika, perkembangan kebudayaan dan tugas
hidup yang diemban manusia mengimplikasikan bahwa pendidikan harus diselenggarakan sepanjang hayat.
Pendidikan hendaknya diselenggarakan sejak dini, pada setiap tahapan
perkembangan hingga akhir hayat. Sebab itu, pendidikan hendaknya diselenggarakan
baik pada jalur pendidikan informal,
formal, maupun nonformal yang
dapat saling melengkapi dan memperkaya.
Tujuan Pendidikan. Pandangan Pancasila
tentang hakikat realitas,
manusia, pengetahuan dan hakikat nilai mengimplikasikan bahwa
pendidikan seyogyanya bertujuan untuk
berkembangnya potensi peserta didik
agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia,
sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis
serta bertangung jawab. Hal ini
sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 3 UU RI No.20 Tahun 2003 Tentang sistem
Pendidikan Nasional. Tujuan pendidikan tersebut hendaknya kita
sadari betul, sehingga pendidikan
yang kita selenggarakan bukan hanya untuk mengembangkan salah satu potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang berilmu saja, bukan hanya untuk
terampil bekerja saja, dsb., melainkan demi berkembangnya seluruh potensi
peserta didik dalam konteks keseluruhan
dimensi kehidupannya secara integral.
Kurikulum
Pendidikan. Kurikulum disusun sesuai dengan jenjang pendidikan dalam kerangka Negara Kesatuan
Republik Indonesia dengan
memperhatikan: a) peningkatan iman
dan takwa; b) peningkatan akhlak
mulia; c) peningkatan potensi, kecerdasan, dan minat
peserta didik; d) keragaman potensi
daerah dan lingkungan; e) tuntutan pembangunan
daerah dan nasional; f) tuntutan
dunia kerja; g) perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni; h) agama;
I)dinamika perkembangan global; dan J) persatuan nasional dan nilai-nilai kebangsaan. Ketentuan mengenai pengembangan
kurikulum sebagaimana dimaksud di atas diatur lebih lanjut dengan Peraturan
Pemerintah (Pasal 36 UU RI No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan
Nasional).
Metode
Pendidikan. Berbagai metode pendidikan yang ada merupakan alternatif untuk
diaplikasikan. Sebab, tidak ada satu metode mengajar pun yang terbaik dibanding
metode lainnya dalam
segala konteks pendidikan. Pemilihan dan aplikasi metode pendidikan hendaknya
dilakukan dengan mempertimbangkan tujuan
pendidikan yang hendak dicapai, hakikat manusia
atau peserta didik, karakteristik
isi/materi pendidikan, dan
fasilitas alat bantu pendidikan yang
tersedia.
Peranan
Pendidik dan Peserta Didik. Ada berbagai peranan pendidik dan peserta didik yang
haruis dilaksanaknya, namun pada dasarnya berbagai peranan tersebut tersurat dan tersirat dalam semboyan:“ing ngarso sing tulodo”
artinya pendidik harus memberikan
atau mejadi teladan bagi peserta didiknya;“ing madya
mangun karso”, artinya pendidik
harus mampu membangun karsa pada diri peserta didiknya; dan“tut wuri handayani” artinya bahwa sepanjang tidak berbahaya pendidik
harus memberi kebebasan atau kesempatan kepada peserta didik untuk belajar
mandiri.
Orientasi
Pendidikan. Pendidikan
memiliki dua fungsi utama, yaitu fungsi konservasi dan fungsi kreasi. Fungsi konservasi dilandasi asumsi bahwa
terdapat nilai-nilai, pengetahuan,
norma, kebiasaan-kebiasaan yang dijunjung tinggi dan dipandang berharga untuk tetap dipertahankan.
Contoh: pengetahuan dan nilai-nilai yang bersifat mutlak tentunya tetap harus
dipertahankan, demikian juga pengetahuan dan nilai-nilai budaya yang masih
dipandang benar dan baik juga perlu dikonservasi. Adapun fungsi kreasi
dilandasi asumsi bahwa realitas tidaklah
bersifat terberi (given) dan telah selesai sebagaimana diajarkan oleh sains modern.
Tetapi realitas “mewujud” sebagaimana kita manusia dan semua anggota alam
semesta berpartisipasi “mewujudkannya”. Semua anggota semesta ikut berpartisipasi
dalam mewujudkan realitas. Sebab itu, peran manusia baik sebagai individu maupun kelompok adalah
merajut realitas yang diinginkannya yang dapat diterima oleh lingkungannya.
Dalam hal ini hakikat pendidikan seyogyanya diletakkan pada upaya-upaya untuk menggali dan mengembangkan potensi para pelajar agar
mereka tidak saja mampu memahami perubahan tetapi mampu berperan sebagai agen
perubahan atau perajut realitas (A.Mappadjantji Amien, 2005). Perubahan
merupakan suatu keharusan atau kenyataan
yang tidak dapat kita tolak, sehingga pelajar-pelajar harus kita didik untuk
menguasainya dan bukan sebaliknya, mereka menjadi dikuasai oleh perubahan.
2.3.3 Permasalahan Pendidikan di Indonesia
Walaupun secara umum sistem
pendidikan di indonesia dan pembangunan pendidikan nasional yang dilaksanakan
selama ini telah mencapai berbagai keberhasilan, namun masih banyak
permasalahan pendidikan yang tampak sangat nyata dalam kehidupan masyarakat,
seperti tingkat kualitas sekolah yang berbeda beda antara perkotaan dan
pedesaan yang disebabkan oleh rendahnya pemerataan dan akses pendidikan,
banyaknya kurang fasilitas pendidikan yang disediakan disekolah-sekolah, tenaga
pendidik yang kurang memadai dan masih banyak masalah lainya.
Hal ini sesuai dengan yang
diidentifikasi dan dijelaskan dalam rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional
Tahun 2005-2009 tentang permasalahan pendidikan, yaitu meliputi: (1) Masih
rendahnya pemerataan dan akses
pendidikan,(2) Masih rendahnya mutu, relevansi dan daya saing pendidikan, serta
(3) Masih lemahnya tatakelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelolaan pendidikan.
Pemerintah telah berusaha mengatasi
berbagai masalah pendidikan tersebut dengan berbagai cara, salah satunya
Renstra Depdiknas 2005-2009 telah merumuskan tiga pilar kebijakan umum
pembangunan pendidikan nasional yaitu: (a) Peningkatan pemerataan dan perluasan
akses pendidikan, (b) Peningkatan mutu, relevansi, dan daya saing pendidikan,
serta (c) Penguatan tata kelola, akuntabilitas, dan citra publik pengelolaan
pendidikan.
Kebijakan penyelenggaraan pendidikan
di Indonesia dalam sudut pandang pragmatis teoritis baik. Persoalannya terletak
pada aspek-aspek praksisnya. Sebaik apapun konsep undang-undang jika tidak
terlaksana dengan baik di lapangan akan
kehilangan makna pragmatisnya. Karena kemanfaatan kebijakan pendidikan benar
jika memberi nilai.
2.4 Landasan Filosofis Pendidikan di Amerika
Filsafat pada dasarnya merupakan
pernyataan secara sengaja tentang suatu kebudayaan tertentu, kekhususan pada
adat-istiadat, pola tingkah laku, ide-ide, maupun sistem nilai. Filsafat juga
bisa berarti sebagai suatu ekspresi atau interpretasi secara objektif tentang watak
nasional suatu bangsa. Amerika merupakan suatu negara
yang dibentuk dari bangsa-bangsa asing yang mendiaminya. Mereka secara sadar
memilih menjadi warga negara Amerika.
Filsafat Amerika Serikat senasib dengan
kebudayaan Amerika pada umumnya. Seperti kita ketahui bahwa kebudayaan Amerika
Serikat mempunyai ciri khas yaitu tidak mempunyai tradisi yang panjang. Karena itu,
ia belum pernah mempunyai wajah sendiri. Kebudayaannya bersandar pada "self
made man". Apabila kita lihat, pandang secara cermat, ciri yang penting
adalah perkembangan material dan tekniknya. Perkembangan ini sangat
mempengaruhi alam pemikiran bangsa tersebut. Pengaruh itu jelas dalam
pragmatisme.
Salah satu faktor yang menyebabkan hal
tersebut adalah amerika merupakan negara yang dibentuk dari bangsa-bangsa asing
yang mendiaminya. Kondisi tersebut berbeda dengan bangsa-bangsa lain di dunia,
karena pada umumnya suatu negara dibentuk dari penduduk-penduduk asli
bangsanya. Meskipun demikian, kegiatan pendidikan di Amerika tetap berpijak
pada landasan kependidikan yang berupa pemikiran
kefilsafatan/keilmuwan/wawasan-wawasan lain.
Istilah pragmatisme
berasal dari kata Yunani "pragma" yang berarti perbuatan atau
tindakan. "Isme" di sini sama artinya dengan isme-isme yang lainnya
yaitu berarti aliran atau ajaran atau paham. Dengan demikian pragmatisme berarti: ajaran yang menekankan
bahwa pemikiran itu menuruti tindakan. Kreteria kebenarannya adalah
"faedah" atau "manfaat". Suatu teori atau hipotesis
dianggap oleh pragmatisme benar apabila membawa suatu hasil. Dengan kata lain,
suatu teori adalah benar if it works
( apabila teori dapat diaplikasikan).
Progmatisme muncul sebagai usaha refleksi analitis dan filosofis
mengenai kehidupan Amerika sendiri yang dibuat oleh orang Amerika di Amerika sebagai
suatu bentuk pengalaman mendasar, dan meninggalkan jejaknya pada setiap kehidupan
Amerika. Oleh karena itu ada suatu alasan yang kuat untuk meyakini bahwa pragmatisme
mewakili suatu pandangan asli Amerika tentang hidup dan dunia. Atau barangkali
lebih tepat kalau dikatakan bahwa pragmatisme mengkristalisasikan keyakinan-keyakinan dan sikap-sikap yang telah
menentukan perkembangan Amerika sebagaimana menggejala dalam berbagai aspek
kehidupannya, misalnya dalam penerapan teknologi, kebijaksanaan-kebijaksanaan
politik pemerintah, dan sebagainya.
Menurut Putu Sudira, dkk (2014), Pragmatisme
merupakan gerakan filsafat Amerika yang begitu dominan mencerminkan sifat-sifat
kehidupan Bangsa Amerika. Demikian dekatnya pragmatisme dengan Amerika sehingga
Popkin dan Stroll menyatakan bahwa pragmatisme merupakan gerakan yang berasal
dari Amerika yang memiliki pengaruh mendalam dalam kehidupan intelektual di
Amerika. Bagi kebanyakan rakyat Amerika, pertanyaan-pertanyaan tentang
kebenaran, asal dan tujuan, hakekat serta hal-hal metafisis yang menjadi pokok
pembahasan dalam filsafat barat dirasakan amat teoritis. Rakyat Amerika umumya
menginginkan hasil yang kongkrit. Sesuatu yang penting harus pula kelihatan
dalam kegunaannya. Oleh karena itu, pertanyaan “what is” harus dieliminir
dengan “what for”. Menurut teori pragmatis tentang kebenaran, suatu proposisi
dapat disebut benar sepanjang proposisi itu berlaku [works] atau memuaskan
[satisfies].
Dalam perkembangannya
lebih lanjut, filsafat tersebut diterapkan dalam setiap bidang kehidupan
manusia. Karena pragmatisme adalah suatu filsafat tentang tindakan manusia,
maka setiap bidang kehidupan manusia menjadi bidang penerapan dari filsafat
yang satu ini. Dan karena metode yang dipakai sangat populer untuk di pakai
dalam mengambil keputusan melakukan tindakan tertentu, karena menyangkut
pengalaman manusia sendiri, filsafat inipun segera menjadi populer. Dan
filsafat ini yang berkembang di Amerika pada abad ke-19 sekaligus menjadi
filsafat khas Amerika dengan tokoh-tokohnya seperti Charles Sander Peirce,
William James, dan John Dewey menjadi sebuah aliran pemikiran yang sangat
mempengaruhi segala bidang kehidupan Amerika.
Namun filsafat ini
akhirnya menjadi lebih terkenal sebagai suatu metode dalam mengambil keputusan,
melakukan tindakan tertentu atau yang menyangkut kebijaksanaan tertentu. Lebih
dari itu, karena filsafat ini merupakan filsafat yang khas Amerika, ia dikenal
sebagaimana suatu model pengambilan keputusan, model bertindak, dan model praktis
Amerika.
Bagi kaum pragmatis,
untuk mengambil tindakan tertentu, ada dua hal penting. Pertama, ide atau
keyakinan yang mendasari keputusan yang harus diambil untuk melakukan tindakan
tertentu. Dan yang kedua, tujuan dari tindakan itu sendiri. Keduanya tidak
dapat dipisahkan. Keduanya merupakan suatu paket tunggal dari metode bertindak
yang pragmatis. Pertama-tama manusia memiliki ide atau keyakinan itu yang ingin
direalisasikan.
Untuk merealisasikan ide
atau keyakinan itu, manusia mengambil keputusan yang berisi: akan dilakukan
tindakan tertentu sebagai realisasi ide atau keyakinan tadi. Dalam hal ini,
sebagaimana diketahui oleh Peirce, tindakan
tersebut tidak dapat diambil lepas dari tujuan tertentu. Dan tujuan itu
tidak lain adalah hasil yang akan diperoleh dari tindakan itu sendiri, atau
konsekwensi praktis dari adanya tindakan itu.
2.5 Landasan Filosofis Pendidikan di Jepang
Pendidikan
sesungguhnya adalah alat untuk mencerdaskan manusia, menurut pakar filsafat
Pauolo Freire. Sejarah telah membuktikan bahwa Jepang, salah satu Negara maju
yang membangun bangsa dengan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk mencerdaskan
bangsa.
Membicarakan
sistem pendidikan dari sisi filosofi akan cenderung terkait dengan nilai ideal
yang dijadikan landasan bagi pengambilan keputusan dan pelaksanaan kinerja. Pendidikan
tidak bisa dipisahkan dari kebudayaan, pendidikan Jepang aspek pengaruh yang
sangat kuat adalah pada kebudayaan masyarakat Jepang. Aspek positif pendidikan
di Jepang adalah semangat kerja keras dan berusaha keras. Bangsa Jepang juga
dikenal sebagai bangsa yang disiplin dan tingkat produktivitas tinggi. Serta
mempunyai budaya Samurai, yaitu semangat pejuang tangguh. Ganbatte Kudasai! Adalah
sebuah salah satu ungkapan yang mengadung unsur motivasi dan semangat untuk
terus berjuang dan pantang mnyerah. Seorang mahasiswa di depan profesornya saat
menerima sebuah tugas, maka akan selalu mengatakan Gambarimasu! yang artinya
akan berusaha dengan sebaik-baiknya.
Menurut
Budiman (2014), Kedisplinan Jepang dalam menjalankan budaya samurai (Bushi)
berisi tujuh nilai utama, yaitu: Budaya Bushido ditafsirkan menjadi prinsip
hidup dan jalan oejuang samurai, semangat bushido meliputi Shōjiki to Seijitsu
Makato (正直と誠実). Prinsip Samurai
antara lain:
1. Jihi to
kan'yō ( 慈悲と寛容)
: Kemurahan hati
2. Shinjitsu to
seigi (真実と正義) : Kebenaran dan
keadilan
3. Reigi to
sonkei (礼儀と尊敬)
: Kesopanan dan kehormatan
4. Chuugi
Yuu(忠誠勇気は) : Kesetiaan atau
loyalitas
Karakteristik
dari bangsa Jepang yang mendorong bangsa tersebut, yaitu:
1. Orang
Jepang menghargai jasa orang lain. Hal ini dibuktikan dengan mengucapkan arigatoo
(terima kasih), tidak
menganggap remeh jerih payah orang lain meskipun bantuan tersebut tidak
seberapa.
2. Selain
mengucapkan terima kasih, untuk menghargai pekerjkaan dengan mengucapkan otsukarsamadehita
(maaf, Anda telah bersusah payah).
3. Perlunya
setiap orang harus berusaha dilambangkan dengan ucapan ganbatte kudasai
(berusahalah).
4. Orang
Jepang punya semnagat yang tidak pernah luntuk, tahan banting dan tidak mau
menyerah oleh keadaan, yang terkenal dengan semangat bushido(semangat
kesatria).
Selain
filosofi Bushido, pendidikan di
Jepang menanamkan pendidikan karakter sejak dini agar generasi Jepang menjadi
unggul. Norma dalam masyarakat Jepang sangat terkait dengan ajaran Shinto dan
Budaha, tetapi menariknya agama ini tidak diajarkan di sekolah sebagai bentuk pelajaran wajib.
Namun, nilai agama tersebut diterapkan dalam kehidupan sehari-hari di sekolah.
Pembekalan prinsip hidup yang kuat di masa pendidikan dasar inilah yang membuat
kedisiplinan dan keteraturan dalam masyarakat Jepang.
Budiman (2014)
menyatakan bahwa sistem
pendidikan Jepang dibangun atas dasar beberapa prinsip, antara lain:
1. Legalisme:
pendidikan di Jepang mengedepankan aturan hukum
dan melegalkan hak setiap individu untuk memperoleh pendidikan tanpa memandang
agama, ras, suku dan golongan yang berhak mendapatkan pendidikan yang layak.
2. Administrasi
yang demokratis: biaya di Jepang diusahakan dapat dijangkau sesuai keuangan
masyarakatnya, memberikan beasiswa bagi siswa yang berprestasi atau siswa yang
kurang mampu dalam keuangan.
3. Netralis:
hampir sama dengan legalisme, pendidikan di Jepang diberikan kepada setiap
siswa tanpa membedakan latar belakang materil, asal usul keluarga, status
social antar golongan.
4. Penyesuaian
dan penetapan kondisi pendidikan: dalam proses pembelajaran memiliki kesulitan
masing-masing yang disesuaikan dengan pendidikan yang ditempuh.
5. Desentralisasi:
penyebaran kebijakan pendidikan dari pemerintah pusat secara merata kepada seluruh
sekolah sehingga perkembangan dan kemajuan system pendidikan dapat diikuti
dengan baik.
Tujuan pendidikan Jepang lebih mengarah
kepada pengembangan kepribadian individu secara utuh, menanamkan jiwa yang
bebas dan bertanggungjawab, bertoleransi untuk menghargai antar individu.
Budaya disiplin waktu dan waktu kerja keras Jepang yang sejak dahulu diajarkan selalu ditanamkan di dalam
kehidupan sehari-hari sehingga dapat mempengaruhi kemajuan Negara ini,
khususnya dalam bidang pendidikan.
BAB III
KESIMPULAN
1.
Landasan
filosofis pendidikan adalah asumsi
filosofis yang dijadikan titik tolak dalam rangka studi dan praktek
pendidikan. Dalam pendidikan mesti terdapat studi pendidikan dan praktek pendidikan. Melalui studi pendidikan
akan diperoleh pemahaman tentang landasan-landasan pendidikan, yang akan
dijadikan titik tolak praktek pendidikan. Dengan demikian, landasan filosofis pendidikan sebagai hasil studi
pendidikan tersebut, dapat dijadikan
titik tolak dalam rangka studi pendidikan yang bersifat filsafiah,
yaitu pendekatan yang lebih
komprehensif, spekulatif, dan normatif.
2.
Negara Indonesia
memiliki filosofis
Negara yaitu Pancasila sebagai falsafah Negara. Pancasila menjadi acuan untuk
berkarya pada segala bidang. Sejalan
dengan ini, Pasal
2 Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2003 Tentang “Sistem Pendidikan Nasional” menyatakan bahwa “Pendidikan
nasional adalah pendidikan yang
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945”. Rincian
selanjutnya tentang
hal itu tercantum
dalam penjelasan UU- RI No. 20 Tahun 2003 yang menegaskan bahwa pembangunan
nasional termasuk di bidang pendidikan adalah pengalaman pancasila dan untuk
itu pendidikan nasional mengusahakan antara lain: “Pembentukan manusia
Pancasila sebagai manusia pembangunan yang berkualitas tinggi dan mampu
mandiri”. Sedangkan ketetapan MPR-RI No. II/MPR/1978 tentang Pedoman
Penghayatan Pengalaman Pancasila mengaskan bahwa Pancasila adalah jiwa seluruh
rakyar Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia, pandngan hidup bangsa Indonesia
dan Dasar Negara Republik Indonesia.
Sehubungan dengan hal ini,
bangsa Indonesia memiliki
landasan filosofis
pendidikan tersendiri dalam sistem
pendidikan nasionalnya, yaitu
Pancasila.
3.
Perbedaan landasan
filosofi pendidikan di Indonesia,
Jepang, dan Amerika
Indonesia
|
Jepang
|
Amerika
|
Indonesia
menganut landasan
filosofis
pancasila, dimana pancasila
sebagai jiwa seluruh rakyat Indonesia, kepribadian bangsa Indonesia,
pandangan hidup bangsa dan Dasar Negara Republik Indonesia.
|
Jepang
menganut filosofis Bushido,
dimana ajaranya menekankan untuk selalu memiliki sifat kemurahan hati,
kebenaran dan keadilan, Kesopanan dan kehormatan, kesetiaan dan loyalitas.
|
Amerika
menganut filosofis
pragmatisme, dimana ajaran yang menekankan bahwa pemikiran
itu menuruti tindakan.
|
Daftar Rujukan
Abdullah, M.N. 2014. Pragmatisme :
Sebuah TinjauanSejarah Intelektual Amerika. Medan : Universitas Sumatra Utara
Mahasiswa Program Doktor Manajemen
Pendidikan. 2012. Landasan-Landasan Pendidikan
Dan Pembelajaran. Malang : Universitas Negeri Malang
Suyitno, Y. 2009. Landsan Filosofi Pendidikan. Bandung:
Universitas Pendidikan Indonesia
Unimus, Budiman.2013.Mencermati
sistem Pendidikan Japan.
Gandhi, W. Teguh.2011. Filsafat
Pendidikan. Jogjakarta : AR-Ruzz Media
Langganan:
Posting Komentar
(
Atom
)
Terimakasih kak, membantu sekali untuk para mahasiswa....
BalasHapusterima kasih, makalanya amat sangat membantu
BalasHapusTerima kasih, sangat membantu
BalasHapusBagaimana hubungan lanadasan filosofis pendidikan di jepang,amerika dan indonesia?
BalasHapusTerimakasih