LANDASAN SOSIOLOGIS PENDIDIKAN

1 komentar
LANDASAN SOSIOLOGIS PENDIDIKAN



MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Landasan Pendidikan
yang dibina oleh Bapak Dr. Wartono, M.Pd
















UNIVERSITAS NEGERI MALANG
PASCASARJANA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN FISIKA
SEPTEMBER 2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu. Secara sosiologi, pendidikan adalah sebuah warisan budaya dari generasi ke generasi, agar kehidupan masyarakat berkelanjutan, dan identitas masyarakat itu tetap terpelihara. Sosial budaya merupakan bagian hidup manusia yang paling dekat dengan kehidupan sehari-hari, dan hampir setiap kegiatan manusia tidak terlepas dari unsur sosial budaya.
Kajian sosiologi tentang pendidikan mencakup semua jalur pendidikan, baik sekolah maupun pendidikan luar sekolah, terutama apabila ditinjau dari sosiologi maka pendidikan keluarga sangat penting, karena keluarga merupakan lembaga sosial pertama bagi setiap manusia. Kegiatan pendidikan yang sistematis terjadi di lembaga sekolah yang dengan sengaja di bentuk oleh masyarakat.
Memasuki abad ke-21 dan menyongsong milenium ketiga tentu akan terjadi banyak perubahan dalam kehidupan masyarakat sebagai akibat dari era globalisasi. Tak hanya perubahan sosial, budaya pun berpengaruh besar dalam dunia pendidikan akibat dari pergeseran paradigma pendidikan yaitu mengubah cara hidup, berkomunikasi, berpikir, dan cara bagaimana mencapai kesejahteraan. Dengan mengetahui begitu pesatnya arus perkembangan dunia diharapkan dunia pendidikan dapat merespon hal-hal tersebut secara baik dan bijak yang berlandaskan sosiologi.
Sosiologi pendidikan sudah mewarnai dunia tentu disemua

B.       Masalah atau Topik Bahasan
Adapun masalah yang dibahas pada makalah ini adalah:
1.      Bagaimanakah pengertian, jenis, dan fungsi landasan pendidikan?
2.      Bagaimakah sejarah dan teori-teori sosiologi?
3.      Apakah  pengertian landasan sosiologis pendidika?
4.      Bagaimanakah perantara dan ruang lingkup landasan sosiologi pendidikan?
5.      Bagaimanakah implementasi landasan sosiologis pendidikan di Indonesia, Jepang, dan Amerika?
6.      Bagaimanakah implementasi Landasan Sosiologis Pendidikan pada Pelajaran Fisika?

C.      Tujuan Penulisan Makalah
Makalah ini dimaksudkan untuk membahas landasan sosiologis pendidikan, baik dalam segi teori maupun implementasi pada beberapa negara, khususnya Indonesia. Secara rinci tujuan penulisan makalah ini adalah:
1.        Menjelaskan pengertian, jenis, dan fungsi landasan pendidikan.
2.        Memaparkan sejarah dan teori-teori sosiologi
3.        Menjelaskan  pengertian landasan sosiologis pendidika?
4.        Mendeskribsikan perantara dan ruang lingkup landasan sosiologi pendidikan?
5.        Mendeskribsikan implementasi landasan sosiologis pendidikan di Indonesia, Jepang, dan Amerika?
6.        Mendeskribsikan implimentasi landasan sosiologis pendidikan pada pelajaran Fisika.















BAB II
PEMBAHASAN

A.    Pengertian, Jenis, dan Fungsi Landasan Pendidikan
Secara leksikal, landasan berarti tumpuan, dasar atau alas, karena itu landasan merupakan tempat bertumpu atau titik tolak atau dasar pijakan. Titik tolak atau dasar pijakan ini dapat bersifat material (contoh: landasan pesawat terbang); dapat pula bersifat konseptual (contoh: landasan pendidikan).
Pendidikan antara lain dapat dipahami dari dua sudut pandang, pertama dari sudut praktek sehingga kita mengenal istilah praktek pendidikan, dan kedua dari sudut studi sehingga kita kenal istilah studi pendidikan. Praktek pendidikan adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang atau lembaga dalam membantu individu atau sekelompok orang untuk mencapai tujuan pedidikan. Kegiatan bantuan dalam praktek pendidikan dapat berupa pengelolaan pendidikan (makro maupun mikro), dan dapat berupa kegiatan pendidikan (bimbingan, pengajaran dan atau latihan). Studi pendidikan adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang dalam rangka memahami pendidikan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa landasan pendidikan adalah asumsi-asumsi yang menjadi dasar pijakan atau titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.
Ada berbagai jenis landasan pendidikan, berdasarkan sumber perolehannya landasan pendidikan dibagi menjadi empat bagian, yaitu:
a)      Landasan religius pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari religi atau agama yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.
b)      Landasan filosofis pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari filsafat yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.
c)      Landasan ilmiah pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari berbagai cabang atau disiplin ilmu yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan. Tergolong ke dalam landasan ilmiah pendidikan antara lain: landasan psikologis pendidikan, landasan sosiologis pendidikan, landasan antropologis pendidikan, landasan historis pendidikan.
d)     Landasan yuridis atau hukum pendidikan, yaitu asumsi-asumsi yang bersumber dari peraturan perundang-undangan yang berlaku yang menjadi titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.
Secara umum fungsi landasan pendidikan adalah sebagai dasar pijakan atau titik tolak praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.

B.   Sejarah dan Teori-Teori Sosiologi
Sejak manusia dilahirkan di dunia ini, secara sadar maupun tidak, sesungguhnya ia telah belajar dan berkenalan dengan hubungan-hubungan sosial yaitu hubungan antara manusia dalam masyarakat. Hubungan sosial dimulai dari hubungan antara anak dengan orang tua kemudian meluas hingga lingkungan sekitar yaitu tetangga.Dalam hubungan sosial tersebut terjadilah proses pengenalan dan proses pengenalan tersebut mencakup berbagai budaya, nilai, norma dan tanggung jawab manusia, sehingga dapat tercipta corak kehidupan masyarakat yang berbeda-beda dengan masalah yang berbeda pula.
Kenyataan sosial menunjukkan suatu perubahan yang terjadi begitu cepat dalam masyarakat. Perubahan sosial yang cepat tersebut terjadi di abad ke-19, sebagai akibat revolusi industri di Inggris. Akibat perubahan tersebut menurut Mc Kee, menyebabkan terjadinya apa yang dinamakian keterkejutan intelektual kelompok pandai yang salah satu diantaranya adalah para sosiolog. Lester F. Ward dapat dikatakan sebagai pencetus gagasan timbulnya studi baru tentang Sosiologi Pendidikan. Gagasan tersebut muncul dengan idenya tentang evolusi sosial yang realistik dan memimpin perencanaan kehidupan pemerintah-an (Vembriarto, 1993). John Dewey (1859-1952) secara formal dikenal sebagai tokoh pertama yang melihat hubungan antara pendidikan struktur masyarakat dari bentuk semulangan yang masih bersahaja.
Payne (1928) menjelaskan bahwa Sosiologi Pendidikan merupakan sebuah ilmu pengetahuan yang menjadi alat (mean) untuk mendeskripsikan dan menjelaskan institusi, kelompok sosial, dan proses sosial yang merupakan hubungan sosial di dalamnya individu memperoleh pengalaman yang terorganisasi.
Sosiologi Pendidikan di dalam menjalankan fungsinya untuk menelaah berbagai macam hubungan antara pendidikan dengan masyarakat, harus memperhatikan sejumlah konsep-konsep umum. Sosiologi pendidikan merupakan suatu disiplin ilmu yang masih muda dan belum banyak berkembang. Atas dasar tersebut dikalangan para ahli Sosiologi Pendidikan timbul beberapa kecendrungan yang berbeda yaitu:
a)      Golongan yang terlalu menitikberatkan pandangan pendidikan daripada sosiologinya.
b)      Golongan Applied Educational (Sociology) terutama terdiri atas ahli-ahli sosiologi yang memberikan dasar pengertian sosial kultural untuk pendidikan.
c)      Golongan yang terutama menitikberatkan pandangan teoritik.
Lester Frank Ward, adalah pencetus pertama kali lahirnya Educational Sociology sebagai cabang ilmu yang baru dalam sosiologi pada awal abad ke-20. Fokus kajian Educational Sociology adalah penggunaan pendidikan sebagai alat untuk memecahkan permasalah sosial dan sekaligus memberikan rekomendasi untuk mendukung perkembangan pendidikan itu sendiri.
Di Indonesia, perhatian akan peran pendidikan dalam pengembangan masyarakat, dimulai sekitar tahun 1900, saat Indonesia masih dijajah Belanda. Para pendukung politis etis di Negeri Belanda saat itu melihat adanya keterpurukan kehidupan orang Indonesia. Mereka mendesak agar pemerintah jajahan melakukan politik balas budi untuk memerangi ketidakadilan melalui edukasi, irigasi, dan emigrasi. Meskipun pada mulanya program pendidikan itu amat elitis, namun selanjut berjalan dengan baik, meluas dan meningkat ke arah yang makin populis sampai penyelenggaraan wajib belajar dewasa ini. Pelopor pendidikan pada saat itu antara lain: Van Deventer, R.A.Kartini, dan R..Dewi Sartika.
Teori-teori Sosiologi
1.      Teori Struktural Fungsional
Teori fungsional dan struktural adalah salah satu teori komunikasi yang masuk dalam kelompok teori umum atau general theories (Littlejohn, 1999). Ciri utama teori ini adalah adanya kepercayaan pandangan tentang berfungsinya secara nyata struktur yang berada diluar diri pengamat.
2.      Teori Konflik
Teori konflik adalah teori yang memandang bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses pe-nyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi- kompromi yang berbeda dengan kondisi semula. Teori ini didasarkan pada pemilikan sarana-sarana produksi sebagai unsur pokok pemisahan kelas dalam masyarakat.
3.      Teori Fenomenologi
Pendekatan fenomenologis berusaha untuk memahami makna peristiwa serta interaksi pada orang-orang biasa dalam situasi tertentu. Pendekatan ini menghendaki adanya sejumlah assumsi yang berlainan dengan cara yang digunakan untuk mendekati perilaku orang dengan maksud menemukan ‘fakta’  atau ‘penyebab’.
4.      Teori Interaksi Simbol
Titik tolak pemikiran interaksi simbolik berasumsi bahwa realitas sosial sebagai proses dan bukan sesuatu yang bersifat statis. Dalam hal ini masyarakat dipandang sebagai sebuah interaksi simbolik bagi individu-individu yang ada didalamnya.

C.      Pengertian Landasan Sosiologis Pendidikan
Individu adalah manusia perseorangan sebagai satu kesatuan yang tak dapat dibagi, unik, dan sebagai subjek otonom. Masyarakat di definisikan Ralph Linton sebagai “setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerjasama cukup lama sehingga mereka dapat mengatur diri mereka sebagai satu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas”; sedangkan Selo Sumardjan mendefinisikan masyarakat sebagai “orang-orang yang hidup bersama, yang menghasilkan kebudayaan. Koentjaraningrat mendefinisikan kebudayaan sebagai “keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar”.
Dalam masyarakat terdapat struktur sosial dan dalam struktur sosial tersebut setiap individu menduduki status dan peranan tertentu. Dalam rangka memenuhi kebutuhan atau untuk mencapai tujuannya, setiap indivdu maupun kelompok melakukan interaksi sosial, adapun dalam interaksi sosialnya mereka melakukan tindakan sosial.
Tindakan sosial yang dilakukan individu hendaknya sesuai dengan status dan perananya yang mengacu pada sistem nilai dan norma yang berlaku di dalam masyarakat, atau secara umum harus sesuai dengan kebudayaan masyarakatnya. Masyarakat menuntut demikian agar terjadi conformity. Jika tidak demikian halnya, idividu akan dipandang melakukan penyimpangan tingkah laku terhadap nilai dan norma masyarakat (deviant behavior). Terhadap individu demikian masyarakat akan melakukan social controll.
Manusia hakikatnya adalah makhluk bermasyarakat dan berbudaya, dan masyarakat menuntut setiap individu mampu hidup demikian. Namun karena manusia tidak secara otomatis mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya, maka masyarakat melakukan pendidikan atau sosialisi (socialization) dan atau enkulturasi (enculturation). Dengan demikian diharapkan setiap individu mampu hidup bermasyarakat dan berbudaya sehingga tidak terjadi penyimpangan tingkah laku terhadap sistem nilai dan norma masyarakat.
Individu maupun masyarakat sebagai suatu kesatuan individu-indi vidu mempunyai berbagai kebutuhan. untuk memenuhi berbagai kebutuhan tersebut masyarakat membangun atau mempunyai pranata sosial. Salah satu diantaranya adalah pranata pendidikan. Pendidikan merupakan pranata sosial yang berfungsi melaksanakan sosialisasi atau enkulturasi. Terdapat hubungan antara pendidikan dengan masyarakat dan kebudayaannya. Kebudayaan menentukan arah, isi dan proses pendidikan (sosialisasi atau enkulturasi). Sedangkan pendidikan memilki fungsi konservasi dan atau fungsi kreasi (perubahan, inovasi) bagi masyarakat dan kebudayaannya.
Landasan sosiologis pendidikan adalah acuan atau asumsi dalam penerapan pendidikan yang bertolak pada interaksi antar individu sebagai mahluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat. Kegiatan pendidikan merupakan suatu proses interaksi antara dua individu (pendidik dan peserta didik) bahkan dua generasi yang memungkinkan generasi muda mengembangkan diri. Pengembangan diri tersebut dilakukan dalam kegiatan pendidikan. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan dapat berlangsung baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat.
 Pendidikan keluarga sangat penting, karena keluarga merupakan lembaga sosial yang pertama bagi setiap manusia. Proses sosialisasi dimulai dari keluarga dimana anak mulai mengembangkan diri. Dalam keluarga itulah mulai ditanamkan nilai-nilai dan sikap yang dapat mempengaruhi perkembangan anak. Nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, budaya dan ketrampilan perlu dikembangkan dalam pendidikan keluarga.

D.      Perantara dan Ruang Lingkup Landasan Sosiologi Pendidikan
Kehidupan masyarakat dipastikan satu kesatuan dengan budaya. Budaya adalah cara berpikir dan berperilaku, merupakan tradisi suatu kelompok, ide-ide, kebiasaan, nilai-nilai, dan kebiasaan yang digunakan sebagai aturan bersama.
Sosialisasi mempersiapkan anak-anak untuk berfungsi sebagai induvidu yang menstransmisikan budaya yang dengan demikian memungkinkan masyarakat untuk berfungsi secara baik. Keluarga penting bagi pertumbuhan sosial anak-anak, tetapi dalam era modern, lembaga formal juga membantu dalam menentukan anak-anak dalam belajar sosial dan kesiapan untuk terjun dalam kehidupan bermasyarakat. Sekolah merupakan lembaga utama yang berfungsi untuk menjaga dan melestarikan budaya. Perantara sosial yang berperan adalah keluarga, teman sebaya, sekolah, media massa seperti televisi.
a.       Keluarga
Keluarga merupakan perantara sosial paling awal dalam bermasyarakat. Secara tidak langsung, keluarga lah awal dari transfer nilai-nilai budaya kepada anak-anak. Keluarga adalah tempat seutuhnya untuk anak-anak, kedua orang tua mengajarkan hal-hal yang penting bagi kelangsungan hidupnya, mendorong dan mencegah serta menanamkan sikap kedisiplinan, juga memberi orientasi anak terhadap dunia. Banyak anak sukses dalam lingkungan bermasyarakat dikarenakan keharmonisannya terjaga. Akan tetapi, keharmonisan keluarga yang tidak terbentuk dengan baik, ada kalanya juga mempengaruhi ketidak mampuan anak-anak untuk terjun dalam kegiatan bermasyarakat.
b.      Teman Sebaya
Sedangkan hubungan keluarga mungkin merupakan pengalaman pertama seorang anak hidup kelompok, interaksi peer-group segera mulai membuat efek kuat mereka bersosialisasi. Kelompok sebaya memberi banyak pengalaman belajar dan cara berinteraksi dengan orang lain, bagaimana dapat diterima oleh orang lain, dan bagaimana untuk mencapai status dalam lingkup teman. Orang tua atau guru kadang-kadang dapat memaksa anak-anak untuk mematuhi aturan mereka, tapi rekan-rekan tidak memiliki kewenangan formal untuk melakukan hal ini; sehingga anak-anak bisa belajar yang berarti pertukaran, kerjasama, dan ekuitas lebih mudah dalam pengaturan rekan.
c.       Budaya sekolah
Pendidikan di sekolah, dibandingkan dengan pengalaman belajar di keluarga atau rekan-kelompok, terjadi dengan cara-cara yang relatif formal.
d.      Televisi dan Digital Media
Beberapa ilmuwan sosial menyebut televisi sebagai "kurikulum pertama" karena muncul untuk mempengaruhi anak-anak dalam hal mengembangkan keterampilan belajar dan menyesuaikan diri terhadap mengakuisisi pengetahuan dan pemahaman. Meskipun penelitian menunjukkan hubungan antara prestasi sekolah dan menonton televisi, sifat hubungan ini tidak sepenuhnya jelas. Beberapa studi menunjukkan bahwa menonton televisi dapat mengurangi kegiatan membaca siswa. Terlepas dari efek yang mungkin negatif terhadap prestasi sekolah, televisi dan media lain, seperti film, video game, dan industri musik, sangat berpengaruh sosialisasi anak dan remaja. Media baik merangsang dan mencerminkan mendasar perubahan sikap dan perilaku yang berlaku dalam masyarakat kita.





Tabel 1. Efek dari Perantara Sosial
Perantara
Tipe Permasalahan
Efek Sosial
Keluarga
Kemiskinan
Keluarga single-orang tua
Peningkatan ibu yang bekerja
Tekanan pada anak-anak
Tunawisma
Beberapa tren, seperti peningkatan jumlah
ibu dan pilihan memperluas kerja
untuk sebelum-dan setelah-sekolah kegiatan terus
potensi positif, tetapi sebagian besar menempatkan anak-anak pada
risiko kesulitan di sekolah
Teman Sebaya
Popularitas, atletik, daya tarik
lebih penting dari akademisi
Kegiatan Ekstrakurikuler dengan teman sebaya
Bullying
Kegiatan koperasi dapat mengurangi intimidasi
dan hubungan rekan asuh yang mempromosikan
akademisi. Kegiatan ekstrakurikuler cenderung
mempromosikan prestasi akademik.
Sekolah
Aktif peran pelajar membawa risiko
Akomodasi, tawar-menawar,
kompromi, menyontek
Sekolah sering mengajarkan siswa untuk mengurangi
antusiasme mereka dan lebih memilih pasif
belajar.
Media Televisi/Digital
Internet dan televisi menjadi kecanduan bagi para siswa
Televisi dan media lainnya dapat berkontribusi
prestasi akademik, tetapi isinya
dan penggunaan harus direncanakan dengan hati-hati atau mereka
dapat menjadi agen sosialisasi negatif

Mengenai ruang lingkup Sosiologi Pendidikan, Brookover mengemukakan adanya empat pokok bahasan berikut:
a.       Hubungan sistem pendidikan dengan sistem social lain
b.      Hubungan sekolah dengan komunitas sekitar,
c.       Hubungan antar manusia dalam sistem pendidikan
d.      Pengaruh sekolah terhadap perilaku anak didik
Sosiologi Pendidikan diharapkan mampu memberikan rekomendasi mengenai bagaimana harapan dan tuntutan masyarakat mengenai isi dan proses pendidikan itu, atau bagaimana sebaiknya pendidikan itu berlangsung menurut kacamata kepentingan masyarakat, baik pada level nasional maupun lokal.

E.       Implementasi Landasan Sosiologis Pendidikan di Indonesia, Jepang, dan Amerika
Landasan sosiologi mengandung norma dasar pendidikan yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat yang dianut oleh suatu bangsa. Untuk memahami kehidupan bermasyarakat suatu bangsa, kita harus memusatkan perhatian pada pola hubungan antar pribadi dan antar kelompok dalam masyarakat tersebut. Untuk terciptanya kehidupan masyarakat yang rukun dan damai, terciptalah nilai-nilai sosial yang dalam perkembangannya menjadi norma-norma sosial yang mengikat kehidupan bermasyarakat dan harus dipatuhi oleh masing-masing anggota masyarakat.
Dalam kehidupan bermasyarakat dibedakan tiga macam norma yang dianut oleh pengikutnya, yaitu: (1) paham individualisme, (2) paham kolektivisme, (3) paham integralistik.
Paham individualisme dilandasi teori bahwa manusia itu lahir merdeka dan hidup merdeka. Masing-masing boleh berbuat apa saja menurut keinginannya, asalkan tidak mengganggu keamanan orang lain. Dampak individualisme menimbulkan cara pandang yang lebih mengutamakan kepentingan individu di atas kepentingan masyarakat. Dalam masyarakat seperti ini, usaha untuk mencapai pengembangan diri,  antara anggota masyarakat satu dengan yang lain saling berkompetisi sehingga menimbulkan dampak yang kuat. Paham kolektivisme memberikan kedudukan yang berlebihan kepada masyarakat dan kedudukan anggota masyarakat secara perseorangan hanyalah sebagai alat bagi masyarakatnya. Sedangkan paham integralistik dilandasi pemahaman bahwa masing-masing anggota masyarakat saling berhubungan erat satu sama lain secara organis merupakan masyarakat. Masyarakat integralistik menempatkan manusia tidak secara individualis melainkan dalam konteks strukturnya manusia adalah pribadi dan juga merupakan relasi. Kepentingan masyarakat secara keseluruhan diutamakan tanpa merugikan kepentingan pribadi.

1.        Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia
Landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistik yang bersumber dari norma kehidupan masyarakat: (1) kekeluargaan dan gotong royong, kebersamaan, musyawarah untuk mufakat, (2) kesejahteraan bersama menjadi tujuan hidup bermasyarakat, (3) negara melindungi warga negaranya, dan (4) selaras serasi seimbang antara hak dan kewajiban. Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia secara orang per orang.
Perkembangan masyarakat Indonesia dari masa ke masa telah mempengaruhi sistem pendidikan nasional. Hal tersebut sangatlah wajar, mengingat kebutuhan akan pendidikan semakin meningkat dan kompleks. Berbagai upaya pemerintah telah dilakukan untuk menyesuaikan pendidikan dengan perkembangan masyarakat terutama dalam hal menumbuhkembangkan Ke-Bhineka tunggal Ika-an, baik melalui kegiatan jalur sekolah (umpamanya dengan pelajaran PPKn, Sejarah Perjuangan Bangsa, dan muatan lokal), maupun jalur pendidikan luar sekolah (penataran P4, pemasyarakatan P4 nonpenataran). Oleh karena itu, pendidikan di Indonesia tidak hanya meningkatkan kualitas manusia orang perorang melainkan juga kualitas struktur masyarakatnya.

2.        Landasan Sosiologis Pendidikan di Jepang
Pendidikan Jepang memberikan pada setiap anak dengan kualitas tinggi, pendidikan dasar yang seimbang pada tiga ranah (ilmu pengetahuan, musik, dan seni) melalui 9 tahun wajib belajar. Jepang juga telah berhasil memotivasi siswa untuk belajar dan mengajar mereka kebiasaan belajar yang efektif; menciptakan dan memelihara lingkungan belajar yang produktif, yang mencakup disiplin sekolah yang efektif; menggunakan waktu secara produktif untuk tujuan pendidikan dan luar dari sekolah; mempertahankan perhatian untuk mengembangkan karakter dan sikap yang diinginkan dan perilaku (menurut norma-norma Jepang) sepanjang tahun dasar dan menengah; mengembangkan tenaga pengajar profesional yang kompeten, dan berkomitmen, dihormati dan baik; dan menyediakan layanan ketenagakerjaan yang efektif untuk lulusan sekolah menengah. Semua hal di atas yang pondasinya oleh komitmen yang kuat untuk orangtua dan dukungan yang berkelanjutan untuk pendidikan anak selama di sekolah. Pendidikan diperkuat di setiap kesempatan oleh warisan sejarah dan budaya, konsensus masyarakat, kebijakan pemerintah, dan kebutuhan dan praktek kerja bisnis, industri, dan pemerintah. Di Jepang, seperti di kebanyakan negara, pendidikan terbaik dipahami dalam konteks sejarah dan budayanya.
Sistem pendidikan di Jepang telah berkembang dengan pesat sejak tahun 1960. Sistem saat ini masih mencerminkan ide-ide budaya dan filosofis lama bahwa belajar dan pendidikan yang terhormat dan harus dikejar serius, dan bahwa perkembangan moral dan karakter tetap erat terkait dengan pendidikan. Sebuah warisan meritokrasi yang berasal dari periode Meiji bertahan, seperti halnya infrastruktur pendidikan yang terpusat dan orientasi ke arah memandang pendidikan dalam pelayanan pembangunan nasional.
Pendidikan Jepang adalah alat yang ampuh kontinuitas budaya dan kebijakan nasional. Konten eksplisit dan implisit yang dari kurikulum sekolah dan cara di mana mengajar dan belajar yang dicapai menanamkan sikap, pengetahuan, kepekaan, dan keterampilan yang diharapkan warga muncul dari masyarakat Jepang. Pelajaran ini lebih diperkuat dalam konteks keluarga dan masyarakat.
Bahasa, ras, dan etnis, Jepang adalah negara yang relatif homogen dengan rasa yang kuat dari identitas budaya dan persatuan nasional. Namun masyarakat Jepang tidak monolitik, dan ada individualitas cukup. Ada juga perbedaan halus dikalibrasi dalam status berdasarkan usia, jenis kelamin, pekerjaan, dan latar belakang sosial dan pendidikan. Meskipun perbedaan ini, bagaimanapun, Jepang lebih memilih untuk mendefinisikan diri mereka dengan cara yang menekankan inti mereka keyakinan umum dipegang dan nilai-nilai.
Untuk Jepang, pendidikan selalu memiliki tujuan penting selain akuisisi pengetahuan akademik, pertumbuhan intelektual, atau keterampilan kejuruan. Pendidikan moral dan pengembangan karakter juga berada di antara perhatian utama. Ada kesepakatan yang kuat bahwa sekolah memiliki kewajiban dan kewenangan untuk menanamkan nilai-nilai Jepang mendasar sebagai landasan sikap moral yang tepat dan kebiasaan pribadi.

3.    Landasan sosiologis pandidikan di Amerika
Negara Amerika sangat memeperhatikan pembuatan kebijakan pendidikan berdasarkan karakterisitk geografis dan demografis serta factor sejarah. Luas negara kurang lebih 9,4 juta km persegi yang secara fisik memiliki sangat bervariasi, beriklim yang bervariasi sehingga keadaan flora dan fauna yang juga beragam. Berdasarkan keragaman tersebut karakterisitk utama sistem pendidikan Amerika Serikat yang sangat menonjol adalah desentralisasi. Karakter desentralistik ini berupa pemerintah pusat tidak memiliki mandar untuk mengontrol atau mengadakan pendidikan untuk masyarakat. Setiap pemerintah federal.
Negara bagian dan pemerintah daerah memiliki atauran dan tanggung
jawab adminstratif masing-masing yang sangat jelas. Amerika Serikat tidak mempunyai sistem pendidikan yang terpusat atau yang bersifat nasional. Namun Amerika Serikat memiliki tujuan pendidikan secara umum yaitu (Syah Nur, 2002)
a.       Untuk mencapai kesatuan dalam kebinekaan
b.      Untuk mengembangkan cita-cita dan praktek demokrasi
c.       Untuk membantu pengembangan individu
d.      Untuk memperbaiki kondisi social masyarakat
e.       Untuk mempercepat kemajuan social.
Setiap negara menyediakan pendidikan secara gratis bagi anak-anak sekolah negeri, mulai dari Taman Kanak-Kanak ditambah 12 tahun pada jenajang berikutnya. Setiap undang-undang tidak sama diantara negara-negara bagian, namun pada dasarnya pendidikan adalah wajib bagi anak-anak dan remaja dari umur 6 atau 7 sampai 16 tahun. Dalam sistem pendidikan Amerika Serikat, terdapat beberapa pola struktur pendidikan, baik pada tingkat dasar dan menengah, maupun pada tingkat pendidikan tinggi.

F.       Implementasi Landasan Sosiologis Pendidikan Pada Mata Pelajaran Fisika
             Sebagai salah satu Output suatau Proses Pendidikan dan pembelajaran adalah perubahan pengalaman dan perilaku peserta didik termasuk juga yang dapat dilihat secara kuantitatif adalah hasil belajar. Hasil belajar dapat berkaitan dengan aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Pertanyaannya adalah bagaimana cara yang tepat untuk meningkatkan hasil belajar tersebut ditinjau dari sisi sosio kultural masyarakat dimana peserta didik belajar? Ini pertanyaan yang mungkin tidak banyak dibahas dilingkungan masyarakat pendidikan.
            Dewasa ini di indonesia Kearifan Budaya Lokal sudah dimasukkan dalam pembelajaran di sekolah dan dimasukkan dalam Muatan Lokal (Mulok). Ini merupakan hal yang sangat menguntungkan dalam konteks pembelajaran secara global di sekolah dan masyarakat, sebab dengan dimasukkannya muatan lokal pembelajaran menjadi lebih bermakna. Seperti yang telah banyak berkembang saat ini pembelajaran berbasis konstruktivisme yang menekankan pembelajaran bermakna. Kebermaknaan dapat diartikan diantaranya adalah untuk apa siswa belajar materi tertentu. Dengan masuknya Mulok berbasis kearifan budaya lokal maka siswa akan dapat memaknai pembelajarannya baik proses maupun hasil.
            Perkembangan pembelajaran khsusunya Mulok masih masuk pada Mata Pelajaran Pilihan dan belum masuk secara implisit dalam seluruh mata pelajaran. Ini yang menjadi pokok diskusi pada makalah ini, Bagaimana memasukkan Kearifan Lokal sehingga dapat mewarnai semua Mata Pelajaran yang diajarkan di sekolah? Lebih spesifik pada Mata Pelajaran Fisika di SMA atau Sains di SMP. Mata Pelajaran Fisika menjadi “sulit” karena pembelajaran fisika disajikan tidak seperti saat fisika ditemukan. Muslimin Ibrahim menyatakan bahwa ajarkanlah Sains (termasuk Fisika) seperti halnya Sains itu ditemukan. Persoalannya adalah para guru menganggap bahwa Fisika itu selalu harus berhubungan dengan Praktikum di Laboratorium dengan peralatan yang mahal dan membutuhkan waktu yang panjang. Cara pandang ini yang harus diperbaiki dan dipandang perlu ditemukan cara-cara kreatif apalagi untuk membuat pembelajaran fisika menjadi bermakna disetiap proses pembelajaran. Tantangan berikutnya adalah bagaimana Kearifan sosial dan Budaya Lokal dapat mewarnai disetiap proses pembelajaran Fisika.
Dalam membelajarkan materi Getaran dan Gelombang, sebaiknya contoh yang diambil dalam pembelajaran adalah yang paling dikenal dilingkungan siswa berada. Siswa yang berada dilingkungan perkotaan seperti di Kota Malang banyak contoh yang dapat diambil, mulai dari gelombang tali, gelombang bunyi, gelombang  radio dan lain sebagainya. Namun akan berbeda dengan yang berada dilingkungan pesisir yang jauh dari kehidupan di kota gelombang air, gelombang bunyi, pemantulan gelombang dan beberapa contoh yang sangat dekat lainnya dapat tekankan dalam pembahasan getaran dan gelombang. Begitupula dengan materi fisika yang lain selalu mengguanakan contoh-contoh yang disesuaikan dengan dimana siswa berada. Dengan demikian kebermaknaan dalam belajar akan tercapai dengan baik dengan harapan hasil belajar siswa akan lebih baik dan akan meningkat dari waktu kewaktu. Sekali lagi kreatifitas guru sangan menentukan, dan kondisi sosial budaya suatu masyarakat sangat mempengaruhi keberhasilan suatu proses pendidikan.


























BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
            Berdasarkan pembahasan pada bagian sebelumnya, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1.        Landasan pendidikan adalah asumsi-asumsi yang menjadi dasar pijakan atau titik tolak dalam rangka praktek pendidikan dan atau studi pendidikan.
2.        Teori-teori yang mendasari berkembangnya sosiologi pendidikan adalah: (1) Teori Struktural Fungsional, (2) Teori Konflik, (3) Teori Fenomenologi, dan (4) Teori Interaksi Simbol.
3.        Landasan sosiologis pendidikan adalah acuan atau asumsi dalam penerapan pendidikan yang bertolak pada interaksi antar individu sebagai mahluk sosial dalam kehidupan bermasyarakat.
4.        Perantara landasan sosiologis pendidikan diantaranya, yaitu: (1) Keluarga, (2) teman sebaya, (3) Budaya Sekolah, (4) Televisi dan Media Digital.
5.        Implementasi landasan sosiologis pendidikan di Indonesia menganut paham integralistrik dan multicultural, sementara di Jepang berasaskan kesamaan hak asasi dan monocultural homogen, dilain pihak di Amerika berasaskan ideologi dan letak geografis wilayah.
6.        Implementasi landasan sosiologis pendidikan pada pembelajara fisika cenderung menganut paham konstruktivistik, yaitu dengan memasukkan kearifan sosial dan budaya lokal dalam proses pembelajaran fisika.









DAFTAR PUSTAKA


Adam. 2013. Landasan sosiologis pendidikan, (Online), (http://mazglod.blogspot.com/2013/03/landasan-sosiologi-pendidikan-yang-ada.htm), diakses 21 Agustus 2015.

Ornstein, A. C., Levine, D. U., dan Gutek, G. L. 2011. Foundations of Education. Belmont, CA: Wadsworth.

Rianti, Ida. 2011. Landasan Pendidikan Nasional. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Robandi, Babang. 2005. Hang Out Matakuliah Landasan Pendidikan.Bandung: UPI.

Sugianto, Ahmad. 2013. Landasan Sosiologis Pendidikan, (Online), (http://akhmad-sugianto.blogspot.com/2013/09/landasan-sosiologis-pendidikan.html), diakses 20 Agustus 2015.


Tim Penyusun. 2012. Landasan-Landasan Pendidikan dan Pembelajaran. Jakarta: Bumi Aksara.

1 komentar :

Posting Komentar